Ayam Golek

Ayam Golek

Ayam Golek
Oleh: Ning Kurniati

Aku terbangun di suatu pagi ketika Mama sibuk dengan ayam-ayamnya di kolong rumah. Setelah membasuh muka, aku berlari keluar rumah lalu menemui Mama. Tampak ayam-ayam kecil itu telah menetas dari cangkangnya. Lucu, sangat lucu dengan bulu-bulunya yang kecil dan warna-warni.

Saat aku mengulurkan tangan, berniat mengambil salah satunya, induknya tiba-tiba hendak mematuk. Sontak kutarik tanganku.

“Dekati dulu, Nak. Jangan langsung menangkap,” ucap Mama.

“Ai, induk ayamnya pilih kasih. Masa sama Mama, anaknya boleh di-puk-puk, tapi sama aku, enggak?” sontak Mama tertawa. Ai, di bagian mana yang lucu.

Mama pun menyerahkan jagung yang sudah ditumbuk menggunakan lesung—sehingga bentuk jagungnya sangat kecil—dalam wadah literan untuk dimakan anak-anak ayam. Saat aku menaburkannya ke tanah, perlahan sang induk ayam mendekat padaku berikut anak-anaknya mengikut sambil bercicit.

Aku menghitung mereka dan jumlahnya ada delapan ekor. Namun, ada satu yang berbeda. Dia unik, hampir tidak memiliki bulu. Kalaupun ada, tetapi sangat tipis. Aku mengangkat, dan mengenggamnya dengan kedua tanganku. Sepertinya, ia tampak senang, bunyi cicit berkurang.

Demi melindunginya dari dingin dan tetap bisa makan, ia kugenggam menggunakan tangan kananku dan makanan aku taruh di tangan kiri. Ia harus kuberi nama, khusus untuk dia. “Ayam Golek”. Aku teringat ada buku di sekolah yang tulisannya seperti itu. Di sana, disebutkan, itu adalah sebuah kesenian yang berasal dari pulau Jawa. Karena ayam ini unik, mungkin juga aneh, jadi itu saja namanya. Ibu guru pernah berkata, seni itu adalah keunikan dan juga kadang aneh.

“Jadi, ayam, namamu sekarang adalah Ayam Golek.”

Aku bergerak ingin menciumnya seperti tokoh-tokoh kartun yang di televisi hendak mencium peliharaannya. Akan tetapi, saat mulutku berjarak beberapa senti, aku membatalkannya karena Ayam Golek agak bau. Bagaimana kalau kumandikan biar harum? Tetapi, tidak dimandikan saja ia sudah kedinginan, apalagi kalau badannya terkena air. Ia bisa menggigil. Mungkin sebaiknya ku-parfumi saja, tetapi kan, parfum juga berisi air. Tidak jadi, tidak jadi. Mungkin memang ayam tidak layak untuk kucium dan pakai parfum.

***

Dua bulan berlalu, ayam golekku masih juga belum berbulu lebat seperti saudara-saudaranya. Walau begitu, aku tetap bersyukur karena ia tetap tumbuh, malah badannya lebih besar ketimbang yang lain. Di balik kekurangannya ia memiliki kelebihan.

Pagi dan sore hariku selalu tidak terlepas dari Ayam Golek, saudara dan tentu induknya. Sebelum berangkat ke sekolah aku akan memberinya makan terlebih dahulu. Kasihan bila ia berebut makan dengan ayam-ayam lainnya, karena jika ia dipatuk itu akan langsung mengenai kulitnya, tidak ada bulu yang melindungi. Pasti akan sakit sekali, pun aku takut ia terluka, kulitnya robek, berdarah, bernanah, oh … dan akan meninggal. Aku tidak mau itu terjadi. Induknya juga tidak mungkin bisa terus mengawasi anak-anaknya selagi makan. Jadi, ayam yang lain tidak boleh cemburu karena perlakuan khususku. Semua ada alasannya.

***

Hari itu di sekolah para siswa akan tampil bercerita. Kami diberi tugas lanjutan oleh ibu guru. Sebelumnya kami telah diminta untuk membuat naskahnya di rumah dan harus siap tampil di hadapan teman-teman dalam kelas bukan di depan kelas. Aku memilih akan menceritakan tentang Ayam Golek dan kuberi judul “Catatan Harian Ayam Golekku”. Aku mencontoh iklan film di layar televisi, ada judul yang bunyinya catatan harian. Jadi, aku juga memberi judul ceritaku seperti itu, supaya kekinian.

Kelas riuh dengan celotehan teman-teman perempuan, sedangkan di sisi ruangan yang lain anak laki-laki sedang berkejar-kejaran satu sama lain. Ada juga beberapa orang yang berdirinya selalu tidak jauh dari pintu kelas, mengawasi datangnya ibu guru sewaktu-waktu. Lalu, aku memilih duduk membuka buku tugas, membaca kembali naskah ceritaku agar ketika tampil bisa maksimal.

Sampai ketika ibu guru datang dan kelas berlangsung seperti biasa. Lalu, tibalah giliranku. Panjang lebar aku ceritakan bagaimana ayam golek hidup dengan bulunya yang tipis nyaris tidak ada. Akan tetapi, mereka malah menertawakanku.

“Kok ayam diberi nama?”

Ibu guru tersenyum dan itu kuartikan senyum yang lain. Tidak biasa. Aku menunduk. Tidak sanggup lagi mengangkat kepala melihat teman-teman. Namun, tatkala ibu guru memelukku, entah kenapa aku malah terisak.

Setelahnya, ibu guru membawaku ke kantor. Menitipkanku pada ibu guru yang lain, namanya Ibu Aisyah. Dia cantik, punya lesung pipit. Dia juga baik, memberiku air minum dan kue yang berwarna cokelat. Setelahnya kami berbicara banyak hal. Dia menutup pembicaraan kami dengan menasihatiku untuk mudah memaafkan bila ada yang berbuat salah.

Beberapa menit berlalu ibu guru kembali. Kemudian ia mengajakku ke kelas. Ketika berdiri di ambang pintu sudah tampak teman-teman berdiri. Mereka kemudian meminta maaf karena menertawakanku. Lalu, yang perempuan memelukku. Oh, aku paham bahwa ini saatnya mempraktikkan perkataan ibu Aisyah.

“Teman-teman, terima kasih,” ucapku.

“Loh, kenapa berterima ka—”

“Karena kalian meminta maaf. Itu artinya kalian masih mau menganggapku sebagai teman.” Aku pun menunduk karena malu lantaran habis menangis.

Ibu guru lalu bersuara, meminta kami duduk di bangku masing-masing. Selanjutnya, dia bertanya alasan aku menamai ayamku, Ayam Golek. Aku pun menjelaskannya. Sempat mataku berkeliling ke wajah teman-teman. Sebelumnya kukira mereka akan mengejek atau apa, tetapi yang ada justru wajah penasaran. Penasaran dengan Ayam Golekku. Harusnya aku tidak berpikiran yang tidak-tidak kepada mereka, kan sudah meminta maaf.

Dari penjelasan ibu guru, aku pun paham bahwa Ayam Golek itu bukanlah nama kesenian yang benar, yang benar itu wayang golek. Wayang golek adalah wayang yang dibuat dari kayu biasanya berupa anak-anakan atau boneka kayu. Jadi, ternyata aku salah, tetapi nama ayamku tidak akan kuubah. Namanya tetap “Ayam Golek” karena ia adalah ayamku, Ayam Golekku dan bukan kesenian manusia, tetapi kesenian Tuhan.

 

Ahad, 19 Mei 2019.

Ning Kurniati, perempuan biasa yang ingin menjadi luar biasa dan independen.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata