Ayah
Oleh: Lutfi Rose
Rintik hujan dari semalam menambah suasana semakin sendu. Orang-orang masih hilir mudik menyiapkan semua perlengkapan untuk mengantarkanmu ke peraduan terakhir. Kain lebar dibentangkan mengelilingi bangku panjang tempat kau dibaringkan. Anak sulungmu mulai menggunting pakaianmu—baju yang kau kenakan saat pulang dari rumah sakit dini hari tadi. Kemeja baru berwarna cokelat keemesan, buah tangan cucumu yang baru pulang berdarmawisata seminggu lalu. Kemeja itu berakhir dengan koyakan di seluruh bagian oleh tangan satu-satunya putrimu. Padahal semalam kau masih sehat, tersenyum bangga saat menunjukkan pada istrimu bagaimana kau tampak sangat tampan dengan baju barumu. Istrimu terkekeh melihat kelakuanmu. Siapa sangka, sesaat kemudian kau mengeluh sakit di bagian dada, tubuhmu roboh dan pingsan. Mobil tua warna hitam milikmu menjadi penolong pertama—membawamu ke rumah sakit terdekat.
Akhirnya pagi ini, celana hitam yang kau kenakan bernasib tak beda dari kemejamu, putri kesayanganmu juga mengguntingnya agar mudah terlepas dari tubuhmu.
Putra keduamu, satu di antara tiga putramu, mulai meyiramkan air di bahumu. Pelan sekali, seakan tak ingin mengusik tidur panjangmu. Setitik air merembes dari kedua matanya. Dia menarik napas dalam lalu mengerjap demi menahan air matanya tak makin menderas. Dia mulai menggosok tubuhmu dengan sabun, mengusap wajahmu dengan sangat hati-hati. Mungkin dia khawatir akan menyakitimu.
Putra ketiga dan keempatmu saling membantu, yang seorang memiringkan tubuhmu dan yang seorang lagi mengusap bagian belakang tubuhmu. Mereka berdua tampak lebih ikhlas melepasmu dibanding kedua kakaknya—tak terlihat mereka menangis. Mereka beraktivitas tanpa suara, sesekali isyarat mata untuk saling memberi perintah.
Sekarang tubuhmu telah bersih, istrimu menyiramkan air ke seluruh tubuhmu perlahan, memastikan tidak ada sisa sabun atau kotoran lain yang tertinggal. Dia tampak berusaha kuat, meski tangannya gemetar kala mengangkat gayung. Wajahnya seputih rembulan kesiangan di pagi hari.
Di ruang lain, kain putih telah digelar dengan rempah-rempah beraroma wangi yang cukup menyengat. Ketiga putramu menutup tubuhmu dengan jarit panjang, mengangkatmu ke atas kain yang sudah disiapkan. Seluruh bagian lubang tubuhmu, mulai dari mulut, hidung, mata, dan yang lain, ditutup dengan kapas yang sudah diberi rempah-rempah. Selanjutnya helai kain-kain putih itu disatukan menutupi tubuhmu. Tiga tali diikat di bagian bawah kaki, tengah, dan di atas kepalamu.
Keranda dipasang menutupi tubuhmu, dilapisi sebuah kelambu hijau bertuliskan kalimat tauhid serta roncean bunga kenanga, kantil dan daun pandan berjumlah lima dipasang di atas kain hijau tersebut. Para sanak saudara, handai tolan, segera merapat bak tentara hendak maju ke medan perang, berbaris menghadap tubuhmu. Takbir dikumandangkan dan doa dipanjatkan.
Kini saatnya menyampaikan salam perpisahan. Seorang tetua memimpin pelepasan. Istri dan anak perempuanmu menatap dari teras rumah, para pria mulai mengangkat kerandamu sedangkan putra-putramu bersiap-siap memikul kereta terakhirmu. Mereka memang putra yang bisa diandalkan. Sesuai apa yang kau ajarkan, mereka sigap memasang bahu.
Ucapan maaf dan kesaksian atas amal kebajikanmu, atas keislamanmu, dilantunkan bersama kumandang azan melepas perjalanan terakhirmu. Setelah ini lepas semua kewajibanmu sebagai manusia, tinggal pertanggungjawaban pada Yang Memberi Hidup. Istrimu yang sedari tadi berusaha kuat akhirnya terhuyung juga. Isaknya sudah tak tertahan lagi. Tubuhnya lunglai dalam pelukan putrimu yang juga tampak tak kuasa menahan tangis, berusaha tegar agar bahunya tetap bisa menjadi sandaran sang ibu.
“Selamat jalan, Ayah. Semoga segala kasihmu akan menjadi penolong di peraduan terakhirmu,” ucap putrimu sambil tergugu.
Putrimu anak yang kuat. Semua itu berkat tangan dinginmu yang setiap saat memberi petuah tentang kehidupan. Termasuk pesan yang kau ucapkan sebelum sakit itu menyerangmu, “Selalu menjadi kuatlah kalian. Bahkan di hari kematian Bapak dan hari-hari panjang setelahnya.” Sebuah pesan yang tak pernah kau sadari adalah pesan terakhirmu. (*)
Lutfi Rose, seorang ibu yang menghapus kata menyerah dalam aksaranya. Akun fb, Lutfi Rosidah. Akun instagram, Lutfi_Rosidah. Akun wp Lutfi Rose.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata