Bahasa Daerah Menuju Punah

Bahasa Daerah Menuju Punah

Bahasa Daerah Menuju Punah
Oleh : Reza Agustin

Dewasa ini, bahasa daerah tak lagi menjadi idola. Bahkan semakin tersisih, tergantikan dengan bahasa asing impor. Bukan mengambinghitamkan bahasa negara lain yang sejatinya indah. Namun, bukan sebuah ketakutan belaka jika nantinya bahasa daerah semakin terlupa hingga akhirnya punah saja.

Pernahkah menjumpai les bahasa daerah? Ah, mungkin sama sekali tak ada. Les yang kian menjamur tentu saja bahasa negara lain. Bahasa Inggris sebagai bahasa internasional yang mendapat pengakuan. Bahasa Jepang agar semakin mendalami dunia wibu dan otaku. Bahasa Korea mulai muncul di mana-mana sebagai usaha memahami perkataan oppa tercinta. Bahasa Arab mulai dipelajari supaya lidah nantinya terbiasa dengan bahasa syurgawi. Bahasa Mandarin juga tak kehilangan gaungnya kendati telah meledak di Indonesia beberapa dekade silam. Mempelajari bahasa asing bukan sekadar untuk tahu saja. Namun juga bekal untuk mencari sekeping uang di negeri orang.

Lalu, apa kabar bahasa daerah? Bolehkah saya tertawa ketika saya yang lebih familier dengan bahasa Jawa justru mendapati bocah-bocah Jawa zaman sekarang tak tahu istilah-istilah Jawa dalam penamaan hewan. Sebut saja cemeng untuk anak kucing, kuthuk untuk anak ayam, dan banyak lagi. Namun mereka dengan polosnya hanya menambahkan anak di depan kata hewan yang dimaksud. Anak kucing alih-alih cemeng, dan yang lebih parah lagi adalah telur untuk menyebut kuthuk alias anak ayam.

Saya sendiri cukup berterima kasih pada beberapa nama penyanyi yang secara tak langsung masih membuat bahasa daerah terjaga eksistensinya. Via Vallen yang mendobrak stigma orang tentang dangdut khas Jawa Timuran, Nella Kharisma dengan jaran goyangnya, Didi Kempot yang membuat hati kita ambyar, dan sederet nama penyanyi lokal yang ikut melestarikan bahasa Jawa.

Berkat penyanyi orkes dangdut, beberapa bahasa daerah lain ikut terangkat. Kendati masih dalam bentuk dangdut koplo, tetapi ada beberapa bahasa daerah lain yang ikut terangkat. Pernah sekali saya mendengarkan orkes dangdut Jawa Timur menyanyikan lagu berbahasa Maduran, Banjar, Melayu, dan banyak lagi. Bahkan, banyak bahasa daerah yang mulai terangkat berkat salah satu ajang pencarian bakat musik dangdut.

Ada pun untuk penyanyi pop juga ikut meramaikan penggunaan bahasa daerah. Sebut saja Dian Sorowea yang mengangkat lagu dengan bahasa khas Indonesia bagian timur. Yura Yunita pun pernah memperkenalkan bahasa Sunda pada salah satu lagunya. Mungkin hanya segelintir nama itu yang saya kenal pernah membuat bahasa daerah kembali terdengar.

Menyusutnya ahli bahasa daerah juga salah satu faktor yang ikut memperparah menghilangnya bahasa daerah. Bahasa daerah tak terlalu menjamin masa depan di meja kerja. Bahasa asing yang utama. Apa kata orang jika belajar bahasa daerah, bukannya bahasa asing terdengar lebih elit?

Orang Indonesia mayoritas memiliki bahasa daerah sebagai bahasa Ibu. Bahasa pertama yang mereka kenal daripada bahasa nasional sendiri. Mayoritas, bukan semuanya. Namun kini gairah mempelajari bahasa daerah ikut menipis, persis seperti lapisan ozon. Apa yang nantinya akan terjadi jika bahasa daerah punah sungguhan?

Tentu saja sebagai pengguna bahasa daerah, saya sangat takut hal itu akan terjadi. Jangan salahkan bahasa asing yang menggerus bahasa daerah jika kamu sendiri juga enggan mempelajari sendiri bahasa daerahmu.


Reza Agustin, pecinta kucing dan hallyu. Kunjungi wattpad: @reza_summ08 dan Instagram: @reza_minnie.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply