Balas Dendam Terindah

Balas Dendam Terindah

Balas Dendam Terindah
Oleh : Esa Nara

“Forgive not forget.”

Kurasa tiap-tiap kepala manusia baik dalam sadar maupun tidak mengakui bahwa kegiatan melupakan adalah hal yang hampir mustahil untuk ditunaikan.

Memilih menghapus suatu memori tertentu secara permanen nyatanya membuat otak salah merespon dan justru memprioritaskan hal tersebut untuk terus-menerus diproses dan digaungkan dalam ruang-ruang ingatan.

Dahulu aku adalah salah satu yang memanajemenisasi kepala semacam itu. Sebelum akhirnya semesta membawaku untuk bertemu dengan si gadis bermata kelabu.

Dia membawa langkahnya dalam garis-garis takdirku yang begitu menyedihkan kala itu. Lalu dengan begitu santai bibirnya yang berpoles gincu gelap berujar, “Balas dendamlah.” Sesaat Setelah aku baru saja selesai menyampaikan keluh kesah perihal masa lalu dengan lancangnya—tanpa memedulikan bahwa saat itu kami belum lagi akrab.

Sejenak aku memandanginya skeptis, lantas berujar, “Tapi balas dendam tak akan pernah menyelesaikan masalah.” Tentu saja, kuyakini semua manusia di muka bumi tahu hal itu. Bahwa dendam hanyalah sebuah rantai kebencian tak terputus.

Namun dia tertawa, hingga tubuh rampingnya yang di masa depan diam-diam selalu ingin kukunci dalam lingkar lenganku berguncang. Lantas pandangannya yang tadi terpaku pada langit sore, berbalik kepadaku. Sorot tajam sewarna kabut itu bak labirin yang menarik dan menyesatkanku ke dalamnya. Lalu dengan sebaris kalimat dia menyadarkanku dari keterpanaan yang menyenangkan itu, “Karena kau tak tahu cara membalas dendam dengan tepat.”

Kembali keningku bertaut merasa tak mengerti frasa-frasa yang terlontar dari lidah cerdasnya. Aku hendak bertanya lebih lanjut, tapi saat pandangan kami kembali bersibobrok semua tanya-tanya tersebut hilang. Menguap begitu saja ke udara, bercampur dengan segala debu dan polusi lantas terlupakan. Ternyata alam bawah sadarku lebih memilih untuk mengunci diri dalam sepasang mata yang nyaris kupercaya sebagai milik jelmaan malaikat jika saja tak kudapati kaki jenjangnya menapak tanah.

Dia melanjutkan untai kalimatnya dengan suara yang sama menghipnotis dengan sorot matanya. “Bagiku, usaha melupakan adalah bentuk frustrasi paling putus asa … maka berdamai adalah balas dendam terindah yang bisa dilakukan.”

Reaksiku setelah mendengar sepatah kalimat itu begitu sulit kujelaskan. Rasanya seperti baru saja mengetahui sesuatu yang seharusnya sudah sejak dulu kuketahui. Seakan-akan dia mengucapkan itu setelah menerjemahkan bahasa hatiku yang terdalam.

Lama kupandangi langit kala itu, seakan-akan iris kelabunya tak lagi menarik perhatian. Padahal sesungguhnya aku hanya malu untuk menatap wajahnya kembali karena dia telah berhasil memvonisku dengan sebuah kebenaran yang tak hendak kuakui, bahwa aku hanyalah seorang pendendam menyedihkan yang tak tahu cara merelakan sesuatu. Bahwa aku sefrustrasi itu terhadap masa lalu.

“Kau hanya perlu memaafkan.” Dia berujar lagi, seolah menegaskan apa yang sudah sepatutnya kulakukan.

Jadi aku memberanikan diri menatapnya. “Akan kucoba.”

Good luck,” ucapnya dengan sebuah senyum di sudut bibir.

Dan begitulah sepenggal kisah yang akhirnya mengubah cara kerja fungsi otakku. Juga menjadi hari dimana aku memutuskan untuk terus melibatkan wanita itu dalam setiap langkah-langkahku di lintasan takdir.(*)


Esa Nara. SlytherPuff | F.R.I.E.N.D.S enthusiast.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply