Ayah
Oleh : Rinanda Tesnia
Mentari belum terbit sempurna saat aku membuka mata. Telingaku menangkap suara Ibu bersenandung merdu dari dapur, sementara hidungku menghirup aroma kue yang sedang dibakar. Aku bangkit dari rebah dan berjalan ke arah dapur.
“Masak apa, Bu?” tanyaku. Ibu menoleh ke arahku dan tersenyum manis.
“Kamu lupa hari ini hari apa?” Ibu menjawab, tangannya masih sibuk ke sana kemari menyelesaikan pekerjaan dapurnya.
“Hari apa?” Aku mengernyitkan kening.
“Tebak dulu, dong!” Ibu tertawa. Beliau tampak bahagia.
“Males, Bu, main tebak-tebakan pagi-pagi.” Aku mengambil sepotong risoles yang masih mengepulkan asap.
“Hari ini ayahmu ulang tahun,” ujar Ibu. Wajahnya masih berbinar senang.
“Terus, kenapa kalo dia ulang tahun?”
“Lho, kamu gak seneng? Nanti kita bisa ngerayain ulang tahun ayah bertiga, ‘kan?” Ibu menatap mataku. Aku melengos.
“Lala mandi dulu, Bu.” Aku meninggalkan Ibu yang masih menatapku. Aku sengaja tak memandangnya. Tak ingin kulihat luka di sana. Entah mengapa ibu masih berniat membuat acara untuk ulang tahun pria itu.
Sudah lama aku tidak menyebutnya ‘ayah’. Untuk apa? Jika dia hanya mencorengkan aib di wajahku dan ibu.
Walaupun enggan, Ibu berhasil memaksaku untuk menyiapkan perayaan ulang tahun ayah. Aku hias kue tart sembarangan.
“La, tolong yang bagus. Supaya Ayah senang.” Aku mencibir mendengar perkataan Ibu. Entah terbuat dari apa hatinya. Sedalam itu luka yang ayah tanamkan, masih ada sejuta maaf di hatinya.
Setelah semua kue dikemas dalam kotak, ibu memeriksa kembali apa-apa saja yang akan dibawanya.
“Risol, pastel, kue lapis, bolu gulung, nasi uduk ….”
“Banyak amat, sih, Bu?” protesku kesal.
“Teman-teman ayah, kan rame, La. Supaya semuanya kebagian.” Ibu masih memeriksa makanan yang akan dibawanya. Aku diam saja menahan marah di hati. Teman-teman pria itu? Huh!
Awalnya aku tak hendak ikut dengan Ibu. Namun, wanita kesayanganku itu berhasil memaksaku. Aku pun iba, melihat dia mengangkat sendiri makanan-makanan itu ke mobil. Dengan enggan, aku membantunya.
***
Mobil kuparkir di lapangan yang luas ini. Ibu menyuruhku membawa makanan-makanan itu sebagian. Setelah melewati pemeriksaan, kami menunggu kedatangan lelaki itu.
Dengan seragam khas berwarna biru, dia datang. Memeluk ibu dan mencium pipinya. Dia kemudian ingin memelukku, aku mundur, menghindari sentuhannya. Wajahnya memancarkan kekecewaan, aku membuang pandangan. Aku benci dengannya.
Ayah memakan kue tart buatan ibu dengan lahap. Aku tak ingin melihat wajah pria itu. Apalagi melihat dia makan seperti orang kelaparan, aku semakin muak.
“La, sini, Nak. Ayah kangen.” Dia memanggilku. Aku tak menatapnya. Melihat wajahnya hanya mengingatkanku pada aib yang telah ia torehkan. Membuatku kerap di-bully dan dijadikan bahan olok-olok di sekolah.
“La, gak boleh gitu,” ucap ibu. Aku masih membuang pandangan. “Lala!” Ibu membentakku.
“Sstt, sudahlah, Dek. Mungkin, dia belum bisa memaafkanku.”
Waktu sejam berjalan lambat. Akhirnya pertemuan ini selesai juga. Ibu meninggalkan semua makanan bawaannya, tentu saja setelah izin dengan petugas.
Kami duduk di mobil dalam diam. Mobil belum bergerak, aku masih termenung di dalam mobil.
“Bu, kesalahan pria itu fatal banget, ‘kan. Kenapa Ibu masih bisa memaafkan?” tanyaku heran.
“Salah? Nak, kamu kenal Ayah sudah berapa tahun? Kenapa kamu tidak paham sifat Ayah yang sebenarnya?”
“Maksud Ibu?”
“Mungkinkah Ayah melakukan perbuatan keji itu?”
“Entahlah, Bu.” Aku memundurkan mobil. Lebih baik pulang dari pada berdebat tak jelas dengan ibu di halaman lapas ini.
“Ayahmu besok bebas.” Aku spontan menginjak rem.
“Hah?”
“Ya, ayahmu mengajukan banding atas putusan hakim. Ayah tidak terbukti melakukan korupsi. Dia difitnah oleh pak Ahmad.”
“Bu …. Ibu serius?”
“Nak, dari awal ibu yakin, ayahmu tidak bersalah. Dia orang baik, Nak.” Aku terdiam. “Kamu tahu, La? Selalu ada harapan di balik cobaan sepahit apa pun itu. Setiap malam ibu berdoa untuk Ayah. Memohon pada Tuhan, agar ditunjukkan kebenaran. Sekarang, Tuhan menjawab doa-doa ibu.” Ibu menyusut air mata yang jatuh di pipinya. Lalu, ia melanjutkan perkataannya, “La, ibu cinta sama Ayah, ibu kenal Ayah dengan sangat baik. Kamu, Nak, belajarlah mengenali ayahmu. La …. Lala!”
Aku tidak mendengar lagi suara ibu. Aku berlari kembali ke lapas. Aku akan memohon untuk diizinkan masuk. Aku harus bersujud di kaki ayah. Harus! (*)
Rinanda Tesniana–Pembelajar di dunia literasi.
Editor : Uzwah Anna
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.