Oleh: Yati Ertuğrul
Pulang sekolah, aku melihat Ibu memasukkan baju ke tas besar berwarna hitam dengan garis biru di tengahnya. Tas yang kemarin baru dijahit oleh Ibu karena ritsletingnya rusak itu kini hampir penuh dengan baju.
Muka Ibu merah, mirip seperti wajah Ilham, temanku, waktu dimarahi bu guru karena tidak mengerjakan PR.
“Ibu mau ke mana?” Aku mendekati Ibu.
“Salin dulu, sana!” Tangan Ibu masih sibuk memasukkan celana panjang ke dalam tas.
Ah, Ibu, kalau aku bertanya, tak pernah buru-buru dijawab, malah menyuruh melakukan hal yang lain.
Aku pergi ke kamar, kemudian ganti baju dengan cepat. Tak sabar rasanya menunggu jawaban dari Ibu.
Selesai salin, aku lari ke tempat Ibu. “Ibu mau ke mana?”
“Kerja.”
“Aku boleh ikut, enggak?”
“Enggak bolehlah. Kan kamu harus sekolah!”
“Terus, aku di rumah sama siapa?”
“Kan ada Mbah.”
“Ah, Ibu, aku maunya ikut sama Ibu.” Aku mulai menangis. Biasanya, kalau aku menangis, Ibu mau menuruti permintaanku.
Ibu menoleh ke arahku.
Tangisku bertambah kencang. Sengaja, agar Ibu mau mengajakku.
“Dengar Gus, Ibu itu mau nyari duit, bukan mau jalan-jalan.”
“Tapi aku mau ikut, Bu.”
“Nih, dengerin Ibu! Nanti kalau Ibu pulang, Ibu beliin sepeda!”
“Beneran, Bu?” Aku mengusap air mataku.
“Iya.” Ibu mengelus kepalaku. “Udahlah, makan dulu, sana!”
Aku segera berlari ke dapur untuk makan. Piring bergambar tiga bunga merah yang kupakai untuk makan terlihat sangat indah hari ini. Juga sayur bayam yang dimasak Ibu terasa enak sekali.
Sambil makan, aku membayangkan naik sepeda bersama Ilham. Pasti seru. Nanti, aku tak perlu meminjam sepeda Ilham lagi. Kadang dia mengizinkanku menaiki sepedanya, tetapi lebih sering tidak boleh. Kemarin, aku sampai capek dorong-dorong sepeda Ilham sambil lari-lari, tapi tidak dikasih pinjam. Lalu, aku pulang sambil menangis.
***
Besoknya, pagi-pagi sekali mobil putih besar berhenti di depan rumah. Aku langsung bangun dan melihat ke luar.
Di luar, Ibu sudah siap dengan tas besar. Ibu kelihatan cantik dengan baju berwarna biru dan celana panjang hitam. Beda sekali dengan kebiasaan Ibu di rumah yang hanya memakai daster lusuh, kadang tampak sobek di bagian ketiaknya. Sekarang, Ibu mirip Bu Santi, guruku di sekolah.
“Ibu berangkat ya, Gus. Nurut sama Mbah, jangan nakal, ya!”
Ibu mencium pipiku, lalu memelukku. Aku diam saja, heran sama Ibu karena dia menangis. Ibu sudah besar, kok nangis ya? Padahal kan dia mau pergi naik mobil. Seharusnya Ibu senang.
Aku mengangguk. Lalu, Ibu naik ke mobil putih setelah berpamitan dengan Mbah. Tangan Ibu melambai-lambai saat mobil mulai berjalan.
Sekarang, aku baru sadar, terasa seperti ada yang hilang. Ingin lari mengejar Ibu, tapi tangan Mbah menahanku. Rasanya sama seperti saat burung kesayanganku mati. Aku menangis.
***
Setelah Ibu pergi, rumah jadi sepi. Mbah sudah berangkat ke sawah. Aku terlambat datang ke sekolah karena mencari kaos kaki yang hilang sebelah. Aku mulai kangen Ibu.
Pulang sekolah, aku lihat ada mobil putih yang berhenti di jalan dekat rumahku. Aku langsung lari, berharap Ibu yang turun dari mobil. Ternyata, ibunya Mas Galang yang pulang.
Dari teras rumah, aku melihat Mas Galang tertawa bersama ibunya. Kapan, ya, ibuku pulang? Aku ingin seperti Mas Galang.
Malam hari, aku ada PR, tapi tak bisa mengerjakan. Mbah juga tak tahu. “Bu, Mbah enggak bisa bantuin bikin PR IPA,” lirihku saat di kamar.
Besok, aku pasti diomelin bu guru karena tidak mengerjakan PR. Aku benar-benar kangen Ibu sekarang.
Aku berjalan ke lemari, mencari pakaian Ibu. Kuambil daster berwarna merah dengan kembang besar yang telah sobek kantongnya, kuhirup dalam-dalam baunya. Aku seperti bersama Ibu. Lalu, aku berjalan ke tempat tidur, berbaring di atasnya sambil memeluk erat daster Ibu.
***
Sekarang, aku lebih suka duduk sendiri di teras, menunggu Ibu pulang sambil melihat awan bergerombol yang berjalan persis seperti mobil putih yang membawa Ibu pergi. Kadang, aku berbisik pada awan agar membawa Ibu pulang.
Saat Ilham memanggilku untuk main bersama pun aku malas. Bahkan, dia berjanji akan meminjamkan sepedanya, tapi aku tetap tidak mau.
Ibu, aku kangen, pulanglah! Pulanglah, walaupun tanpa sepeda. Sungguh, Bu, aku sudah tidak ingin sepeda lagi. Aku hanya ingin Ibu di sisiku.
***
Anadolu area, 22 Desember 2021
Yati Ertuğrul, ibu satu anak penyuka senja, sedang belajar merangkai aksara.
Editor : Rinanda Tesniana
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/menjadi penulis tetap di Loker Kata
Gambar : https://pin.it/2s26BAl