Bangau dan Perempuan Gila
Oleh: Syifa Aimbine
30 Cerpen Pilihan TL-18
Sebelum meninggal, ibunya pernah menceritakan pada Alin sebuah dongeng klasik: tentang sekelompok bangau yang mengantarkan bayi-bayi pada ibu baik hati yang memohon kepada Dewi. Dongeng itu tentu saja hanya sebuah cerita pengantar tidur bagi Alin, tetapi entah kenapa ia ingin menjadi bangau kala itu. Bukan bangau putih yang menggendong bayi dengan paruhnya yang panjang, Alin memilih menjadi bidan dengan seragam putih. Yang menggendong bayi dengan kedua tangannya, untuk diberikan kepada ibu baik hati yang menyimpan janin kecil itu di dalam perut mereka selama sembilan bulan.
Namunkemudian, Alin menjadi benci pada dongeng bangau. Alin bahkan benci pada dirinya yang justru membunuh janin kecil yang sebelum berumur sembilan bulan. Semua tersebab Hani—teman seangkatannya—yang hamil dengan kekasihnya di tahun akhir perkuliahan. Mau tak mau, Alin membantu Hani mengeluarkan gumpalan daging yang telah hancur itu dari rahim sahabatnya.
Tangan Alin bergetar hebat saat gumpalan daging itu jatuh ke tangannya yang berlapis sarung tangan karet. Bahkan, gumpalan itu masih terasa hangat di telapak tangan Alin yang sesenggukan mengutuk dirinya. Bagaimana ia bisa berubah menjadi bangau yang jahat, begitu pikirnya.
Beberapa tahun berlalu, Alin tak juga mampu melupakan kejadian hari itu. Bahkan sampai kini, ia yakin Tuhan masih menghukumnya. Sudah hampir sewindu sejak janji suci terucap dari bibir Danu—suaminya, tetapi tidak ada tanda-tanda akan datangnya keturunan di antara mereka.
“Bangau-bangau itu mengutukku, mereka tak akan pernah mengantarkan bayi ke depan pintu kita,” ujarnya suatu hari.
Danu memilih berlalu, daripada harus mendengar ceracau Alin yang makin tak menentu.
***
Pohon alpukat terlihat basah setelah disiram hujan yang baru datang selepas kemarau hampir sebulan. Daun kecokelatan berguguran menutupi permukaan tanah yang lembap. Buah alpukat tampak bergantungan pada ranting kurus yang rapuh, beberapa langsung jatuh ketika ditampar angin. Buah alpukat tampak telah mulai ranum, mungkin sedikit waktu peram akan matang dan dapat dimakan. Namun, tentu bukan itu tujuan Alin ke sini.
Alin menghunjamkan belati berkarat di tangannya ke tanah. Ia membuat sebuah lubang di dekat akar pohon alpukat yang mencuat keluar dari tanah yang rekah. Tanpa sadar, ia menggali cukup dalam untuk menanam gumpalan seukuran kepalan tangan.
Gumpalan daging hasil dosa ini harus dikubur dalam, pikirnya.
Beberapa jam lalu Hani kembali datang, bukan kunjungan biasa selayaknya sahabat yang rindu bercengkerama.Sahabatnya itu kembali membuat tangan Alin kotor. Seorang gadis yang merupakan keponakannya menjadi alasan Hani kembali mencarinya. Tentu saja Alin bisa menebak, darah segar merembes dari balik pakaian bawah si gadis belia. Wajah cantik itu terlihat pucat serupa mayat. Dari hasil periksa tanda vital, Alin tahu gadis itu sudah makin melemah.
“Kau sendiri yang memberikannya obat itu, kenapa tidak kau selesaikan saja sendiri? Kau, kan, juga lulusan bidan, sama sepertiku.”
Tangan Alin bergetar menahan marah. Ia berusaha menolak, tak ingin lagi membantu kasus seperti ini lagi atau bangau-bangau akan semakin marah dan menutup kemungkinan mengantarkan bayi ke depan pintunya.
“Kau tahu aku tak bisa, Alin. Sudah lama aku tak berhadapan dengan pasien,” ujar temannya panik.
“Aku menolak, Han. Kau lihat, Tuhan bahkan tak lelah menghukumku sampai sekarang. Kau yang melakukan, aku yang kena karmanya. Sedangkan kaulihat, anakmu sudah dua.”
Alin merasakan dadanya panas, apalagi ketika melihat kedua wajah anak Hani yang cantik dan tampan. Kenapa Tuhan seolah-olah tak meniupkan serbuk karma itu pada Hani. Bukankah seharusnya bangau-bangau itu marah pada ibu yang buruk seperti Hani?
“Kau lihat mobil putih itu? Itu akan jadi milikmu, Alin. Tolonglah anak itu cepat, atau kau lebih senang ia mati? Sama saja kau telah membunuhnya, bukan? Kau pilih membunuhnya, atau mengeluarkan segumpal daging yang telah hancur di perutnya?” bentak Hani kemudian.
“Berengsek, kau masih saja berengsek, Han,” umpatnya tertahan.
Mau tak mau, Alin terpaksa menolong gadis itu. Dan di sinilah ia, di hadapan batang pohon alpukat, menatap gundukan tanah yang telah terkubur sisa gumpalan daging di bawahnya.
Alin menghela napas, ia kini tak peduli lagi pada bangau-bangau itu. Menurutnya mereka bukan bangau yang baik lagi, segala hal tentang Hani telah membuktikan itu semua. Bangau hanya cerita dongeng bodoh karangan ibunya, begitu pikir Alin.
Buah alpukat berukuran kecil terjatuh tepat di atas kepalanya. Alin mengaduh, meski kecil tetap saja menyisakan rasa sakit di kepalanya. Ia mendongak ke atas sambil mengusap bagian yang sakit, menatap marah pada pohon alpukat.
“Apa kau juga ingin mengutukku karena menanam hasil perbuatan haram ini di dekat akarmu? Aah, sial!” makinya kesal.
Alin kemudian beranjak dari tempat ia berjongkok tadi. Bau amis itu masih tersisa di kedua tangannya, Alin segera menuju keran air di depan kliniknya. Padahal sudah berkali-kali ia mencuci tangan, tetapi bau amis itu masih tercium di tangannya.
Dua orang perempuan tiba-tiba datang mendekat, Alin mengenali salah satunya. Bu Nur—salah seorang kadernya. Bersama mereka, seorang ibu berjalan dengan kepayahan, perutnya terlihat besar selayaknya perempuan dengan usia kehamilan yang cukup bulan. Bajunya lusuh, dengan rambut kusut dan penampilan yang acak-acakan. Sekilas melihatnya saja orang pasti sudah tahu kalau ia tidak waras atau gila. Sesekali ia terlihat meringis, sedetik kemudian ia tertawa.
“Bu Bidan, tolong, ini kayaknya ibunya mau melahirkan. Kami melihatnya tadi di tepi jalan, sedang berteriak kesakitan,” jelas si ibu berjilbab ungu yang datang bersama Bu Nur.
Kedua wanita itu terlihat kepayahan membimbing si perempuan gila. Beberapa kali ia terlihat memberontak dan ingin lari.
Alin menghela napas, setelah membantu aborsi yang mengerikan, ia kini harus berurusan dengan orang gila. Ingin sekali ia menolaknya, tetapi melihat kedua kaki perempuan gila itu sudah terlihat mengangkang, serta cairan basah yang merembes di kain yang menutup bagian bawahnya, membuat Alin tak tega.
“Ayo, bawa masuk, Buk!” ajaknya kemudian.
Bu Nur dan temannya kemudian membantu si perempuan gila itu untuk berbaring di tempat tidur yang sudah dipasangi perlak cokelat. Segera Alin memakai sarung tangan karet, melapisi baju putihnya dengan celemek dan memakai masker. Benar saja, saat Alin akan melakukan pemeriksaan, dua kaki kecil telah menjulur keluar dari jalan lahirnya.
“Astagfirullah, sunsang,” ucap Alin spontan.
“Gimana, Bu? Kalau memang perlu dirujuk, saya bantu panggil Pak RT,” tawar Bu Nur.
“Gak sempat, Bu, ini sudah mau keluar, tolong bantu saya aja, ya.”
Mereka berdua mengangguk. Alin segera menarik troli berisi peralatan persalinan. Dengan tenang, ia langsung menyuntikkan obat yang membantu kontraksi rahim ke paha si ibu. Dengan tenang, Alin memimpin perempuan gila itu mengejan perlahan hingga bokong si bayi keluar, lalu dengan cekatan memegang bokong si bayi dan mengangkatnya perlahan hingga wajah bayi terlihat di bawah jalan lahir. Lalu, ia mengangkat bayi untuk membantu lahirnya kepala.
Dengan cepat Alin memotong tali pusat si bayi, menarik penyedot lendir untuk mulut dan hidung bayi, lalu membungkusnya dengan handuk begitu si bayi lahir. Setelahnya, ia menyerahkan bayi itu pada Bu Nur yang sejak tadi berdiri di sampingnya.
“Bu, belum menangis juga,” bisik Bu Nur panik.
Kembali Alin meraih bayi itu, memberikan tepukan lembut melalui bokongnya ke arah kepala, lalu sedikit rangsangan pada telapak kakinya. Tak lama bayi merah itu menangis, awalnya pelan lalu makin lama makin kencang. Mereka bertiga saling melempar senyum lega.
Setelah mengeluarkan plasenta dan membersihkan sang ibu, Alin pun menjenguk sang bayi yang sudah dimasukkan di inkubator sederhana.
Bayi mungil itu terlihat cantik, sangat cantik. Kulitnya yang merah terlihat bersih, tidak ada lemak putih di sana. Tubuh mungil itu menggeliat sesaat, mulut kecilnya bergerak seolah-olah mencari sesuatu untuk memuaskan kebutuhan oralnya.
Mata Alin basah, ia terpesona, mungkin itu bayi paling cantik yang pernah ia lihat sepanjang kariernya menjadi bidan. Dadanya terasa seperti disirami air soda, terasa menggelitik dan hangat seketika.
“MasyaAllah, siapa sangka orang gila itu bisa punya bayi secantik ini, ya, Bu?” celetuk Bu Nur yang ikut melihat.
Alin terkesiap, benar, ia anak dari perempuan gila tadi. Tentulah tidak jelas siapa yang menghamilinya, dan tentu sajaia tidak akan mampu menjadi ibu bagi bayi yang dilahirkannya. Alin merasa sesak atas pikirannya sendiri, air matanya mengalir tanpa henti.
Terdengar suara ribut dari ruang observasi. Alin dan Bu Nur segera menghampiri, ternyata perempuan gila tadi mencari bayinya. Ia meracau sambil bernyanyi mencari bayinya.
“Bu, gimana ini? Gak mungkin dia merawat bayi itu,” ujar teman Bu Nur yang bersama perempuan gila.
Lama Alin terdiam, matanya kemudian melotot memandangi kain kotor di ember. Itu adalah tempat baju kotor si ibu, bajunya bergambar animasi bangau kecil yang sudah kotor dan lusuh. Meski bukan bangau asli, tetapi itu tetap bangau di mata Alin. Ia pun sesenggukan, tanpa pikir panjang, ia pun meminta Bu Nur untuk melaporkan kejadian itukepada Pak RT, dan meminta menghubungi rumah sakit jiwa, agar si oerempuan gila memperoleh perawatan.
“Bayinya gimana, Bu?” tanya Bu Nur bingung.
“Biar saya yang rawat,” jawab Alin mantap.
Depok, 18 Oktober 2021
Syifa Aimbine. Perempuan dengan lingkaran hitam di kelopak mata coklatnya yang sayu, berwajah sendu, yang sedang menatap hujan bulan Oktober yang merdu.
Komentar juri, Dyah Diputri:
Berbeda dengan ide-ide peserta lainnya, Syifa berhasil menciptakan ide cerita yang segar tanpa menonjolkan ketegangan dan aksi oleh tokoh utama dalam ceritanya. Tentu saja ia sudah biasa melakukannya, dan sayangnya tindak kriminal tetap membawa karma tersendiri baginya.
Membaca cerita ini saya tersadarkan bahwa tindakan kriminal tidak melulu disebabkan oleh dendam, trauma, jiwa psikopat, maupun keterbatasan. Terkadang, ia justru tercipta karena keterpaksaan situasi pun demi menyelamatkan nyawa orang lain.
Awesome, sebuah cerita bertema kriminal yang dikemas secara manis dan memgesankan.
Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang digelar di grup FB Komunitas Cerpenis Loker Kata (KCLK)
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata