Autopsy

Autopsy

Autopsy
Heuladienacie

Apa warna darah?

Coklat? Magenta? Biru? Atau hitam?

Aku masih meragukan penglihatanku. Semua terlihat buram dari mata ini.  Aku menyentuh sudut mataku yang membengkak, mengusap sudut bibirku dengan ujung jari gemetar. Ada darah tertinggal di sana. Warnanya merah. Benar, aku melihatnya, warnanya merah. Tetapi, mengapa warnanya merah?

Aku benci warna merah. Dulu, sewaktu kecil aku menyangka warna darahku berwarna-warni seperti sayap para peri dalam dongeng putri-putri. Ternyata warnanya tidak bisa berubah meski aku menginginkannya sekarang. Warnanya tidak hitam meski baunya amis seperti air jelaga. Aku baru saja menelan darahku sedikit, rasanya memang asin pengar tetapi warnanya tidak berubah biru seperti laut. Mengapa warnanya harus merah?

Aku menunduk, berpikir. Sekelebat pikiranku kemudian teralih padanya. Dia masih berdiri di sana, mengerling, menatapku liar dengan mata yang lebih merah dari darahku. Mulutnya berkomat-kamit entah mengatakan apa. Langkahnya panjang dan bergegas menghampiriku. Dengung kepalaku turut terisap pada irama langkahnya.

Seharusnya aku bersiap untuk babak kedua. Salahku yang terlalu terlena dengan sepuluh detik mengkhayalkan warna darah, hingga tak menyadari dia telah sampai di hadapanku. Mengayunkan sebuah benda mengilat dengan cepat. Aku menangkis. Dia menginginkanku bertindak defensif, meski sebenarnya aku hanya ingin diam menerimanya agar tubuhku tidak akan terlalu kelelahan.

Terhuyung-huyung aku mundur dan terduduk ke arah tangga. Mataku berkunang-kunang, warna dalam ruangan itu bercampur baur. Darah mengucur lebih banyak dari sebelumnya. Mataku pelan menutup, napas mengumpul di dadaku, perutku berguncang, tergulung-gulung. Sesuatu dari dalam menyodok dadaku hingga sesak. Perutku terpilin kuat. Darah lagi. Kali ini dari dalam, kumuntahkan dari mulutku sendiri. Warnanya hitam, atau mungkin merah hati?

Dia kembali menghampiri. Mengangkat daguku, mencengkeramnya, meludahiku tanpa ampun. Aku harus membuka mata segera. Dia takkan suka bila ada adegan pingsan seperti drama di tengah keasyikannya. Kucoba untuk bangkit, tetapi pening itu begitu menyiksa hingga aku hanya mampu menutup mata. Lalu, suara-suara menghilang tiba-tiba. Dengung dalam kepalaku tak lagi bergaung.

Hening. Sebelum satu sentakkan membuatku terdorong hebat ke belakang. Tempurung belakangku nyeri terantuk ujung tangga. Dadaku teremas, panas. Setelahnya hanya kudengar suara langkah menjauh, dan ragaku terjatuh bergelinding hingga ke dasar ubin lantai yang dingin.

Begini lebih baik. Aku harus tetap hidup meski aku begitu merindukan kematian. Sendiri, setidaknya aku akan merasa aman. Kehadirannya selalu membuatku waspada. Dia bisa saja datang tiba-tiba memukulku dengan sebuah tongkat bisbol, atau batu arang, atau gergaji tumpul, meski aku tak bersalah. Jangan tanya kenapa, dia mungkin hanya sedang marah dan tangannya ingin dilegakan. Memang hanya sesederhana itu.

Dia tahu aku takkan mati dengan mudah, sedangkan ketidakberdayaanku adalah satu-satunya hal yang membuatnya lebih hidup. Dia takkan membiarkanku mati, tidak juga membiarkanku sendiri.

***

Suara ketukan sepatu terdengar. Derik engsel pintu dibuka menyusul pemilik kaki memasuki sebuah ruang berpendingin. Seorang berjas putih menunggunya di dalam.

“Bagaimana, Ed?”

“Tunggulah sejenak, kawanku sedang membereskan sisanya.”

Pandangan keduanya teralih oleh suara brankar yang didorong perawat.

“Tolong ungkaplah apa yang sebenarnya terjadi. Ini rahasia, tapi korban ini masih kerabat denganku.”

Ed mengangguk jengah. “Tenang saja, itu sudah menjadi tugasku. Jasad-jasad ini bahkan lebih jujur mengungkap kematian mereka dibandingkan para saksi hidup.”

Ed menyibak kain putih penutup jasad yang baru. Suara kesiap lolos dari bibirnya. Wanita itu… wanita yang sebulan lalu masih dapat menorehkan senyum, kini membeku dengan bibir tak berbentuk. Tangannya patah di beberapa bagian. Sebagian kepalanya hancur.

“Bukankah dia wanita yang waktu itu datang ke kantor polisi bersama tetangganya yang hendak melapor?” Ed bertanya-tanya dalam hati.

Masih diingatnya ketika tanpa sengaja ia berpapasan dengan dua orang wanita yang menunggu untuk melapor. Ed baru saja selesai menemui sahabat karibnya di kepolisian. Tanpa maksud menguping pembicaraan orang lain, tak sengaja dia mendengar percakapan keduanya.

“Kau itu harus laporkan kelakuan bejat suamimu!”

“Sudahlah, Sum. Nggak ada yang terjadi dengan suamiku. Dia cuma khilaf dan sudah meminta maaf.”

“Kamu ini jangan mau jadi wanita bodoh. Bisa-bisanya kamu bertahan. Kamu bukan samsak tinju. Kamu itu istrinya!”

Ed menatap prihatin wanita yang bersikeras untuk bertahan di sisi suaminya, meski teman Ed sempat masuk ke dalam pembicaraan dan menawarkan bantuan. Tubuhnya tidak seperti yang terlihat dari luar. Kulitnya dipenuhi koreng luka sayat dan sundutan rokok di lengannya yang tersingkap. Wajahnya begitu tirus dan  terdapat lebam di sekitar pelipisnya. Dan hari ini wanita itu datang dengan akhir dari kisah cinta tidak sehat semacam itu?

“Jadi, apa hanya ini korban yang ditemukan di TKP?” Ed tak yakin menanyakan hal itu, tetapi sudut hatinya sedikit terusik dengan kenyataan, wanita tegar itu kalah dengan rasa kesetiaannya yang menjadi bumerang di hidupnya tanpa keadilan?

***

Mataku tersentak. Saat kurasakan dinginnya ubin masih menyentuh kulit, napas menghambur cepat keluar dari rongga. Aku masih di tempat yang sama untuk ke sekian kalinya. Sudah tiga bulan berlalu setelah dia mematahkan ruas hidungku yang semakin bengkok. Dan untuk ke sekian tahun yang sudah kulupa berapa lamanya aku kembali bermanja dengan cairan anyir dan luka.

Aku tidak cantik dan bukan wanita baik yang terlahir dari rahim seorang wanita cerdas dan berkelas. Wajah buruk rupa ini terlahir dari obat-obatan yang diminum ibuku, dan lelaki yang lenyap sebelum pernikahan adalah kutukan. Ibuku tidak pernah menikah dan aku tidak berhasil dibunuhnya. Aku dilahirkan di malam yang dingin, dengan jeritan kesakitan. Bukan hanya di raga, tetapi juga di hati. Aku dibesarkan dengan kepahitan hidup ibuku yang malang. Setidaknya, ibuku tidak menikahi seorang seperti dia.

Setelah menikah dengannya, kupikir keberuntungan sedang memihak padaku. Aku tidak cantik dan semua orang menjauh karena rupaku yang tidak layak dipandang. Dia datang membantu saat aku terluka. Kukira dia menyukaiku. Ternyata darah dan lukaku yang begitu ia suka. Setiap kali mata merah itu melihat luka dan darah dari tubuhku yang tak berdaya, napas lelaki itu memburu, tubuhnya bergerak-gerak, lehernya menggeliat, dia menggelinjang sebelum jatuh tertidur lelap, sangat lelap. Bahkan setelah sekian lama aku tak bisa memahami keanehan darinya.

Telah lama aku berdiri sendiri, tiada siapa pun yang melihatku, tidak juga ibu datang menjengukku. Aku terperosok di sudut yang sepi di sebuah penjara tanpa terali. Sudah lama aku ingin pergi tetapi tak punya nyali. Pintu selalu terbuka, tetapi aku masih terkurung dalam setiap permainannya.

Aku bangkit sambil menopang tubuhku yang terasa berat pada terali tangga. Melihat ke sekeliling, memastikan dia telah pergi untuk bekerja. Aku harus segera membersihkan kekacauan sebelum dia datang.

Membersihkan rumah, memasak, dan mencuci harus kulakukan sendiri. Hari ini aku menemukan sebuah rekening hotel atas nama suamiku, terjatuh dari kantung jasnya. Anehnya, lokasi hotel itu masih berada tak jauh dari rumah kami.

Aku mencium gelagat perselingkuhan. Hal yang setelah sekian lama bau busuknya baru tercium dari lubang hidungku sendiri. Dia memang bukan orang suci. Tetapi, sebuah perselingkuhan adalah akhir yang tak dapat kutolerir.

Aku menandaskan tehku yang dingin. Sensasi melebur meruap di dadaku sejenak, hingga tercipta lubang cacing yang menghisapku sedikit demi sedikit seakan aku menjadi orang kerdil, dan mereka begitu besar hingga membuatku tersudut. Dia, membawa wanita itu ke hadapanku. Seolah meminta restu yang sejujurnya sama sekali tidak perlu.

Aku kehilangan diri, berulang kali dengung bingung itu bergaung meneriakkan sudah waktunya aku pergi. Di gedung hotel tempat mereka menghabiskan malam bersama, aku berdiri menentang angin. Membuat keributan yang akan ia kenang seumur hidupnya setelah ini. Selamat tinggal.

***

Pandangan keduanya teralih pada dua brankar lain yang berada di tempat kejadian perkara. Tubuh keduanya tak kalah mengenaskan.

“Ini suami wanita itu. Dan ini seseorang wanita yang diduga adalah kekasih gelap suaminya.”

Ed tak kan lebih terkejut lagi untuk mendapati pisau tengah digenggam oleh wanita simpanan suami wanita tegar itu.

Alih-alih terkejut, satu kedutan dan sebuah senyum tersumir di bibirnya sebagai wujud kelegaan dari sudut hatinya yang masih berdenyut.

***

“Cerita itu akan berakhir begini. Apa kau suka?”

Wanita tegar itu menoleh ke arah dua orang yang tergeletak tak jauh dari tempat ia duduk menghadap benda pipih yang menayangkan nyala satu-satunya cahaya di ruangan gelap itu. Deru mesin printer mencetak berbait-bait kisah yang ia tuliskan. Ia menekan darah yang masih mengucur dari perutnya.

“Tapi aku takkan membiarkan hidupku berakhir sama. Aku mungkin akan menerima. Tetapi tidak setia adalah kesalahan terbesarmu. Kau salah, aku bukan pembunuh. Aku tak perlu mengotori tanganku dengan membunuhmu sendiri. Kau hanya perlu mati di tangan seorang yang tak pernah kauduga.”

Dia memandang pada arwah lelaki berwajah hancur yang mengetatkan giginya dengan marah. Mulutnya berkomat-kamit meski wanita itu tak mampu mendengar lagi. Suara tawanya yang menggelegar, bergema di setiap sudut. Wanita itu tertawa lama hingga perutnya terasa sakit. Ia membiarkan sampai napasnya tersengal-sengal.

“Inilah akhir kisahku yang sebenarnya.”

Dia merebahkan badan dan menutup mata di sisi jasad suaminya.(*)

Heuladienacie, seorang wanita kelahiran 96, penyuka coklat. Bisa ditemui di akun Fb Irissywan Bella Heuladienacie dan wattpad dan ig @heuladienacie.

Tantangan Lokit 10 adalah kompetisi menulis cerpen yang diselenggarakan di grup FB KCLK. Cerpen ini dibukukan dalam kumpulan cerpen misteri-horor Loker Kata yang akan terbit bulan Januari.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata