Bapak Sudah Sembuh
Nama: Ika Mulyani
Cermin Terbaik Ke-5 LCL2
Boneka penari balet berputar di atas satu kakinya, sementara kotak musik di bawahnya memutarkan melodi yang pada masa kecilku dulu, selalu berhasil mengantarkanku ke alam mimpi.
Namun hari ini, saat usiaku tepat seperempat abad, alih-alih membuatku mengantuk, melodi yang mengalun melenakan itu justru membuat air mataku menderas.
Sudah lama aku kehilangan kotak musik itu dan mencarinya. Dan tadi pagi, aku menemukannya, rapi terbungkus kotaknya, di dalam pelukan tangan Bapak yang telah dingin membeku.
Aku tersenyum dengan hati teriris pedih, ketika mengingat lagi kebersamaan kami sehari sebelumnya.
Sejak peristiwa kecelakaan yang menimpa Bapak setahun lalu, aku selalu duduk di meja makan dengan pakaian kerja lengkap, menunggu hingga Bapak keluar dari kamarnya setiap pukul enam pagi.
Meskipun dokter sudah memperingatkan kemungkinan terburuk, tetap saja, air mataku selalu tergenang di pelupuk mata, setiap melihat tatapan keheranan yang dilayangkan oleh Bapak seraya ia bertanya dengan nada bingung, “Adek ini siapa? Mau ketemu Ibu Iswandi?”
Seperti biasa, aku hanya kuasa untuk mengangguk dan segera mengusap sudut mata, sebelum air yang terkumpul di sana jatuh berderai.
“Jam segini biasanya Ibu lagi belanja sayur. Padahal hamilnya sudah besar. Tapi dia tetap ‘keukeuh’ untuk memasak. Padahal saya sudah bilang, enggak usah repot. Beli saja makanan di warung Bik Sumi. Masakannya lumayan enak, dan bersih juga.”
Perempuan pedagang nasi yang disebut Bapak sudah lama meninggal karena serangan jantung.
“Oh, iya. Adek mau minum apa? Ibu pandai buatkan saya lemon teh hangat.”
Aku akan menyodorkan minuman yang ia maksud sambil berusaha untuk tersenyum.
“Wah, rupanya Ibu sudah membuatnya. Kamu juga dibuatkan, ya? Ayo diminum!” Bapak menyesap teh buatanku itu dengan mata setengah terpejam. “Sedapnya ….”
Aku selalu tidak tahan untuk tidak meraih dan menggenggam jemari tangan Bapak yang bebas, seperti biasa.
“Pak ….”
Aku akan terus menatap mata Bapak yang memandangku dengan jengah.
“Ini saya, Retna.”
“Ret-na?”
Aku mengangguk. “Bapak yang beri nama. Ingat? Anak perempuan Bapak satu-satunya. Ketiga kakak saya laki-laki. Sudah lama Bapak menunggu kelahiran anak perempuan. Dan alhamdulillah, lahirlah saya, Ratna Sriwedari.”
Aku akan terus menatap mata Bapak, tidak peduli berapa lama, hingga sorot jengahnya mulai berubah menjadi pandangan heran dan sekian lama kemudian, kebingungan di matanya akan berganti dengan tatapan bahagia. Mata tua itu lantas berkaca-kaca.
“Retna … anak perempuanku?”
Aku mengangguk-angguk dengan mata basah dan tersenyum lebar.
“Ibumu …?”
Senyumku menghilang.
“Ah, ya. Dia … pergi, waktu melahirkan kamu.” Bapak berujar lirih seraya menunduk. Air matanya jatuh.
Namun, Bapak akan selalu kembali menengadah. Senyum terkembang di bibirnya yang sudah mulai keriput. “Kamu sudah besar. Cantik. Persis ibumu,” katanya, selalu.
Lega, ketika aku berhasil mengembalikan ingatan Bapak, yang terhenti di waktu beberapa hari sebelum Ibu melahirkanku. Kehilangan memori ini diduga sebagai akibat benturan keras di kepala Bapak saat ia mengalami kecelakaan lalu lintas setahun lalu.
Kecewa, ketika aku pulang dari kantor dan Bapak kembali tidak ingat siapa aku. Lalu ia akan pergi tidur dengan anggapan bahwa Ibu sedang menginap di rumah Nenek dan aku adalah tamu Ibu yang terpaksa bermalam di rumahnya. Sia-sia kujelaskan siapa aku, Bapak tetap tidak ingat.
Sudah tiga hari Bapak terlihat kurang sehat, tetapi selalu menolak bila kuajak untuk memeriksakan diri ke dokter.
“Cuma lemes dan sedikit pusing. Mungkin masuk angin,” ucapnya, selalu.
“Bapak kangen ibumu, Na. Semalam Bapak mimpiin dia. Cantik, seperti kamu,” ucap Bapak begitu membuka pintu kamarnya kemarin pagi.
Hatiku buncah oleh rasa bahagia. Bapak ingat akan mimpinya!
“Kamu pulang kantor jam berapa semalam? Maaf Bapak tidur duluan dan enggak nunggu kamu pulang.”
Ini luar biasa! Dadaku seolah akan meledak karena hati yang berbunga-bunga dan jantung yang berdegup nyaris tidak terkendali.
Aku pun lalu memutuskan untuk tidak masuk kantor, mengambil jatah cuti tahunan yang akan hangus dalam waktu satu bulan. Toh pekerjaan akhir bulan sudah kuselesaikan dan kulaporkan semalam.
Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan yang amat berharga ini.
Aku mengajak Bapak ke taman dan duduk di ayunan. Kami tertawa-tawa menceritakan kelucuan aku dan ketiga kakakku di masa kecil.
“Ingat, enggak? Kakak-kakakmu selalu mengeluh ‘Berisik!’ setiap kamu nyalakan kotak musik. Tapi, kamu selalu ‘keukeuh’ untuk dengarkan lagunya sampai tertidur. Kamu pasti enggak tahu, kakakmu beberapa kali coba sembunyikan benda itu. Tapi Bapak selalu berhasil menemukannya sebelum kamu bangun.”
“Begitu? Eh, sekarang kotak musik itu di mana ya, Pak?”
“Ada. Nanti Bapak ambilkan dari tempat rahasia.”
“Rahasia?”
Bapak mengangguk dan aku tergelak.
Puas berjalan-jalan, kami lalu memasak dan menyantap makan siang, berdua saja. Semua kakakku merantau jauh dari kota ini. Sungguh makan siang yang teramat istimewa.
Malam harinya, Bapak membuatkanku nasi goreng spesial yang dulu sering ia siapkan untuk sarapan pagiku.
Hatiku makin sesak oleh rasa bahagia, ketika Bapak tetap mengingat aku hingga kami berpisah untuk beristirahat malam.
Bapak sudah sembuh! Batinku berseru pada potret Ibu yang kupajang di dinding kamar.
Aku tertidur dengan cepat lalu bermimpi berjumpa dengan Ibu. Ia menggandeng tangan Bapak. Wajah keduanya berseri dan tersenyum bahagia. Mereka melambaikan tangan, terus melambaikan tangan, hingga aku terbangun dengan hati dipenuhi rasa yang tidak menentu. Sudah pukul setengah lima pagi.
Aku segera berlari ke kamar Bapak dan menemukan lelaki itu duduk di tempat tidur, memeluk kotak musik yang kucari. Wajahnya basah oleh air wudhu. Matanya terpejam. Bibirnya tersenyum.(*)
Ika Mulyani.
Komentar Juri:
Ketika membaca cerita ini, aku serasa sedang minum kopi dengan tambahan sedikit gula: pahit-manis. Pahit ketika tokoh bapak sering kehilangan beberapa memorinya setelah kecelakaan tahun lalu, dan manis ketika sang bapak akhirnya berhasil mengingat Retna, si bungsu dari empat bersaudara, setelah putrinya itu mencoba mengingatkan dan menggali lagi memori sang bapak. Ada juga saat di mana pembaca dibuat terharu ketika Retna sengaja mengambil cuti tahunan untuk lebih lama menemani bapak. Lantas keduanya menghabiskan waktu bersama sepanjang hari itu. Adegan ini terasa hangat sekali. Terasa banget kedekatan antara bapak dan putrinya. Tetapi, tiba-tiba saja pembaca dibuat menitikkan air mata ketika bapak meninggal: terbaring sembari memeluk kotak musik milik Retna, yang dulu sering disembunyikan oleh abang-abangnya karena alasan berisik.
Memang sih sejak cerita dibuka, penulis sudah mengatakan bahwa tokoh bapak sudah meninggal. Jadi, seharusnya pembaca “sudah siap mental” dengan keadaan itu, dong. Sudah mati mau diaapain lagi, begitu toh?
Tetapi hal itu tidak berlaku.
Kepiawaan Buk Ika dalam meramu tulisan menghasilkan drama keluarga yang mendayu-dayu. Mengharu-biru. Sehingga membuat perasaan pembaca campur-aduk. Buatku, di sini penulis cukup tekun, sehingga mampu menuntun pembaca untuk menuntaskan cerita ini sampai akhir. Bahkan, saking menghayatinya, ada beberapa juri yang bilang, “Dari segi drama, ceritanya nyesss banget.”
Awalnya, aku belum menemukan di mana keterkaitan cerita ini dengan tema yang diberikan oleh juri: carpe diam. Tapi setelah dibaca ulang, “Oh, carpenya pas di sini toh ….” Di adegan pas Retna sengaja mengambil cuti buat nemenin bapak.
Dan oleh sebab itu, kami para juri, sengaja menempatkan naskah ini di urutan kelima.
Selamat Buk Ika Mulyani … (^_^.)
-Anna
Lomba Cermin Lokit adalah lomba menulis yang digelar di grup FB Komunitas Cerpenis Loker Kata (KCLK)
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata