Ayahanda Bilang, Manusia Enak Dimakan
Oleh: Jyhan Rashida
Terbaik 1 Event Bulan Juli Loker Kata
Di hadapan para petinggi klan, Ayahanda sering berpendapat bahwa manusia enak dimakan. Mereka lembut dan tak berduri; renyah, empuk, dan wangi setelah direndam saripati dosa.
Meskipun sering berpendapat demikian, Ayahanda tidak pernah memasak manusia. Beliau lebih suka domba jantan yang sudah diberi makan kerak-kerak neraka. Menurut Ayahanda, rasanya lebih menantang keberanian.
Saya sedikit curiga pendapat Ayahanda tentang manusia cuma dibuat-buat untuk memanjakan telinga para tetua. Kami para iblis memang harus pandai berkata-kata. Apalagi bagi Ayahanda, yang merupakan keturunan langsung Raja Pertama.
Namun, kecurigaan tersebut terpuaskan pada suatu siang, ketika Ayahanda mengajak saya berjalan-jalan untuk pertama kalinya.
“Ke mana kita pergi?” tanya saya, sembari memperhatikan Ayahanda yang menutupi dirinya dengan jubah lusuh berwarna lumpur.
“Aysen,” bisik beliau.
Saya belum pernah mendengar tempat itu. Ternyata, Aysen memang tidak berada di Dunia Bawah yang merupakan tanah kelahiran kami. Ayahanda mengajak saya ke tempat matahari sudi menyumbangkan sinarnya—tempat tinggal para manusia!
Sihir ilusi yang beliau rapalkan sebelum meninggalkan kediaman sebenarnya tidak terlalu diperlukan. Wujud manusia nyaris tidak ada bedanya dengan bentuk semu iblis. Kami hanya perlu menyembunyikan taring dan cakar untuk berbaur dengan mereka. Namun, menurut Ayahanda, bola mata kami yang nyaris hitam pekat bisa menjadi sumber masalah—lebih baik disembunyikan saja.
Tidak saya sangka, dunia para manusia benar-benar menakjubkan!
Pemandangan di Aysen sangat berbeda dengan Dunia Bawah. Pohon dan rumputnya hijau, bunganya berwarna-warni. Burung-burung bernyanyi demikian merdu. Tidak ada pula sungai lahar apalagi kabut beracun. Udara dan anginnya sangat segar, padahal matahari bersinar cukup terik. Dugaan saya tentang tempat itu meleset semua.
Ayahanda bilang, manusia suka mengeluh. Saya tidak paham alasan mereka mengeluh, padahal sudah diberikan karunia yang segini banyaknya. Namun, saya tidak terlalu peduli, malah senang sekali. Manusia yang sering mengeluh aroma tubuhnya sangat nikmat. Itulah yang memancing kami, para iblis, untuk mendekat.
Sebagai iblis, kami diberi kemampuan untuk merasakan emosi manusia. Kadang lewat penciuman, kadang lewat indera perasa. Oleh karena itu, berada dekat dengan manusia berperilaku buruk benar-benar menyenangkan bagi saya.
Saat Ayahanda bertanya apa saya suka Aysen, saya cepat-cepat mengangguk. Berada di dunia manusia sangat menyenangkan. Rasanya seperti memulai petualangan baru di tempat yang ajaib.
Itu juga pertama kalinya saya merasakan emosi negatif dari manusia segar—maksud saya, manusia yang masih bernapas dan punya akal pikiran. Yang pertama kali saya cicipi adalah kemarahan dan keserakahan.
Waktu itu, di dekat gerbang kota, ada pertengkaran yang menyenangkan. Antara anak muda dan seorang wanita tua.
“Mana mungkin aku menuruti permintaan bodoh seperti itu!” bentaknya. “Kalau mau terus-terusan hidup miskin, setidaknya jangan pernah menyeretku ikut!”
Entah apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka, tetapi saya sendiri tidak akan pernah membentak Ibunda seperti itu. Bisa-bisa beliau marah besar dan menenggelamkan saya di kolam racun.
Seram.
Saya ingin menggoda anak muda itu agar marah lebih kejam lagi. Karena aroma yang dia keluarkan sangat nikmat. Mungkin, emosi negatif benar-benar memenuhi kepala, tangan, dan mulutnya. Sayangnya, Ayahanda menarik lengan saya. Beliau kelihatan tidak tertarik pada keseruan tadi. Mungkin karena sudah sering melihat hal yang lebih menakjubkan lagi.
“Jangan tamak, Lushjel*,” tegas Ayahanda. “Itu tugas para manusia. Hari ini kita tidak usah mencampuri urusan mereka. Cukup lihat dan amati. Tempat yang kita tuju pasti akan membuatmu kenyang.”
Daripada mendapat murka Ayahanda, saya menurut saja. Beliau menarik saya sampai tiba di sebuah pasar. Ramai sekali di sana.Energi-energi negatif memenuhi udara.
Ada yang marah.
Ada yang curang.
Ada yang tidak sabaran.
Ada yang tamak.
Ada yang congkak.
Ada pula yang mau membunuh orang.
Yang terakhir itu yang paling enak.
Saya benar-benar terkesima.
Di pasar, ternyata bukan cuma ada manusia. Banyak juga iblis yang berbaur dan diam-diam mencari mangsa. Mereka tertawa-tawa sambil membisikkan hasutan ke telinga siapa saja.
Ayahanda menuntun saya ke sebuah kios buah. Penjualnya sangat tidak beradab. Kosa katanya mirip dengan iblis-iblis rendahan yang sering menghina sesama. Memuakkan, tetapi menyenangkan.
Kami membeli sekantung buah merah yang disebut apel. Saya menyadari Ayahanda datang ke kios tersebut bukan tanpa maksud. Sepertinya beliau bahkan menikmati senyum sinis yang diam-diam muncul di wajah jelek si Penjual Apel.
Curang baunya seperti bangkai angsa. Manusia mungkin menganggapnya menjijikkan, tetapi kami sangat menikmati hal-hal yang busuk. Dan penjual apel itu berbau seperti tumpukan angsa mati yang sudah difermentasi.
“Kau lihat itu?” kata Ayahanda setelah kami menjauhi kios, “tanpa bantuan kita pun, manusia sudah sangat enak bau dan rasanya.”
Saya akhirnya mengerti kenapa Ayahanda bilang kalau manusia enak ‘dimakan’.
Apel yang Penjual Apel letakkan di bagian paling bawah kantung, rasanya paling enak. Bonus dua ekor belatung kecil yang merayap sampai ke lubang hidung saya.
Tidak salah lagi, pergi ke Aysen benar-benar sangat menakjubkan! []
Unterwelt, 24 Juli 2023
* “Lushjel” dibaca “Lu-shi-yel”
—
Jyhan Rashida, cewek absurd yang suka sama Dazai Osamu. Hobi nulis dan baca yang gelap-gelap pakai sedikit bumbu bawang. Yoroshiku~