Balasan dari Tuhan

Balasan dari Tuhan

Balasan dari Tuhan
Oleh: Aisyahir
Sama seperti ibu, orang-orang juga tidak menginginkan kehadiran saya. Saya jadi benci orang-orang, tapi saya tidak benci dengan ibu, karena bagi saya ibu bukan orang, tapi monster. Dan saya suka berteman dengan monster.
Nama saya Halimah, sejak di kandungan saya memang sudah tak dikehendaki. Berbagai macam cara yang wanita itu lakukan agar saya tidak perlu lahir untuk menatap dunia, namun semuanya tak ada yang berhasil, seakan saya memang ditakdirkan untuk lahir dan bakal menjadi cemohan orang-orang. Ya, lahir dalam keadaan tak normal merupakan alasan paling utama kenapa nama saya selalu di sebut-sebut ketika orang-orang sedang berkumpul, atau barangkali hanya dijadikan sekadar pembahasan ringkas saat kehilangan topik lain.
Sejak kecil, atau barangkali sejak saya lahir, saya tidak pernah tahu siapa ayah saya–saking banyaknya lelaki kesepian yang selalu datang ke rumah, tapi tak ada yang menetap, dan hal itulah yang membuat saya bingung harus memanggil siapa dengan sebutan ayah. Mereka juga seperti tak ingin memanggil saya dengan sebutan anak, seolah mereka juga bingung saya ini anak siapa? Bahkan saya tak ada mirip-miripnya dengan ibu, dan mungkin tak akan pernah mirip. Dengan mata bulat hampir keluar, lubang hidung sebelah kanan lari masuk, tangan pendek sebelah dengan jari tengah dan telunjuk menyatu, serta kaki yang ketika berjalan akan membentuk huruf X. Sedang ibu, saking cantiknya hingga begitu banyak lelaki yang datang ke rumah ketika larut malam.
Bukan hanya permasalahan tentang ayah, saya juga kerap kali dibingungkan dengan sikap ibu. Dia suka sekali melempar barang-barang hingga rusak ketika melihat saya. Dia juga tak segan-segan memukulkan balok kayu ke betis saya hingga patah ketika ada laporan mengenai kenakalan saya di luar sana. İtulah mengapa saya menyebut ibu monster, ibu sangat menyeramkan saat marah, dan akan sangat manis apabila melayani pelanggan yang berkatong tebal, ibu menyebalkan.
Karena memiliki bentuk fisik yang tidak normal, saya benar-benar jadi bulan-bulanan orang-orang. Saya makin benci sama orang-orang, seakan merekalah yang paling sempurna. Contohnya saja saat saya datang ke taman bermain, mereka akan memaki saya lalu berjalan pergi, menatap saya dengan tatapan jijik, serta mendapat lemparan botol bekas minuman oleh anak-anak seumuran saya. Saya jadi heran pada mereka, apakah orang harus terlihat sempurna dulu baru diajak berteman? Apakah harus terlihat cantik dulu baru ingin disambut manis? Aih, orang-orang ini, rupa-rupa saja maunya.
Bukan hanya teman bermain, saya juga punya tetangga yang paling hobi melempar cemohan terkhusus untuk saya. Bibirnya seakan kegatelan jika tak melempari saya dengan kata-kata busuk. Mengomentari kehidupan saya, mengejek postur tubuh saja, dan memandang jijik pekerjaan ibu saya. Seakan dialah yang paling sempurna, padahal, semua orang juga tahu jika suaminya itu adalah tukang pemabuk dan pereman pasar. Saking sibuknya mengomentari kehidupan orang, dia jadi lupa memikirkan keluarganya sendiri, sungguh hebat orang jaman sekarang.
“Hei anak haram! Lebih baik jangan lewat depan rumah saya! Mata saya sakit liat mata kamu yang hendak keluar itu, saya pun sangat ngeri liat tangan dan kaki kamu, saya takut penyakitmu itu malah tertular ke janin saya. Amit-amit. Mungkin saya bakalan gila jika punya anak kaya kamu, sudah tidak ada bapaknya, cacat pula.” Saya hanya tertunduk. Bicara pun tak ada artinya.
“Pergi sana! Ngapain di situ, mau minta makan? Aduh, untung kamu tidak secantik ibumu, jika saja iya, pastinya kamu juga bakalan dipaksa atau barangkali sukarela melakukan pekerjaan kotor itu.” Mulutnya masih sibuk mencemoh walau saya sudah beranjak pergi. Dia memang seperti itu, kata-katanya lebih pedas dari sambal cabe rawit.
“Maafkan saya, jalanan di sana buntu, jadi saya terpaksa lewat sini.”
“Alah. Saya tidak peduli, pergi sana! Dasar anak tidak waras! Cacat! Tidak punya bapak!” Saat itu juga saya pergi, air mata saya tak lagi bisa teratahan. Saya berjalan pulang, tak jadi keluar membeli obat. Walau sudah sering mendapat cemohan darinya, tetap saja terasa sakit. Lebih sakit dibanding pukulan ibu. İtulah sebabnya saya benci orang-orang namun tidak dengan ibu. Sebab luka dari ibu bisa disembuhkan dengan cepat, beda dengan sakit yang mereka berikan yang sakitnya benar-benar permanen.
Setiap hari seperti itu, mendapat cemohan dari orang-orabg sudah menjadi kebiasaan saya. Dan malamnya, saya bakalan kena amukan ibu, sebab ibu tak ingin saya meninggalkan rumah, namun saya selalu melanggar.
Dua bulan berselang, akhirnya tetangga saya melahirkan. Banyak warga desa ini pergi mengunjunginya di rumah sakit. Mereka pergi dengan wajah yang ceria, berbondong-bondong. Namun saat balik wajah mereka jadi murung, seakan habis melihat sesuatu yang buruk.
Dua hari setelah melahirkan. Dia pulang. Saya jadi tak sabar untuk melihat tetangga baru saya yang baru berumur dua hari itu, namun bukan kebahagiaan yang saya lihat saat wanita paruh baya itu turun dari mobil. Wajahnya kusut, sekusut rambut keritingnya, bajunya lusuh, dia berlari-lari tak tentu arah, lalu kemudian menangis dan menjerit-jerit. Awalnya saya bingung, terlebih lagi saat melihat suaminya yang sangat tak ingin melihat bayi kecil yang ada dalam gendongan nenek tua itu. Orang-orang yang menyambut kedatangan mereka terlihat sendu, menatap pasangan itu dengan tatapan nanar.
Saya mendekat, mereka menjauh. Hanya wanita bermulut pedas itulah yang mendekat.
“İni semua gara-gara kamu dasar anak pelacur! Saya tahu semua ini gara-gara penyakit kamu yabg menular ke janin saya! Lihatlah sekarang, inilah yang terjadi. Dasar sialan!” Wanita itu berteriak tepat di depan muka saya. Dua orang menahan tubuhnya agar tidak menyakiti saya. Saya jadi bingung, sebenarnya apa yang terjadi?
Wanita itu masih berteriak-teriak tak jelas, memaki saya semampu dia bisa. Perlahan saya mendekat, mendekati bayi yang masih dalam gendongan itu. Saat menatapnya, saya seolah bercermin. Dua mata bulat hendak keluar, sebelah bagian hidungnya lari masuk, tangannya pendek sebelah dengan jari tengah dan telunjuk menyatu, dan barangkali saat dia berjalan nanti bakal jadi seperti cara jalan saya. Yang ketika berjalan akan membentuk huruf X.
“İni bukan karena saya, bukan pula tularan dari sakit saya. İni semua adalah balasan, tapi bukan dari saya, tapi dari Tuhan. Ya, inilah balasan dari Tuhan.”(*)

Makassar, 04 Maret 2020.

Aisyahir. Gadis kelahiran 2001 yang sangat mengemari literasi. Saat ini tinggal dan bekerja di Makassar. Dapat dihubungi lewat akun media sosialnya: Aisyahir_25.

Leave a Reply