Baktinya kepada Ibu
Penulis: Engga Fifitri
Ada dua lelaki. Keduanya merupakan saudara kandung. Lahir di dalam keluarga yang taat beragama. Namun perilaku dua orang itu berbeda. Mereka tinggal bersama ibunya. Ayahnya telah lama meninggal ketika mereka masih balita.
Yang bungsu bernama Hasan, sejak kecil dikenal baik, alim dan ahli ibadah. Ia tidak suka menyakiti orang lain, tidak suka berbuat nakal. Waktunya banyak ia habiskan untuk keluarganya terutama ibunya. Karena perbuatannya yang baik dan akhlaknya yang mulia ini ia dicintai oleh keluarga dan warga sekitar tempat mereka tinggal. Hasan juga merupakan anak yang cerdas dan karena itu ia selalu dipuji oleh guru dan teman-temannya di sekolah. Ketika tamat SMA, Hasan pergi ke luar Jawa untuk melanjutkan pendidikannya di Universitas Magelang.
Sang kakak bernama Zulfikar. Ia sangat berbeda dengan adiknya, sejak kecil dikenal nakal. Ia keras kepala dan sombong. Ia juga tidak pernah menghargai gurunya di sekolah. Itu sebabnya ia tidak disukai banyak orang, bahkan karena sikap buruknya itu, dirinya mulai dijauhi oleh keluarga dan teman-temannya.
Pada suatu malam Zulfikar bertengkar dengan ibunya. Ia merasa iri dengan adiknya yang melanjutkan pendidikannya ke luar kota. Karena sangat marah, Zulfikar segera meninggalkan rumah tanpa membawa apa pun. Ketika sudah jauh dari rumahnya, ia baru menyadari bahwa ia sama sekali tidak membawa uang. Di satu persimpangan jalan, ia melewati sebuah warung dan mencium harumnya aroma masakan. Ia ingin sekali memesan sepiring nasi goreng, tetapi ia tidak punya uang.
Pemilik warung melihat Zul yang berdiri cukup lama di depan warungnya berkata, “Nak, apa kau ingin memesan nasi goreng?”
“Ya, tetapi aku tidak punya uang,” jawab Zul malu-malu.
“Tidak apa-apa, Nak. Silahkan duduk. Aku akan memasakkan nasi goreng untukmu.”
Tidak lama kemudian, pemilik warung itu mengantarkan sepiring nasi goreng. Zul segera melahapnya, namun baru beberapa suap kemudian air matanya mulai berlinang.
“Ada apa, Nak?” tanya si pemilik warung.
Sambil mengusap air matanya Zul menjawab, “Kau tidak mengenalku, tetapi kau mau menolongku dan peduli denganku. Sementara ibuku sendiri, dia tidak peduli padaku.”
“Mengapa kau berpikir itu. Renungkanlah hal ini, aku hanya memberimu sepiring nasi dan kau begitu terharu. Sedangkan ibumu, ia telah memasak makanan untukmu setiap hari dari kau kecil sampai saat ini. Bahkan, seorang ibu tidak akan makan sebelum anak-anaknya kenyang. Mestinya kau berterima kasih kepadanya.”
Zul terhenyak mendengar hal tersebut. Zul mulai mengingat semua kenangan itu. Bayangan semasa kecil ketika ia disuapi ibunya dan bermain dengan adiknya. Air matanya kembali menggenang di pelupuk matanya.
“Kenapa baru terpikir olehku, aku bahkan tidak memperlihatkan kepedulianku kepada ibuku yang memasak untukku selama bertahun-tahun,” gumam Zul dalam hati. “Apakah aku akan hidup begini terus? Dibenci semua orang, bahkan oleh keluargaku sendiri, karena sikap burukku.”
Zul segera beranjak dari warung itu sembari mengucapkan terima kasih kepada pemilik warung.
Sejak malam itu Zul bertekad untuk mengubah kepribadian buruknya. Ia pun melamar bekerja sebagai kuli panggul di pasar. Mau tak mau ia harus menjalankan pekerjaan itu, untuk bisa menghidupi dirinya yang terpisah dari keluarganya. Setiap pulang bekerja, Zul kembali ke masjid untuk bermalam di sana. Begitulah hari-hari yang Zul jalani.
Dua tahun berlalu di kampusnya, Hasan mulai mengenal banyak hal yang menyenangkan. Mencoba hal baru dan bergaul dengan banyak kalangan. Ia menjadi mahasiswa teladan dan populer di kampus. Karena mempunyai wajah yang tampan juga, ia banyak dikagumi oleh para mahasiswi.
Setelah lulus Hasan mendapatkan beasiswa di sebuah kampus di luar negeri. Pada saat itu juga ibunya didiagnosis mengalami sakit ginjal. Tapi Hasan tetap pada pilihannya untuk melanjutkan pendidikannya. Ibunya pun harus tinggal sendiri di rumah.
Lima bulan berlalu setelah Hasan meninggalkan ibunya yang sedang sakit. Ibu hanya bisa memikirkankan putranya yang berada di luar negeri dan putra sulungnya yang entah pergi ke mana, setiap hari.
Pada akhirnya, takdir membawa Zulfikar kembali ke rumahnya. Sesampainya di depan rumah, Zul merasa tidak ada perubahan yang berarti pada rumah yang sempat ia tinggali beberap tahun itu. Ia pun mengetuk pintu sembari mengucapkan salam.
Ibu Zulfikar yang masih ada di dalam tersentak mendengar suara yang tidak asing di telinganya. Dia pun bergegas ke luar. Dia amat terkejut bahwa pemilik suara itu adalah anaknya yang telah lama pegi. “Anakku, kau sudah pulang,” ucapnya haru. Zul pun langsung merangkul ibunya.
“Ibu kenapa sendirian di rumah? Di mana Hasan?”
“Hasan adikmu, ia melanjutkan pendidikannya ke luar negeri, Nak.”
“Jadi Ibu tidak ada yang menemani?” tanya Zul geram.
Ibunya terdiam, air mata menetes di pipinya. Ia memalingkan wajahnya, tidak mampu menatap amarah di wajah Zul.
Sebulan kemudian, seorang lelaki setengah baya mengetuk pintu rumah mereka.
“Permisi, Tuan, ada pos untuk alamat ini, tolong tanda tangani surat penerimaannya di sini.” Tukang pos itu memberikan selembar kertas untuk ditandatangani.
Setelah Zul menandatangani surat itu, tukang pos itu pun segera pergi.
“Ibu, ini ada kiriman surat dari Singapura.”
Dengan tak sabar ibunya membuka isi surat tersebut:
Ibu, maafkan aku yang tak sempat memberikan kabar.
Aku akan menetap di Singapura untuk selamanya karena telah menikah dengan gadis di sini, maafkan aku yang mungkin telah menyakiti hati Ibu dengan mengirimkan kabar ini, tapi ini sudah menjadi pilihanku, Bu. Aku mencintai Celine, istriku saat ini.
Aku tetap sayang dengan Ibu. Aku akan menjemput Ibu saat aku sudah benar-benar siap menetap di sini nanti. Maafkan aku, Bu.
Hasan, anakmu.
Betapa terkejutnya sang ibu setelah membaca isi surat tersebut. Anak yang selama ini ia banggakan dan dicintai oleh seluruh keluarga itu justru dengan entengnya mengkhianati kepercayaanya. Sang ibu pun tiba-tiba terjatuh tak sadarkan diri.
Bingung dengan keadaan ibunya, Zul akhirnya membawanya ke rumah sakit.
Karena begitu mengkhawatirkan keadaan Ibunya, Zul pun mencari pinjaman telepon untuk menghubungi adiknya, tapi tidak ada jawaban. Zul pun sempat pulang ke rumah untuk mengambil beberapa pakaian ganti untuk ibunya.
“Bagaimana keadaan ibu saya, Dok?” tanya Zul khawatir.
“Ibumu harus melakukan operasi ginjal, tetapi rumah sakit tidak memiliki pendonor ginjal yang cocok untuk ibumu.”
“Ambil ginjal saya saja,” jawab Zul cepat. “Saya siap mendonorkan ginjal saya untuk ibu saya, Dok.”
“Baiklah, jika memang itu sudah menjadi keputusanmu. Kita lakukan pemeriksaan terlebih dulu.”
Setelah pemeriksaan dilakukan ternyata hasil menunjukkan bahwa Zul siap melakukan operasi pengangkatan ginjal untuk ibunya. Malam itu juga operasi itu dilakukan. Selepas operasi, keduanya terbaring lemah tak sadarkan diri.
***
Dalam kondisi koma itu, Zulkifli bermimpi tentang ibunya. Perempuan itu memeluknya yang sedang terbaring di kasurnya.
“Terima kasih, anakku. Maafkan ibumu ini yang tak cukup memperhatikanmu. Ibu merasa bukanlah ibu yang baik untukmu, Nak.”
Sambil menangis, Zulkifli menjawab, “Kenapa Ibu berbicara begitu. Apa yang aku lakukan ini belum seberapa jika dibandingkan dengan kasih sayang yang Ibu berikan sejak aku kecil. Jangankan bersikap baik, untuk mengucapkan terima kasih pun tidak pernah aku lakukan. Maafkan atas sikap buruk Zul selama ini, Bu.”
Kamar tempat ia tidur nampak indah sekali, kasurnya berselimut sutera dengan langit-langit yang bercat putih-biru tak ubahnya langit di siang hari. Terdapar banyak pot bunga di kamar itu dan terdengar suara burung-burung bernyanyi.(*)
email: e-fifitri@yahoo.com. Fb : Engga Fifitri. IG: Engga Fifitri
WA: 082280352408 BBM : 5e87a703