Autumn Leaves

Autumn Leaves

Autumn Leaves
Oleh: Fuka Hana

“Apa aku terlambat?” Kamu terlihat gugup. Raut mukamu menunjukkan kamu merasa sangat bersalah. Jemarimu tanpa sadar meremas tali tasmu.

Aku menggeleng. “Duduklah.”

Lalu kamu mengambil tempat duduk di sampingku. Tersenyum ragu. Pipimu merona karena malu.

“Aku … bawakan ini buatmu. Semoga kamu suka.” Manik mata birumu berpendar penuh harap. Aku melukis senyum.

“Tentu saja. Apa pun yang kamu buat untukku, pasti aku menyukainya.”

Aku membuka sebuah kotak bekal makanan yang kamu ulurkan ke arahku. Aku mengerjap sebentar lalu menatap wajahmu. Rona merah itu kembali merambati pipimu.

“Terima kasih,” ucapku tulus.

Kamu mengangguk penuh semangat. Lalu kita saling terdiam, mengamati sekeliling kita. Di bangku putih panjang ini, kamu selalu duduk berjauhan denganku, bahkan setelah kita menjadi sepasang kekasih. Kamu dengan wajah malu-malu sering tertangkap basah olehku tengah mengamati gerakanku.

Daun-daun maple terlepas dari tangkainya. Jatuh menggugurkan diri, menuju pelukan tanah. Kita di sini, menatapnya, dengan seulas senyum bahagia.

“Kamu suka musim gugur?” tanyamu setelah tiga hari berturut-turut kita bertemu di tempat yang sama.
Aku mengangguk.

“Aku juga.” Kamu tersenyum simpul.

“Aku menyukai setiap tarian daun yang terbang lalu jatuh ke tanah. Aku menyukai udaranya yang mulai membeku. Aku menyukai warna daun meranggas. Aku menyukai semuanya,” ucapmu kala itu.

Aku melirik dari sudut mataku. Kamu berceloteh penuh semangat. Seperti anak-anak yang begitu mencintai mainan kesayangannya. Selalu riang saat menceritakan mainannya itu.

Kamu begitu polos dan rapuh. Aku ingin melindungimu tiap kali menatap wajah dan binar sendumu.

“Apa … sandwich-nya enak?”

Aku tersadar ke masa kini. Kenangan beberapa hari lalu itu melayang kembali ke permukaan ingatanku.
Tersenyum lalu mengangguk.

“Sangat enak. Kamu sangat pandai membuatnya.”

Aku menjulurkan tangan lalu menepuk-nepuk puncak kepalamu. Kamu lagi-lagi tersipu malu. Terlihat jelas dari gerakanmu menyelipkan rambut cokelatmu ke belakang telinga.

“Shine … apa kita akan selalu bersama?” Kamu menatapku penuh harap. Mengimpikan jawaban “ya” yang akan membuatmu lega.

Tapi aku tidak bisa menjanjikan apa pun, benar, kan? Tidak ada yang tahu masa depan.

“Aku tidak tahu, Snow. Tapi kuharap, akan selalu begitu.”

Hari ini kamu tidak datang. Padahal aku menunggu untuk memberimu kejutan. Aku menatap jalan setapak yang biasa kamu lalui menuju taman ini. Sudah dua jam aku menunggumu, tapi sosokmu tak kunjung melegakanku.
Aku bertanya-tanya. Ada apa gerangan?

Mataku mengamati dua ekor merpati putih yang hinggap di dahan terendah pohon maple itu. Kalau ada kamu, biasanya kamu akan merengek padaku agar aku menangkapkan burung itu untukmu.

Aku hanya tertawa lucu. Saat kutanya untuk apa burung itu? Kamu menjawab, sepasang merpati itu adalah perlambangan diri kita. Kamu ingin memeliharanya agar mereka tak terpisah satu sama lain. Seperti harapanmu untuk kita berdua.

Aku menggeleng. Membuatmu murung seketika. Kukatakan padamu, biarlah hukum alam yang menentukan. Biarkan takdir memainkan bagiannya. Biarkan merpati itu terbang tinggi, jika mereka saling mencintai, mereka akan kembali bersama.

Kamu tertegun. Terdiam tanpa kata. Aku tidak dapat menebak apa yang tengah kamu pikirkan. Tapi kuharap, kamu tidak terlalu memikirkan ucapanku tadi. Harapan yang sia-sia, kurasa. Karena aku tahu betul watakmu. Kamu akan menolak apa pun yang membuatmu tak bahagia.

Ah, Snow. Itulah yang membuatku semakin takut terhadapmu. Kamu begitu rapuh dan bisa pecah sewaktu-waktu.
Lamunanku buyar saat derap kaki seorang anak kecil menghampiriku. Usianya sekitar 8 tahun. Mengenakan topi, dan sebuah syal yang dalam sekali pandang, kutahu itu syal milikmu.

“Kau … Shine?”

Saat aku mengangguk, bocah itu terlihat lega.

“Snow menyuruhku memberikan ini untukmu. ” Bocah itu merogoh sakunya, mengeluarkan secarik kertas yang terlipat.

“Juga ini.” Bocah itu melepaskan syal yang dipakainya lalu meletakkannya di tanganku.
Ia lantas berlari meninggalkanku yang diliputi kebingungan dengan dua benda itu.

Kubuka lipatan kertas itu. Terpampang di sana, baris demi baris tulisan yang sangat kukenal. Tulisanmu.
Shine, apa kamu sekarang ada di situ? Di taman tempat kita merajut hari. Menanam barisan tawa, mengeja harapan.

Shine, maafkan aku. Hari ini aku tak bisa datang. Kutitipkan syal ini sebagai pengganti diriku. Semoga mampu menghangatkanmu.

Aku menghela napas. Tak ada yang aneh dalam surat ini, tapi dadaku sesak akan suatu hal. Di suatu tempat, mungkin di sudut rumahnya, saat ini, kamu pasti tengah meringkuk sedih. Aku mengenal bagaimana dirimu, aku tak perlu menebak-nebak apa yang sedang kamu lakukan.

Daun-daun maple terlepas dari tangkainya. Jatuh menggugurkan diri, menuju pelukan tanah. Kita menatapnya, dari tempat yang berbeda.

Aku merindukan rambut cokelatmu yang seperti warna batang pohon maple. Aku merindukan manik mata birumu sewarna lautan. Aku merindukan kulitmu yang sepucat salju. Juga bibirmu yang merekah merah bagaikan buah cheri di kala ranumnya.

Kamu bagaikan perpaduan musim. Indah dan menakjubkan. Menenggelamkan.
Aku bangkit dari bangku taman itu. Melangkahkan kaki pergi. Tiada guna lagi aku di sini. Mungkin hari esok.
Bukankah takdir alam akan menjalankan tugasnya?

Hari kedua di awal musim gugur itu, masih kuingat jelas. Kamu melangkah perlahan di jalanan setapak itu dengan sebuah buku tergenggam di tanganmu. Sirat keterkejutan tampak jelas di matamu saat melihatku duduk di bangku yang sama, seperti kemarin.

“Jadi, namamu Shine?” Kamu menatapku takjub.

Aku mengangguk. “Kenapa?”

“Kamu hangat. Seperti sinar matahari di musim panas.” Kamu mengulum senyum.

Aku ikut tersenyum. “Mungkin itu yang diharapkan kedua orangtuaku saat menyematkan nama itu padaku.” Aku berbohong. Hidupku terlampau sepi. Sampai aku tak yakin bahkan orangtuaku mengharapkan kehadiranku.
Aku hanya mengenal panti asuhan itu. Tapi kamu tidak tahu.

“Senang mengenalmu, Shine. Kuharap kita bisa berteman baik.” Kamu mengulurkan tangan. Aku menyambutnya. Tertegun. Bahkan kehangatan sinar mentari tak mampu menghangatkan sudut hatiku, seperti yang kamu lakukan padaku.

Di lanjutan hari, kita semakin dekat. Musim gugur ini hanya tentang kita. Shine dan Snow yang menguntai cerita. Namun, di hari menuju penghujung musim gugur ini, kamu lagi-lagi tidak datang, seperti kemarin.
Satu titik dalam hatiku mengatakan ada yang salah. Benar. Bocah lelaki kemarin datang lagi kepadaku. Dengan sebuah surat … dan sapu tangan milikmu.

Shine, aku takut. Semua kekhawatiranku akankah menjadi nyata? Semua harapan yang kurajut, tinggalkah menjadi mimpi semata?
Shine, benarkah kita tak bisa bersama. Hukum alam saja menegaskan bahwa kita berbeda.
Kamu bersinar terang di musim panas. Sedangkan aku berguguran, di musim dingin yang sunyi.

Aku meremas surat itu, hatiku ikut tercabik-cabik. Suatu yang menyakitkan telah dilaksanakan, di sana.
Takdir alam sedang menjalankan tugasnya. Daun-daun maple terlepas dari tangkainya. Jatuh menggugurkan diri, menuju pelukan tanah. Menyisakan beberapa helaian lagi di rantingnya. Aku di sini, menatapnya. Musim gugur sebentar lagi menghabiskan usianya. Begitu pula kepingan kisah yang kami rangkai, sebatas itu sajakah?

Shine, aku sudah memutuskan.
Musim dingin sebentar lagi. Lalu menjelanglah musim semi. Musim panas datang, hingga gilirannya nanti, musim gugur terulang. Daun-daun maple itu akan membeku di musim dingin, menyemi lalu meranggas, begitu berulangkali.
Aku ingin kamu mengisahkan cerita kita di setiap lembaran daun maple yang baru. Mengisahkannya lagi, mengisahkannya lagi. Hingga langit berduka dan bumi ikut mengucurkan air matanya. Takdir alam itu tak adil. Kamu tak bisa hidup di duniaku, dan aku akan mencair bila bersamamu. Namun, aku lebih rela mencair, asal itu bersamamu.
Shine, aku sudah memutuskan.

Aku menelan ludah karena gugup. Jantungku bertalu-talu. Dadaku sesak. Tanganku bergetar tanpa kusadari. Tak ada bocah kecil pengantar surat itu lagi. Surat itu diantar seseorang berpakaian polisi kepadaku, yang tengah duduk di bangku taman. Semula, aku berharap kita akan menghabiskan sisa musim gugur ini bersama-sama. Namun sesuatu yang tak kuinginkan telah terjadi. Takdir alam telah melaksanakan tugasnya.

“Surat ini kami temukan di samping jasad gadis muda itu. Kami menanyai semua orang, adakah yang bernama Shine? Lalu seorang bocah menunjukkan pada kami bahwa kau selalu ada di taman ini. Kami … turut berduka cita. Gadis muda itu mengakhiri hidupnya dengan menenggak racun di dalam kamarnya. Dugaan sementara, ia depresi. Kami harap kau bersedia ikut ke kantor kami untuk menjadi saksi.”

Panjang lebar polisi itu menjelaskan, tak satu pun tertangkap pendengaranku. Seluruh bagian tubuhku terpaku pada satu hal: kamu.

Kamu pernah mengatakan, ada kehidupan lain setelah dunia ini. Kehidupan yang jauh lebih baik dan indah. Inikah maksudmu?

Aku tersenyum. Takdir alam mungkin menghalangi kita bersama. Tapi ia tak bisa mencegah kita berdampingan selain di dunia. Aku memandangi sekali lagi suratmu itu. Snow, kamu rapuh dan indah, seperti bunga salju yang turun di musim dingin. Kamu percaya, kan? Aku mataharimu. Aku cahayamu. Aku sinarmu.

Aku meraba tempat cincin itu berada. Cincin yang kubeli tiga hari yang lalu. Memimpikan memasangnya di jari manismu saat kamu mengatakan “ya”. Kusimpan, biarlah menjadi kenangan bagaimana dunia tak adil memperlakukan kita. Juga sebagai penanda, bahwa kita sudah bahagia “di sana”.

Daun-daun maple terlepas dari tangkainya. Jatuh menggugurkan diri, menuju pelukan tanah. Seperti diriku yang luruh. Jiwa dan ragaku gugur tanpamu.
Tapi aku percaya, kita sedang mengepakkan sayap. Menuju tempat untuk kita bersama.

(Catatan ini ditemukan di samping jasad seorang pemuda yang diduga bunuh diri dalam kamar kost-nya).
Tamat.

Tentang Penulis:

Fuka Hana adalah nama pena dari penulis berdarah Madura ini. Lahir di Pasuruan, 03 Oktober 1995, bungsu dari 4 bersaudara ini kini menetap di Bangkalan, Madura. Memiliki cita-cita menjadi penulis hebat.

Fb: Fuka Hana

Ig: vie_violette_saleem

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirrim/Menjadi penulis tetap di Loker Kita

Leave a Reply