Ayah

Ayah

Ayah
Oleh : Mas’amah

“Aisyah, bangun, udah subuh, waktunya kamu salat,” teriak Ayah. Mengetuk pintu kamarku.

“Iya, Yah,” jawabku sambil menggeliat.

Ayah pun pergi meninggalkan kamarku, mungkin ke masjid untuk melaksanakan salat subuh berjemaah, sebab sudah tidak ada lagi suara pintu diketuk. Bukannya bangun untuk salah aku kembali terbuai dalam tidurku karena hari ini aku benar-benar mengantuk.

***

Bruk!

Ayah mendobrak pintu kamarku lalu mengambil bantal yang ada di atas tempat tidur, melemparkannya ke mukaku. “Jam berapa ini, Ayah bangunin kamu sebelum Ayah berangkat ke masjid. Sekarang Ayah sudah pulang dari masjid dan kamu masih belum bangun juga,” katanya sambil melotot saat aku membuka mata saking kagetnya. Bergegas aku pergi ke kamar mandi dengan bercucuran air mata.

Itulah yang kualami setiap pagi. Ayah selalu saja marah-marah ketika aku bangun kesiangan karena itu berarti aku telat melaksanakan salat subuh. Sungguh aku sangat membenci keadaan ini. Tetapi sekarang, aku merindukan momen itu. Momen ketika Ayah memarahiku karena aku telat atau tidak salat. Ketika Ayah menggusurku ke madrasah karena aku tidak mau mengaji. Sekarang semua itu tinggal kenangan yang selalu kurindukan, karena sekarang Ayah telah pergi meninggalkanku untuk selama-lamanya, bahkan sebelum aku meminta maaf kepadanya apalagi membahagiakannya.

***

“Aisyah, sini, Nak. Kita sarapan dulu,” kata Ibu sambil menyiapkan makanan untuk sarapan kami.

“Iya, Bu,” jawabku sambil menghampiri Ayah dan Ibu yang sudah duduk di depan meja makan. Aku duduk di bangku yang berhadap-hadapan dengan Ibu. Dengan suara agak pelan aku menyampaikan sesuatu. “Bu, aku mau HP dong. Teman-temanku semuanya udah punya,” kataku sambil memelas.

“Enggak boleh! Kalau kamu mau HP, nanti, saat kamu udah bisa nyari uang sendiri. Jangan minta!” jawab Ayah, melotot.

“Ayah jahat. Ayah tidak pernah ngertiin Aisyah. Ayah enggak pernah mau ngebahagiain Aisyah. Aisyah benci sama Ayah,” jawabku yang kemudian meninggalkan meja makan dan bergegas pergi ke sekolah tanpa sarapan terlebih dahulu.

Aku berjalan cepat dengan suasana hati yang berantakan. Sesampainya di sekolah aku bertemu dengan Rika, teman dekatku. “Aisyah, katanya Salma hamil. Dihamilin sama kenalannya di media sosial,” kata Rika dengan muka serius.

“Terus, sekarang Salmanya di mana?” sahutku penasaran.

“Salmanya sekarang enggak masuk sekolah,” jawabnya.

Aku bergeming. Setahuku Salma adalah seorang anak pengusaha besar yang sangat dimanja oleh kedua orangtuanya terutama ayahnya. Semua keinginannya pasti dituruti, tetapi kedua orangtua Salma sudah bercerai. Hanya saja, menurutku, itu tidak mengurangi kebahagiaan Salma. Bahkan aku melihat Salma begitu bahagia dengan kehidupannya, dan aku selalu mendambakan kehidupan seperti Salma.

Sepulang sekolah aku memutuskan untuk menemui Salma di rumahnya. Selain ingin mengetahui keadaan Salam, aku malas pulang ke rumah karena malas bertemu Ayah.

“Assalamualaikum, Salma,” Aku mengetuk pintu rumah Salma.

“Waalaikumussalam, Eh, Aisyah, silakan masuk,” sambut Salma dengan nada malas.

Aku pun masuk, membuntut Salma. Lantas duduk di ruang tamu berdua dengannya.

“Kok rumah kamu sepi banget. Ke mana Ayah kamu?” tanyaku kepada Salma.

“Enggak ada. Ayah lagi keluar kota.”

“Maaf, Salma. Aku denger kamu lagi hamil ya?” pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutku.

“Iya,” jawabnya singkat.

“Salma! Kok kamu berani ngelakuin itu?” tanyaku lagi. Kaget melihat respons Salma yang terlihat biasa-biasa saja. Seolah-olah tanpa beban.

“Aisyah … kamu enggak akan ngerti. Aku seperti ini karena aku kesepian. Ayah memberiku semua yang aku inginkan, tapi dia lupa kalau aku juga butuh perhatiannya. Ayah terlalu sibuk sampai-sampai aku harus mencari kebahagiaanku sendiri. Dan seperti inilah jadinya. Kamu beruntung, Aisyah, orangtuamu masih lengkap dan sangat perhatian, sampai kamu telat salat aja mereka marah. Tapi aku? Aku enggak pernah dibangunin ayah untuk salat subuh. Ayah selalu berangkat kerja sebelum aku bangun dan pulang setelah aku tidur. Aku ingin kaya kamu, Syah, yang sangat disayang oleh orangtuamu. Ibuku bahkan jarang sekali menjengukku. Dia hanya mentransfer uang saja,” ucap Salma sambil menangis.

Aku tak pernah tahu begini rumit kehidupan Salma yang selalu aku dambakan. Tak terasa air mataku mengalir dan ingatanku langsung tertuju kepada Ayah. Alangkah jahatnya aku ini.

***

“Kamu sabar ya, Aisyah,” kata salah satu tetanggaku yang baru keluar dari rumahku.

Aku masih diam. Bingung kenapa di rumahku ada banyak sekali orang. “Kenapa aku harus sabar?” tanyaku dalam hati. Aku pun bergegas masuk, dan betapa kagetnya aku begitu melihat Ayah sedang dikainkafani.

“Ayaaah! Jangan tinggalin Aisyah, Yah.” Tangisku pecah. Merasa bersalah. Namun percuma, Ayah tidak pernah membuka matanya walau sekadar untuk melihatku atau mengucapkan selamat tinggal.

***

“Aisyah ini ada surat dari ayahmu, Nak,” kata Ibu sambil memberikan sepucuk surat kepadaku. Kuambil surat di tangan Ibu dan langsung membacanya.

Untuk Aisyah yang selalu Ayah sayangi

Aisyah maafkan Ayah, Nak. Ayah belum bisa membahagiakan kamu. Ayah selalu marah ketika kamu meninggalkan salat. Itu semua Ayah lakukan karena Ayah menyayangimu, Nak. Ayah tidak mau kamu celaka di akhirat kelak.

Ayah juga minta maaf karena Ayah tidak bisa memberikan apa yang kamu inginkan, salah satunya HP. Karena Ayah tidak mau kamu menyalah gunakan barang itu.

Pesan Ayah: Jangan tinggalkan salat dan jadilah anak salihah

Dari Ayah yang selalu menyayangi Aisyah

“Aisyah!” panggil Ibu membuyarkan lamunanku.

“Iya, Bu.”

“Kamu baik-baik aja?”

“Aisyah rindu sama Ayah, Bu. Aisyah sayang Ayah,” jawabku sambil memeluk Ibu.

“Kalau kamu rindu sama Ayah, doakan Ayah. Dan kalau kamu sayang sama Ayah, jadilah anak salihah. Karena itu yang dibutuhkan Ayah sekarang,” kata Ibu, mengusap kepalaku.

“Iya, Bu. Aisyah janji akan selalu mendoakan Ayah dan menjadi anak salihah.” Aku tersenyum kepada Ibu, yang juga dibalas senyum hangat olehnya.

***

Wahai, Ayah Tercinta
Jangan tinggalkan
aku
Aku tak tahu
Ke
mana harus kucari penggantimu

Wahai, sosok yang sempurna
Yang rela menjadikan kaki sebagai kepala dan kepala sebagai kaki
Yang rela menjadikan malam sebagai siang dan siang sebagai malam

Aku tiada memiliki apa pun untukku berikan kepadamu
Hanya doa yang selalu kupanjatkan
Hanya prestasi yang berusaha ku
dedikasikan
Dan hany
a akhlak mulia yang selalu kubawa ke mana pun aku pergi, untuk menjaga nama baikmu, di akhirat

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply