Ayah dan Rokoknya – Bagian Satu
By: Reza Agustin
Manusia menanti kematian adalah keniscayaan. Pada akhirnya semua makhluk bernyawa akan merasakannya, tergantung dengan metode apa mendapatkannya. Sakit menahun bertahun-tahun, kecelakaan, memilih mengakhiri sendiri hidup, atau mati karena perkara sepele seperti tertawa. Sekiranya itulah alasan mengapa Ayah sering menghabiskan sisa usianya dengan merokok.
Pagi-pagi ketika bangun tidur membakar satu batang, sebelum sarapan membuat selinting dari tembakau segar, atau mencoba-coba merek rokok baru yang beredar di warung. Heran, jatah merokoknya lebih banyak daripada ibadah. Kalau aku sudi menghitung, maka satu hari ia bisa menghabiskan satu pak dan beberapa genggam tembakau, disertai dengan kertas pembungkusnya—yang sialnya terasa manis ketika kucicip tanpa sepengetahuan Ayah.
“Nduk, merokok tidak merokok pun, Ayah pasti mati. Mati itu suatu keharusan, kamu juga pasti akan mengalaminya nanti,” ujarnya begitu, dan akan selalu begitu.
Kematian. Sedikit ketakutan akan takdir pasti tersebut sering datang sebelum waktu tidur tiba. Ketakutan itu semakin kental ketika suara batuknya Ayah terdengar jika malam semakin merangkak naik dan suhu kian turun. Dari balik selimut tipis itu aku berguling ke kanan dan ke kiri. Kegelisahan datang tanpa bisa dilawan. Daripada mengkhawatirkan cara apa yang membuatku mati, aku lebih tidak tega menyaksikan penderitaan Ayah sebelum kematian. Kanker paru-paru, kanker pita suara, bronkitis, gagal ginjal, dan kemungkinan terburuk, komplikasi. Bukannya aku mendoakan ia lekas mati atau terkena penyakit, tapi memang sudah berulang kali petugas Puskesmas mengatakan hal demikian padaku.
“Lis, ayahmu itu udah tua. Bulan depan udah umur enam puluh, tapi merokoknya itu, lho. Masih rajin aja. Suruh dia berhenti, mungkin aja paru-parunya udah rusak gara-gara rokok. Nanti kamu juga yang repot. Kamu juga ngurusin ayahmu sendirian sambil nyambi kerja dan kuliah. Aku kasihan sama kamu.”
Tentu dia tidak sekadar kasihan. Petugas Puskesmas yang selalu mengingatkan perihal usia dan kebiasaan merokok Ayah sebenarnya ingin sekali meminangku. Pria itu delapan tahun lebih tua dariku dan aku tidak menyukainya. Nama pria itu dan keinginannya menikahiku memancing obrolan berat dengan Ayah malam ini. Aku semakin tidak menyukainya biarpun berwajah ganteng seperti Adipati Dolken.
“Nduk, kenapa kamu ndak suka sama Bayu. Dia kan orangnya baik, udah mapan juga. Kalau soal perbedaan usia kalian yang jauh beda, kamu juga tahu sendiri to kalau Ayah sama Ibu perbedaan usianya juga lebih jauh. Sebelas tahun.”
Sebenarnya bukan perkara usia yang membuatku enggan menyukai pria itu. Tetapi karena sifatnya yang terlalu ramah pada perempuan-perempuan lain. Remaja-remaja putri yang masih bersekolah, janda muda maupun sudah berusia matang, tak lupa sesama rekan kerjanya yang bahkan sudah berkeluarga. Singkat kata ia playboy.
“Lisma ndak suka sama sifatnya yang playboy, Yah. Dia sukanya goda-goda perempuan.”
“Dulu sebelum Ayah kenal ibumu, juga suka goda-goda perempuan lain, haha. Tapi kamu tenang aja, kalau udah jadi suami dan bapak, biasanya laki-laki genit kayak gitu bakal tobat sendirinya, kok.”
Ayah mungkin tidak sensitif lagi terhadap zaman yang dinamis. Banyak perubahan yang dilewatkannya. Di era ia muda dulu, pernikahan bisa jadi obat laki-laki yang suka genit pada semua perempuan. Secara tidak langsung menjauhi lawan jenis yang bukan pasangan resminya demi menjaga martabat sndiri sebagai seorang suami dan bapak. Tetapi sekarang sudah beda. Ia saja yang tidak menyadarinya. Masih banyak gosip pasangan berselingkuh di lingkaran pergibahan ibu-ibu dan tukang sayur. Pernikahan tidak sehebat itu.
“Nduk, usiamu sudah pantas buat menikah. Sementara ayahmu ini makin tua tiap harinya, tinggal nunggu antrian aja—”
“Ayah ngomong apa sih?! Jangan bicara kayak gitu lagi!”
“Kamu mau mengingkari takdir dari Gusti, Nduk?”
“Daripada bicara mati, lebih baik Ayah berhenti merokok aja dulu. Aku kan udah bilang berkali-kali ke Ayah supaya berhenti merokok.”
Aku sudah menduga bahwa pembicaraan ini akan menjadi perdebatan panjang. Ayah akan memulai dengan kematian adalah keniscayaan, semua orang akan mati dengan metode masing-masing, lalu ia mulai banyak bicara. Kebanyakan menyebut orang yang pola hidupnya buruk tetap hidup dengan sehat sampai sekarang. Salah satunya Mbah Paijo yang perokok berat, sekarang masih merokok dan usianya delapan puluh tahun. Masih pergi berkebun dan merawat ternak. Ayah akan mengagung-agungkan Mbah Paijo karena itu. Biasanya aku akan pergi sebelum ocehannya semakin banyak, tetapi kali ini ia mencoba menahan kepergianku.
“Nduk, Ayah cuma mau bilang kalau takdir itu suka main-main sama manusia. Kadang orang yang rajin olahraga, menerapkan pola hidup sehat, pada akhirnya mati muda. Ada yang pola hidupnya sembarangan bisa hidup sampai tua. Ibumu juga begitu, Nduk.”
Rahangku mengeras ketika Ayah membawa-bawa Ibu dalam kalimatnya. Ingatan ketika Ibu memarahi Ayah karena enggan berolahraga dan selalu makan gorengan setiap pagi masih terasa hangat. Setidaknya sejauh itu rol ingatan masa kecilku yang memuat wajah ayu Ibu. Ibu meninggal karena malaria dua puluh tahun silam. Aku masih enam tahun kala itu, tidak banyak memori tentangnya.
Mungkin sosoknya tidak banyak memengaruhi tumbuh kembangku, tetapi sosoknya tidak dapat tergantikan. Hal serupa juga dirasakan Ayah yang tidak menikah lagi semenjak Ibu meninggal. Bertahun-tahun menduda, Ayah menghabiskan waktunya dengan merokok daripada mencari pengganti Ibu. Seperti gulungan-gulungan tembakau itu menjadi pelariannya ketika rasa rindu tiba-tiba datang. Biarpun begitu, aromanya yang melekat di setiap sudut rumah membuatku agak muak. Pada rokoknya dan juga pada ketidakberdayaan Ayah.
“Jangan bawa-bawa Ibu, Yah! Lisma nggak suka!”
“Nduk….”
“Sudah, Yah. Lisma capek. Besok Lisma harus bangun pagi-pagi buat kerja. Kita bicara besok kalau kepala Lisma agak dingin.”
Aku buru-buru masuk ke dalam kamar. Memanjat tempat tidur, lantas menyembunyikan diri di balik selimut. Semoga saja malam ini suara batuk Ayah tidak terdengar.
Bersambung
Reza Agustin, penggemar Hallyu dan kucing.