Awan Abu-abu
Oleh : dsshaula
“Naung, kamu masih gak mau makan?” kata Western, menghampiri meja kerja Biru dengan kedua alisnya terangkat.
“Oh, Kakak! Aku akan makan, tapi kerjaanku nanggung banget, sebentar lagi juga beres, kok!”
“Kalau begitu aku duluan ya? Aku udah laper banget, nih,” jawab Western. Ia langsung pergi ke kantin sesaat setelah Biru mengacungkan ibu jarinya sambil mengangguk dan tersenyum.
Hari itu suasana hati Biru kembali cerah tanpa sedikitpun mendung yang mengganggu setelah melewati hari-hari gelapnya. Biru dapat kembali tersenyum melihat dunia. Empat hari ke belakang, Ibu Biru meninggal dunia. Satu-satunya manusia yang Biru cinta secara mendadak dipanggil untuk kembali menghadap Sang Pencipta tanpa sakit atau tanda yang menunjukkan bahwa ibunya akan cepat meninggalkannya. Mereka hanya tinggal berdua di rumah besar yang sedari kecil Biru dan kedua orang tuanya tempati. Ayah Biru yang merupakan seorang Laksamana TNI, terlebih dahulu dipanggil oleh yang Maha Kuasa saat Biru berumur 16 tahun. Karena sosoknya yang luar biasa berpengaruh, ia tewas karena meminum teh beracun yang telah disiapkan seorang temannya sendiri yang iri terhadap kesuksesan Ayah Biru.
Hari semakin berjalan, Biru sadar bahwa ia tak perlu menangisi kepergian ibunya terlalu dalam, karena seharusnya ia senang bahwa ayah dan ibunya telah bertemu kembali di alam akhirat. Hal itu yang membuat Biru bisa bangkit dari kesedihannya dan tegar melanjutkan kehidupannya kembali.
Biru, seorang gadis bernama lengkap Nilover Nauna Kalbiru kini telah berusia 22 tahun dan memulai hidup barunya tanpa orang tua. Banyak hal yang baru ia pelajari setelah kehilangan ibunya. Salah satunya adalah belajar untuk hidup mandiri, meskipun ia masih tinggal dengan asisten rumah tangganya hingga saat ini.
“Naung! Di sini!” panggil West ketika melihat Biru sedang kebingungan mencari tempat duduk sambil membawa makan siangnya di kantin. Western adalah seniornya di kantor, perempuan dengan rambut pirang dan bertubuh tinggi membuat siapapun yang melihatnya segan sekaligus terkesima. Tapi, satu-satunya orang yang tidak segan kepadanya hanya Biru. Ia menganggapnya sebagai kakak sejak awal mereka bertemu karena Western pun merasakan hal yang sama pada Biru, seperti adiknya sendiri.
“Kakak, hari ini project-ku banyak banget. Aku hampir selesaikan semua yang menumpuk sejak aku cuti,” keluh Biru pada West. Pada saat itu Riz dan Hamza berada di meja yang sama.
“Kalau gitu bagus dong! Semangatmu udah balik, dan kita harap kamu makin semangat, yaa!” kata Hamza yang menjawabnya terlebih dahulu.
“Iya, keren banget Naung bisa cepet balik semangat lagi bahkan hampir selesain semua project setengah hari?!” kata West ikut senang sekaligus terkejut saat mendengarnya.
“Iya … tapi aku rasa, setelah Ibu nggak ada sehari-hari jadi hampa. Aku bahkan gak tahu untuk apa aku masih ada di sini.”
“Biru, kamu masih bisa liat kita semua di sini. Itu sebabnya kamu masih hidup meskipun kamu mungkin hancur karena Ibu pergi lebih dulu. Kamu harus lebih semangat dan ceria lagi demi Ibu sekarang!” kata Riz berusaha membuat pikiran Biru tak sedih lagi.
“Hehee.. iya, Kak! Aku bakal semangat terus! Makasih banyak karena kalian temenin aku selama ini. Kalian baik banget, huhuhuhu,” jawab Biru sambil merengek di akhir kalimatnya.
Meskipun semua orang melihat Biru tersenyum, sebenarnya hatinya masih remuk dan tak bisa bangun dari mimpi buruknya. Biru tetaplah gadis kecil yang tak pernah bisa melepaskan wajah ibunya yang terus tergambar di benaknya. Senyum itu muncul kembali di wajah Biru saat tiba di meja kerjanya. Pekerjaannya sebagai Designer Property di salah satu perusahaan properti terbesar sudah menjadi pekerjaan impiannya. Menggambar dan membuka ide baru untuk setiap desain yang dibuat olehnya membuat ia berfikir dan sejenak melupakan kesedihannya.
Biru berencana untuk makan malam dengan West di sebuah restoran daging malam ini. Western memang seorang yang menyukai dan kuat untuk minum. Jadi tak heran jika ia memesan minuman seperti itu malam ini. Biru yang sudah terbiasa dengan kebiasaan seniornya itu sudah tak asing dengan hal semacamnya.
“Naung, kamu mau tambah pedasnya?” tanya West pada Biru yang sedang sibuk memasak daging sambil memakan yang sudah matang terlebih dahulu.
Biru menggelengkan kepalanya, “Kak, jangan panggil aku Naung. Nama itu cuma panggilan dari Ibu waktu aku kecil! Panggil aku Biru atau Nilover aja!” kata Biru yang protes karena malu namanya terdengar seperti nama anak kecil.
West tertawa, “Kamu ini! Naung itu nama yang lucu tahu! Hahahaha” jawabnya.
“Ooh, jadi namanya Naung?” kata lelaki bertubuh tinggi dengan jas hitam yang tiba-tiba datang dari arah belakang Biru.
Biru menoleh dan mengerutkan dahinya. Bisa-bisanya seorang yang tak dikenalinya menyebut nama yang tak ia sukai dengan lantang dan sambil tertawa kecil.
“Jeaan! Kau ini lama banget, sih!” Orang yang muncul dengan tidak sopan itu disambut oleh West. Biru semakin mengerutkan dahinya dan menoleh beberapa kali antara West dan lelaki itu sambil bertanya-tanya siapakah dia sebenarnya.
“Biru, kenalkan, ini kakakku, namanya Jean. Maafin kakakku, ya! Dia gak pernah bercanda dengan manusia, makanya kurang ajar begitu hahahaha” sambung West yang membuat Biru semakin bingung dalam keadaan yang mengejutkannya berulang kali.
“Sejak kapan Kakak punya kakak? Dan lagi kenapa lelaki ini gak sopan?!” dahinya yang mengerut sekarang bertambah dengan bibirnya yang berubah perlahan seperti bebek saat mengomel pada West.
“Ya sejak aku lahir lah!” West menjawabnya sambil tertawa karena pertanyaan konyol Biru dan wajahnya yang menjadi lucu saat marah. Terlihat lelaki yang bernama Jean itu pun tersenyum melihat adiknya dan perempuan yang ada di depannya ini.
“Nama saya Jean, kakak dari Western Albee si tukang mabuk ini. Maaf kalau kamu tersinggung karena saya menyebutmu dengan nama panggilan itu. Kelihatannya kamu benci dipanggil dengan nama itu ya?” kata Jean sambil mengulurkan tangannya ke arah Biru.
“Namaku Nilover. Biasanya orang-orang panggil Biru, bukan seperti yang tadi” dengan ketus Biru menjawabnya sambil membalas jabatan tangan itu. Jean tersenyum saat mendengarnya.
“HAHAHAHA” West tertawa melihat semua yang terjadi di hadapannya. Akan tetapi, bukan karena ia menertawakan Biru dan Jean, melainkan alkohol yang ia minum membuat apapun yang dilihatnya seperti sebuah lelucon.
“Kau sudah sering menemani West mabuk?” tanya Jean pada Biru yang tersenyum gugup melihat West mabuk.
“Iya, aku selalu temani Kak West minum.”
“Apa kau juga minum?”
“Nggak. Aku cuma mau menemani Kak West untuk memastikan dia baik-baik aja setelah minum.”
Sambil menarik kursi di sebelah Biru duduk, Jean tersenyum dan berkata, “Terima kasih, kau baik sekali.”
Eh? Hatinya dibuat berdegup, terkejut karena kata-kata yang baru saja didengarnya. Apa yang dia maksud? Kenapa dia berterima kasih? Biru dibuat bingung dengan kata-kata itu. Ucapan terima kasih darinya itu terdengar tulus sekali. Selama West minum dan memakan daging yang telah dimasak oleh Biru sedari tadi, Jean dan Biru terlihat sedikit canggung dan mengobrol tentang beberapa hal.
“Kenapa kau membiarkan kebiasaannya dan bahkan mau temani dia minum?”
“Aku belum pernah larang Kak West untuk berhenti minum. Karena aku pikir mungkin dengan minum, Kak West akan merasa lebih baik. Cara seseorang menyembuhkan diri sendiri pasti berbeda-beda. Jadi aku cuma bisa menemani Kak West untuk pastikan kalau dia aman selama dia nggak sadar.”
Aku belum pernah bertemu orang yang hatinya sebersih Biru, dalam benak Jean. “Saya tak pernah berhasil membuat West berhenti minum sejak dia umur 20. Saya hanya tak mau dia jadi gelandangan karena dia pemabuk,” kata Jean sambil menatap West yang mulai pusing dan sedang bersandar pada sandaran kursinya.
“Dia nggak akan seperti itu kok. Aku tahu Kak West nggak akan sampai hilangkan akalnya karena minum.”
“Mungkin saya harus belajar berpikir seperti Biru, ya?” Dia membuat Biru menoleh ke arahnya. Apa maksudnya? Otak Biru kini tambah bingung karena kata-katanya sedari tadi terdengar sulit dimengerti.
“Aku ini bukan klien-mu, Pak ber-jas. Tolong jangan bicara formal” Biru mengalihkan pembicaraannya.
“Saya rasa saya nyaman berbicara seperti ini.”
“Kalau begitu aku mau antar kak West pulang, sudah hampir tengah malam.”
“Saya kesini untuk menjemputnya.”
“Tapi aku nggak akan berikan kak West ke kakaknya yang baru saja aku kenal”
“Tapi kau percaya bahwa saya memang kakaknya bukan?”
“Percaya, karena kak West tadi mengatakannya.”
“Lalu?”
“Tetap aku yang akan bawa kak West pulang pakai mobilku.”
“Saya ikut.”
“Kemana?”
“Ke mobilmu, untuk bawa West pulang.”
“Aku akan tetap pulang berdua dengan kak West.”
Biru langsung melanjutkan langkahnya dengan menuntun West yang sudah mulai kehilangan kesadarannya menuju mobil Biru. “Dah, Jean!” kata West yang tak sedikitpun membuka matanya sambil melambaikan tangan ke arah yang berlawanan dari Jean berada. Sambil menyetir, Biru memikirkan kata-kata Jean yang berterima kasih padanya di restoran tadi. Untuk apa? Bukankah menemani senior yang merupakan teman dekatnya minum dan memastikan keadaannya baik itu sebuah hal yang wajar. Ucapan terima kasih itu terasa berbeda dari ucapan biasanya. Baru kali ini Biru mendapat ucapan terima kasih yang seolah menghargai perbuatan yang wajar terjadi. [*]
Bandung, 14 Februari 2022
Bionarasi:
Ia adalah Shaula Davina Aulia. Biasanya orang-orang memanggil Shaula, tetapi jika kamu adalah teman sekolahnya, sapaan Ule lebih akrab untuknya. Lahir di Bandung tanggal 23 juni tahun 2003 dan tinggal di salah satu daerah Kabupaten Bandung. Shaula merupakan anak pertama yang menjadikannya tidak aneh jika Ia memiliki pendirian kuat dan selalu berusaha sendiri. Omongan jelek tentangnya tak akan masuk ke kepalanya karena dia adalah tipe orang yang bisa menentukan tujuan dan tahu apa yang diinginkannya.
Editor: Nuke Soeprijono
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata