Ayah

Ayah

Ayah

Oleh: Lusiana Mak Serin

Elisa menatap matahari yang sudah bergulir ke barat. Warna oranye memenuhi kaki langit. Dia mengeluarkan sebuah catatan kecil dari sakunya. Sepertinya catatan itu sudah sering dibuka tutup sampai beberapa halamannya terlihat sedikit kusut juga kotor. Setelah membuka-buka beberapa lembar, tertulis di salah satu halaman angka-angka yang dicoret. Di atasnya ada tulisan bulan. Sepertinya itu kalender yang dibuat sendiri oleh Elisa. Dicoretnya salah satu angka dengan menggunakan pensil, setelahnya diembuskan nafas pelan.

“Elisa!” sebuah panggilan terdengar di telinga gadis kecil tersebut. Buru-buru dimasukkan buku kecil itu ke dalam saku lalu berlari ke arah suara panggilan. Dia disambut seorang wanita dengan paras ayu yang pancaran matanya menyiratkan rasa khawatir.

“Sudah mau Maghrib, Nduk. Sudah berkali-kali ibu bilang, sebelum Maghrib harus sudah di rumah. Jangan keluyuran,” begitu ucap wanita tersebut dengan nada khawatir.

“Elisa hanya di sawah depan aja kok, Bu.” Terdengar Elisa membela diri.

“Walau di sawah depan, tetap saja ketika langit sudah berwarna oranye, kamu harus segera pulang. Karena pergantian sore ke malam itu hawanya tidak enak,” wanita itu dengan sabar memberitahu gadis kecil yang kini berjalan di sampingnya masuk ke dalam rumah. Akhirnya gadis itu hanya menunduk, tidak membantah lagi ucapan wanita yang dipanggilnya Ibu tersebut.

Malam merambat pelan. Langit berganti warna menjadi lebih gelap. Bintang pun mulai bermunculan. Kala itu Elisa sedang ada di meja belajarnya, mencoba menjumlah angka-angka yang sudah ditulis ulang dari buku pelajaran matematika kelas dua sekolah dasar miliknya. Sedang ibunya sedang menggendong Bagas, adik lelakinya yang baru berusia enam bulan. Suasana terasa sunyi.
Elisa menutup bukunya setelah selesai mengerjakan semua pekerjaan rumah yang diberikan gurunya tadi siang.

“Sudah selesai?” tanya sang ibu melilhat Elisa berdiri dari meja belajar dan beralih duduk di sofa.

“Sudah, Bu.”

“Nanti Ibu koreksi, ya.” Gadis itu mengangguk. Tangannya meraih remot yang diletakkan di meja depan sofa. Dihidupkan TV berukuran 21 inch yang langsung menampilkan seorang anak kecil yang sedang melambaikan tangannya pada seorang pria dewasa. Sepertinya itu ayah dari anak tersebut.

“Bu, Ayah kenapa tidak pulang-pulang ya? Ada kabarkah dari Ayah?” tiba-tiba sebuah pertanyaan meluncur dari bibir Elisa. Mata gadis kecil itu tetap terfokus pada televisi yang ada di depannya, tapi telinganya berusaha mendengar jawaban sang ibu. Terdengar helaan napas panjang dari sang ibu, Elisa masih sabar menanti jawaban ibunya.

“Nduk, Cah Ayu, si Mbah bikin kluwo, loh. Baunya enak. Dimakan ya, mumpung masih panas.” Tiba-tiba sang nenek muncul dari dapur sembari menyorongkan semangkok kluwo dengan uap yang masih mengepul. Sang nenek tahu cucu perempuannya itu menyukai kluwo buatannya. Katanya enak, empuk, manis, juga gurih. Perhatian Elisa akhirnya teralihkan. Sang ibu menghela napas, ada sesuatu yang sedang ditutupi dari anak perempuannya. Setelah menghabiskan semangkok kluwo, Elisa lupa bahwa pertanyaannya belum dijawab sang ibu.

***

Empat tahun sudah ayahnya pergi. Tanpa kabar berita. Bahkan pertanyaan tentang ayahnya selalu menggantung tak terjawab. Sampai-sampai Elisa kini mulai lelah menanyakan pertanyaan yang sama berulangkali pada ibunya. Jadi sekarang dia memilih untuk tak peduli. Dia merasa kasih sayang yang diberikan ibu juga sang nenek berlimpah, jadi walau sang ayah tak ada di sampingnya, sepertinya tak masalah. Walau terkadang rasa iri begitu menyesakkan tatkala melihat beberapa teman dengan bangga dan bahagianya memamerkan kebersamaan dengan sang ayah.

Sore itu Elisa bersiap pulang setelah les usai, dia sedang membereskan buku pelajaran miliknya. Jam di tangan kiri yang berwarna pink menunjukkan sudah pukul 16.20. Kebetulan kelasnya memang paling akhir selesai karena bahasannya seru tadi. Elisa merasa tak masalah pulang telat sedikit, toh, dia juga tak main kemana-mana. Ibunya tak akan marah.

Sebentar lagi ujian kelulusan, jadi sang ibu mendaftarkannya untuk ikut les yang dekat dengan sekolahnya. Tempat les itu masih baru dibuka sebulan lalu. Muridnya belum terlalu banyak. Gadis yang sebentar lagi akan masuk sekolah menengah pertama itu merasa senang les di sana, walau baru sebulan dia ikut les. Cara pengajarannya tidak membosankan. Apalagi para pengajar menggunakan permainan yang membuat anak didiknya lebih cepat mengerti.

Ada salah satu pengajar yang jadi pengajar favoritnya, Bu Indri. seorang wanita cantik dengan rambut ikal yang sering dibiarkan tergerai. Beliau sepertinya sedang hamil, terlihat dari perutnya yang membesar. Sepertinya masih empat-lima bulan, entah, karena Elisa belum sempat menanyakan.

“Elisa? Belum pulang?” sebuah panggilan membuat Elisa menghentikan dari kegiatannya memasukkan buku-buku ke dalam tas.

“Bu Indri? Belum, Bu. Sebentar masih beres-beres.”

“Hayuk, Ibu tunggu.” Tak lama keduanya berjalan beriringan keluar dari rumah yang sudah disulap menjadi tempat les tersebut. Sebuah mobil warna hitam yang mengkilap terparkir di halaman, tak lama seorang pria turun.

“Itu suami Bu Indri. Hayuk, Ibu kenalin sama suami Ibu,” Bu Indri menggandeng tangan Elisa, gadis itu menurut.

“Hai, Sayang, lama tadi nunggunya?” sebuah sapaan yang mesra.

“Ga juga. Baru sepuluh menit, kok.” Pria tersebut melepas kaca mata hitamnya.

“Kenalin ini salah satu murid favoritku di sini. Elisa.” Elisa mengangsurkan tangan sembari sedikit mendongak. Pandangannya bertemu dengan pria tersebut. Matanya membelalak ketika tahu siapa pria yang kini ada di hadapannya. Dia sangat mengenal pria tersebut, karena hampir setiap malam dia berdoa untuk dipertemukan dengan pria tersebut.

Ya, pria itu adalah ayahnya yang sekarang berstatus sebagai suami dari guru lesnya. Walau wajahnya sekarang terlihat sedikit lebih tua, tapi Elisa sangat kenal, bahkan setiap lekuk wajahnya. Pria tersebut juga tak kalah terkejut. Keduanya saling tatap dalam diam. Keheningan menyelimuti mereka bertiga. Indri merasa canggung dengan kediaman suaminya juga Elisa.

“Elisa kenal dengan suami Bu Indri?” Akhirnya guru lesnya tersebut memecah keheningan. Dengan linglung gadis 12 tahun itu menoleh pada Indri. Dadanya berdetak lebih kencang sampai terasa akan meledak.

“Maaf, Bu, Elisa harus pulang, Ibu sudah menunggu.” Tanpa menunggu persetujuan sang guru, Elisa segera berjalan menjauh. Langkahnya terlihat goyah. Tak terasa air mata membanjiri pipinya. Hatinya perih. Permintaannya dikabulkan Tuhan, tapi dia tak siap menghadapi kenyaatan yang teramat pahit. Akhirnya gadis tersebut berhenti lalu terduduk memeluk lutut dan menangis keras. Dia bahkan tak peduli dengan orang yang lalu-lalang. Dadanya sakit sekali. Pantas ibunya tak pernah bisa menjawab pertanyaannya, pasti rasanya lebih sakit dari ini.

“Elisa, Elisa.” Pria yang dipanggilnya Ayah saat dia masih kecil dulu sudah ada di hadapannya. Terlihat matanya memancarkan kekhawatiran. Ayahnya mencoba memeluknya, tapi dengan sekuat tenaga Elisa mendorong sampai pria tersebut terjungkal.

“Jangan berlagak khawatir, ketika ayah sudah memiliki keluarga baru yang bahagia. Elisa menyesal berdoa pada Tuhan setiap malam untuk dipertemukan dengan ayah. Elisa menyesal. Jangan pernah cari Elisa, ataupun Ibu, ataupun Bagas. Bagi Elisa, Ayah sudah hilang.”

Setelah menumpahkan segala sakit hatinya, dia pulang dengan air mata berurai. Dadanya sakit sekali. Mungkin Tuhan mengabulkan doanya agar dia belajar bahwa dalam hidup ini perlu merasakan rasa sakit untuk menjadi pribadi yang lebih kuat lagi. (*)

Lusi, seorang ibu dari dua orang putri membranding diri dengan nama Lusiana Mak Serin.


Editor: Evamuzy
Sumber Gambar: pinterest.com

Leave a Reply