Badan Penanggulangan Pecundang (Terbaik ke-16 TL15)

Badan Penanggulangan Pecundang (Terbaik ke-16 TL15)

Badan Penanggulangan Pecundang

Oleh: Reza Agustin

Terbaik ke-16 Tantangan Lokit 15 (tema: Karantina)

 

Hari pertama.

Ayah beserta ibu tiriku mengantar sampai di depan gedung karantina. Wajah mereka terhalang masker, tersisa sepasang mata yang tak menunjukkan ekspresi apa pun. Ah, harusnya aku tak begitu berharap. Diantar sampai tempat ini pun, aku sudah bersyukur. Aku tak perlu berjalan kaki puluhan kilo. Sudah lama sekali sejak mereka menghabiskan waktu hanya bertiga denganku—kendati kami menghabiskan waktu dengan saling diam di dalam mobil. Aku tak akan menyalahkan Elma yang selama ini selalu mendapat limpahan kasih sayang, ia memang pantas mendapatkannya di usia yang begitu muda.

“Terima kasih Ayah dan Ibu sudah mau mengantar. Aku pasti akan segera kem—”

“Perawat sudah datang. Ayah dan Ibu akan pulang sekarang. Kami tak tega meninggalkan Elma sendirian di rumah,” potong Ayah. Ia lekas-lekas menarik bahu Ibu. Mereka berbalik dan lantas memasuki mobil. Sama sekali tak meninggalkan salam perpisahan.

“Nona Theana?” panggil perawat yang baru saja datang. Ia mengenakan hazmat dan sebuah benda menyerupai pistol.

“Ya.”

Benda menyerupai pistol tersebut diarahkan ke mataku hingga mengeluarkan bunyi “bip”’. Sebuah layar hologram muncul di atas pergelangan tangan kanannya.

“Theana Brown, umur enam belas. Anda akan berada dalam pengawasan kami selama empat bulan ke depan. Sebelumnya kami akan melakukan tes secara menyeluruh. Mari ikuti saya,” perintah perawat tersebut, lalu berjalan mendahului.

Maka, di sinilah aku, Badan Penanggulangan Pecundang. Empat bulan ke depan akan menentukan apakah aku akan dipulangkan atau tidak sama sekali.

 

Hari kedua.

Aku senang ketika menyadari tak sendirian di tempat karantina. Ada banyak remaja seusiaku yang juga dibawa ke tempat ini. Namun, para perawat tak mengizinkan kami berinteraksi lama-lama.

“Kami tak ingin virus pecundang kalian menular pada petugas medis. Kalau kami semua tertular dan menjadi pecundang, siapa yang akan menyembuhkan kalian?”

Selentingan itu tak sengaja kudengar ketika sedang menjalani tes akademik. Hasilnya tak pernah memuaskan, aku paham. Salah satu alasan mengapa Ayah dan Ibu mengirimku ke sini. Mereka tentu lebih sayang terhadap Elma yang sejak usia tiga tahun sudah bicara dengan empat bahasa dan di usia lima tahun sudah masuk sekolah menengah pertama. Jangan bandingkan denganku yang selalu berada di peringkat terakhir dan sama sekali tak pernah mencicipi nilai A.

“Kemampuan akademikmu sangat rendah, tak heran orangtuamu mengirim ke sini. Mereka tak ingin virus pecundangmu semakin parah. Kami akan memberikan obat dan juga suplemen, jangan lupa un—”

Sebuah keributan di luar sejenak mengalihkan atensi seluruh orang di dalam ruang tes. Seorang anak lelaki berambut merah terang terlihat sedang berlari sepanjang lorong. Ia tengah menghindari kejaran perawat, dokter, beserta petugas keamanan. Ia menabrak perawat yang membawa alat-alat kesehatan dan menendang pot bunga hingga pecah berkeping-keping. Anting-anting dengan bandul warna hitam yang tergantung di telinga kiri lelaki itu sejenak mencuri perhatian. Lalu, tanpa aku sadari, mata kami bertemu singkat. Ia menyeringai.

“Jangan pedulikan anak itu. Ia sudah berada di sini selama bertahun-tahun. Orangtuanya tak lelah mengirim ia berulang kali ke sini. Ini mungkin menjadi kali terakhirnya sebelum dikirim jadi budak. Kalau tak ingin menjadi seperti dia, tolong berusahalah dengan keras keluar dari sini,” terang perawat yang lantas meninggalkan sebuah kotak berisi buku dan beberapa botol suplemen.

“Baik, saya akan berusaha.”

Seorang perawat membimbingku menuju kamar. Dalam perjalanan kembali ke kamar, aku melihat lagi anak lelaki itu berlarian di luar gedung. Masih diikuti beberapa dokter, perawat, dan petugas keamanan. Alih-alih khawatir tertangkap, ia justru terlihat sangat menikmatinya.

“Tolong jangan sampai teralih pada anak itu. Fokuslah belajar agar Anda segera keluar dari sini. Saya mengingatkan karena melihat hasil tes Anda tadi,” tegur perawat di sampingku.

“Maaf, tak akan saya lakukan lagi.” Aku bergegas masuk ke dalam kamar, sementara perawat itu melaksanakan tugasnya kembali mengawasi pasien lain.

Setelah menelan sebutir suplemen, aku mengeluarkan buku-buku dari dalam kotak. Rasanya seperti hari pertama sekolah. Ketika aku mendapat buku baru dan menikmati aromanya yang khas. Itu adalah saat-saat yang menyenangkan, sebelum tersadar bahwa isi buku tersebut terlalu sulit dipahami. Setiap minggunya akan ada tes, aku tak begitu yakin bisa mendapatkan kenaikan nilai nantinya.

Sejenak, mataku beralih ke luar. Pada jendela luas itu, kulihat taman yang hijau. Hanya hijau. Ah, aku merindukan taman kecilku di belakang rumah. Bagaimana kabar mawar dan tulip yang kutanam pada awal tahun? Apakah Ayah dan Ibu merawat mereka?

“Hai, gadis murung!”

Aku jatuh terduduk di lantai karena lelaki tadi. Ia bergelantung dengan kepala berada di bawah.

“Jangan ganggu aku belajar!”

“Baiklah, Nona Theana. Nikmati belajarmu yang sia-sia itu.” Ia lantas melakukan beberapa gerakan akrobatik sebelum mendarat dengan kaki menapak tanah, aku sempat berharap agar kepalanya saja yang mendarat dulu di tanah.

“Tunggu! Bagaimana kamu bisa tahu namaku?” tanyaku sebelum ia menjauh.

Ia menyeringai, seperti ketika mata kami bertemu tadi. “Siapa yang tak akan mengenalmu? Kamu sekarang jadi pasien dengan nilai terendah sepanjang sejarah tempat karantina ini dibangun.”

“Apa?!”

“Aku tak akan mengulangi kata-kataku. Sampai jumpa!” Ia melambai bak pemenang ajang kecantikan dunia, tetapi tak bertahan lama. Dokter, perawat, dan petugas keamanan segera mengejarnya.

 

Hari kedelapan

Para perawat dan dokter tak puas dengan hasil tesku. Namaku juga masih berada di kolom pasien dengan nilai terendah. Itulah mengapa para perawat menambah jumlah suplemen dan obat, serta menambah jumlah dokter. Khusus untukku saja. Para dokter tak pernah lelah mencarikan metode-metode termudah menjawab tes. Para perawat tak henti-hentinya memberikan semangat. Namun, sekeras apa pun aku berusaha, semua soal itu tetap tak dapat aku pahami, apalagi menemukan jawabannya.

“Padahal ia anak Charles Brown yang genius. Sekarang ia mengajar di perguruan tinggi elite pemerintah. Ibu tirinya menjadi dekan, adik tirinya sudah masuk SMP di umur lima tahun. Ada gosip yang beredar kalau adiknya akan dikontrak oleh NASA kalau sudah lulus kuliah.”

“Mungkin adiknya akan lulus kuliah sebelum umur dua belas. Ia anak genius.”

“Sayang, Theana sangat bodoh. Mungkin karena mendiang ibu kandungnya yang juga alumni tempat ini. Heran, kenapa dulu Charles Brown menikah dengan wanita sebodoh itu.”

“Dengar-dengar karena masalah keuangan. Ia sangat miskin dulu. Keluarga mendiang adalah orang kaya, walaupun sekarang sudah bangkrut. Mereka tak bisa bertahan di tengah persaingan bisnis dan otak pengusaha lain.”

“Itulah sebabnya mengapa orang-orang yang terinfeksi virus pecundang seharusnya dijadikan budak saja di Distrik 0 daripada dibiarkan menjadi tanggungan negara seperti ini.”

Baru kali ini aku mendengar bagaimana perawat yang setiap hari menyemangati, justru bergunjing ketika aku tak ada di sekitar mereka. Normalnya, orang akan marah ketika anggota keluarganya dilecehkan. Namun, aku tak bisa. Mungkin karena aku pecundang, sehingga aku diam saja sembari menangis. Anehnya, aku sama sekali tak ada niatan menghentikan kegiatan belajar. Bahkan ketika buku yang sedang kutekuni dipenuhi titik-titik air mata.

“Kalau kamu mengerjakannya begitu, kamu akan gagal!”

Lagi-lagi kudapati lelaki badung beranting-anting tak lengkap itu di jendela. Ia menyilangkan kedua tangan di depan dada, sementara sebuah buku terselip di antara dada dan tangannya.

“Mau apa kamu?! Jangan ganggu aku!” ketusku.

“Aku hanya mau membantu.” Ia melakukan gerakan akrobatik lagi, lantas bergelantungan di dekat jendela. Buku yang tadi ia bawa kini terjatuh di lantai kamarku, dilemparkan melalui ventilasi.

“Hei, ini apa?”

Lelaki itu tak menjawab, ia sudah pergi dengan cara bergelantungan seperti monyet. Kali ini tidak diikuti dokter, perawat, maupun petugas keamanan. Buku miliknya yang tampak kumal itu berpindah ke tanganku. Benar-benar tak menyayangi buku. Pantas saja ia jadi pasien di sini. Bukunya penuh coretan-coretan artistik, gambar sepeda motor, alat-alat aneh yang tak pernah kulihat sebelumnya, perempuan berpose cabul, dan umpatan-umpatan yang ditulis tebal. Benar-benar patut dimasukkan sebagai pasien.

Menjelang halaman akhir yang dipenuhi soal, aku menaikkan satu alis bingung. Ia menjawab benar semua soal di sana dengan metode berbeda, yang sama sekali tidak diajarkan para dokter. Namun, semua jawabannya tepat. Ia salah di semua soal uraian karena tidak menjawab sesuai metode, padahal jawabannya benar. Di bawah soal uraian itu disisipi catatan dari dokter; Kalau kau masih mau jadi pecundang, teruslah saja mengerjakan soal tidak sesuai metode. Aku kembali ke halaman awal soal. Namanya adalah Rayn. Tertulis di kolom yang tersedia untuk mengisi nama.

 

Hari kelima belas.

Para perawat memasang wajah berseri ketika hasil tesku keluar, ada peningkatan nilai yang signifikan. Sekarang namaku masuk kolom lima puluh besar dari seratus pasien. Aku berhasil menjawab semua tes pilihan ganda menggunakan metode Rayn. Untuk soal uraian, aku menggunakan metode dokter dan hanya ada satu soal benar. Soal paling mudah. Namun, para perawat dan dokter cukup bangga aku bisa naik peringkat.

Tanpa mereka ketahui, semua ini berkat Rayn yang selalu dicap biang kerok. Aku masih heran saja, Rayn sebetulnya pandai bahkan bisa dibilang genius. Ia memiliki pemikiran yang luas dan satu langkah di depan para dokter superpintar itu. Ketika aku kembali ke kamar, kutemukan buku lusuh berisi materi yang akan ditekankan selanjutnya. Masih sama seperti buku sebelumnya, Rayn memenuhi banyak gambar di buku ini. Kali ini kutemukan banyak gambar bangunan dan alat-alat elektronik yang tak terbayangkan sebelumnya.

Sebuah benda tiba-tiba saja terjatuh dari lembaran buku. Sebuah kertas dan anting-anting dengan bandul warna hitam? Apa maksudnya?

Pakai ini dan kita bisa mengobrol dengan teman-teman yang lain.

Pesan yang tertulis dalam kertas kecil tersebut. Lagi-lagi aku dibuat mengangkat sebelah alis. Tidak ada satu pun alat komunikasi yang bisa masuk ke sini. Pun, komunikasi dan interaksi mencurigakan antar pasien dilarang. Selama ini para pasien tak pernah kelihatan berinteraksi, mereka juga tak pernah kelihatan memakai anting-anting. Ah, ia pasti cuma main-main. Kupakai saja, pasti juga tak akan terjadi apa-apa.

Sebuah sengatan kecil dan dengungan hebat terjadi saat anting-anting tersebut telah kupakai. Beberapa detik kemudian, samar-samar terdengar suara gemerisik dan keributan kecil. Tepat detik itu pula, sebuah layar hologram besar muncul di udara dan aku bisa melihat banyak kotak yang memunculkan wajah-wajah asing. Sembilan puluh delapan, sembilan puluh sembilan, lalu aku menggenapinya menjadi seratus. Sesuai dengan jumlah pasien di sini!

“Wah, itu pasien baru!”

“Dia cantik, ya?”

“Sssst, jangan keras-keras. Ada perawat di depan kamarku.”

Sementara mereka saling bersahutan lirih, Rayn yang kotaknya berada di puncak dan paling besar segera menenangkan keributan.

“Selamat datang, Theana. Kamu mungkin masih baru, tapi kami akan mengundangmu bergabung,” ujar Rayn. Ketika ia bicara, seluruh pasien lain diam.

“Tunggu, ada apa ini? Bergabung dalam apa?”

“Pembangunan kota impian kami. Tempat para pecundang hidup dengan standar yang lebih manusiawi.” Rayn serius, imej yang berbanding terbalik dengan Rayn bandel langganan dikejar dokter, perawat, dan petugas keamanan.

“Tapi para pasien yang dikarantina tak boleh berkumpul. Penyebaran virus aka—”

“Kamu masih tak sadar sedang dibohongi? Tak ada namanya virus pecundang! Kita dianggap pecundang karena tak memenuhi standar mereka, itu saja. Kita bukannya orang gagal. Kita adalah orang yang berpikir dengan cara berbeda, menggunakan metode yang tak bisa mereka pahami. Di sini ada pelukis, penari, pekebun, dan lain sebagainya. Masing-masing manusia memiliki bakat sendiri. Bukannya diperbudak dengan soal-soal berisi angka dan tanda baca aneh. Kita punya cara hidup sendiri yang berbeda. Sudah saatnya kita hidup seperti cara kita!”

Penjelasan panjang Rayn membuatku tertegun. Aku, selama ini lebih senang menanam bunga atau pohon kecil yang berbuah daripada mengerjakan soal matematika dan fisika ketika Elma telah mempelajari kalkulus dan aritmatika. Ayah dan Ibu selalu menganggap apa yang aku lakukan salah kendati dari hobiku itu Elma selalu memiliki camilan buah yang sehat atau meja di ruang tamu menjadi indah karena bunga yang kutanam. Aku, ingin memenuhi seluruh kota dengan bunga yang indah.

“Tapi, bagaimana dengan orangtuaku?”

Rayn sejenak memejamkan mata, ekspresinya berubah pilu. “Bacalah berita ini, Theana.”

Sebuah potongan berita menggantikan kotak-kotak wajah para pasien. Tertulis di sana bahwa seluruh anggota keluarga Brown pindah ke rumah dinas yang disediakan pemerintah agar mereka lebih fokus dalam mengajar dan melakukan penelitian. Rumah lama mereka dijual dan dihancurkan untuk dibangun sebuah perpustakaan. Berita itu dilengkapi dengan foto kebun kecil di belakang rumah yang dihancurkan alat berat. Tamat.

“Sekarang kamu masih mau ditipu? Mereka tak akan kembali padamu.”

Duniaku seakan runtuh, tak sadar kini aku terduduk di lantai kamar. Sekarang aku mengerti alasan di balik sikap dingin Ayah dan Ibu waktu itu. Mereka memang tak memiliki niatan membawaku pulang.

“Sekarang, kamu sudah tak punya tempat kembali. Maukah kamu bergabung bersama kami? Kami akan berangkat membangun kota kami di Distrik 0, kota yang diciptakan untuk para budak. Kami akan membangunnya menjadi tempat paling hebat sehingga tak akan ada yang berani menghinanya. Apakah kamu bersedia bergabung dengan kami? Setelah itu, kamu akan menjadi bagian dari kami. Dan, kita akan mengubah dunia yang busuk ini.”

Rayn mengulurkan tangan melalui layarnya dan orang-orang dalam kotak itu juga melakukan hal yang sama. Dadaku bergemuruh, diliputi dorongan yang menggebu-gebu.

 

Hari keenam belas.

Ah, tidak. Ini adalah hari terakhir. Embun bahkan belum terbentuk ketika Rayn datang ke masing-masing kamar dan merusak pintu dengan alat yang unik. Ia dengan ajaibnya merusak kamera keamanan, alarm darurat, dan membuat para petugas keamanan pingsan dengan alat-alat anehnya yang lain. Ketika kami telah berada di depan, ia menunjukkan pada kami sebuah mahakarya. Sepeda motor dan kendaraan-kendaraan yang sebelumnya hanya kulihat lewat coretan buku. Ia telah merealisasikannya menjadi benda yang nyata.

“Kamu naik denganku,” ujar Rayn setelah lebih dulu menunggangi kuda besinya.

Seluruh pasien menaiki dan memenuhi masing-masing kendaraan. Ketika kami meninggalkan tempat karantina ini, kami bukanlah pasien pecundang lagi. Kami adalah manusia yang bebas. Matahari perlahan merayap naik menunjukkan sinarnya ketika kami semua memenuhi jalan. Rayn memimpin, mengantar kami semua menuju dunia yang baru. Kami tak akan hidup sebagai pecundang lagi.

 

Wonogiri, 24 April 2020

 

Reza Agustin, lahir dan besar di Wonogiri. IG: @Reza_minnie | Wattpad: @reza_summ08 | Noveltoon: Reza Agustin

 

Komentar juri:

“Selera”, kata tersebut adalah apa yang selalu berusaha saya tekan setiap penjurian. Saya bukan penggemar cerita pop yang selalu—saya rasai—menjual daya tarik ketokohan tanpa mengetatkan detail. Mereka terkesan sepeti menumpahkan ide, alih-alih menanamnya, sehingga lemah pada kedalaman cerita. Walau tidak dimungkiri, saya juga pernah men-dowload aplikasi WEBTOON. 😀

Tidak menyukai sesuatu, tak otomatis sesuatu itu tak bisa menghiburmu, bahkan mungkin bisa lebih dari itu.

Hingga teman saya, Joker, muncul. Dengan belatinya, ia kaitkan ke bibir saya sembari menyeringai, “Why so seriouusssahh!”

Bukankah saya sendiri yang selalu koar-koar soal kebaruan, keberbedaan, kesegaran? Dan cerpen ini menyediakan itu, paling tidak jika dibandingkan dengan karya lain. Ia menonjol dengan jati dirinya itu.

Maka saya pun membaca ulang dan—dengan pengawasan Joker yang masih menempelkan belatinya ke bibir saya—berhasil mengait bebuahan di dalam cerita ini. Dalam bahasa penceritaannya yang nge-webtoon ini, tertanam pesan-pesan penting: tentang diskriminasi, toleransi, persaingan, dan tujuan hidup.

Selain itu, penulis pun tidak betul-betul absen dalam mengolah detail. Terbukti ada upaya mengutuhkan cerita, hal-hal seperti “anting-anting”, “Distik 0“, dan “coretan dalam buku” tidak diabaikan begitu saja. Ia punya peran untuk disinggung di awal, untuk dibongkar di akhir.

Cerita-cerita pop memang menghadirkan petulangan yang menyenangkan—bisa pula bernilai—asal mereka yang diajak bertualang tidak berpikir kelewat serius. 😀

-Berry Budiman.

 

Tantangan Lokit adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakn di grup KCLK.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply