Atouna El Toufoule, Paman

Atouna El Toufoule, Paman

Atouna El Toufoule, Paman

Oleh: Evamuzy

Assalamualaikum. Perkenalkan, namaku Amar, dan gadis kecil di sampingku ini bernama Aisyah. Aisyah, ayok ucapkan salam.

“Assalamualaikum, Kakak.”

Aisyah adalah adik kecilku yang manis. Usianya baru enam tahun. Kalau usiaku sudah genap sepuluh tahun. Kata Ummi, aku sudah besar, dan karena itu harus berani menjaga Adik atau siapa saja yang lebih kecil usianya dariku, atau bahkan mereka yang sudah terlalu tua dan lemah sehingga butuh perlindungan.

Kami berdua sedang menunggu Ummi yang pergi sedari pagi dan sampai siang ini belum juga pulang. Ummi pamit untuk mencari roti atau apa saja untuk makan kami. Kalau Abi … entahlah. Semenjak malam itu, malam di mana Abi pamit pergi dengan sebelumnya mencium kening kami satu per satu, sampai sekarang belum juga pulang. Aku dan Aisyah tidak pernah tahu apa yang sebenarnya menimpa Abi.

Hanya pernah satu waktu, Paman Ahmed datang membawa tiga potong roti ke rumah kami yang tinggal sebagian bisa ditempati dan sebagian lagi hancur tak beraturan. Paman datang menemui Ummi dan menangis saat bicara, sekilas kudengar nama Abi disebut. Dan sebelum pulang, Paman Ahmed sempat mengelus kepalaku dan kepala Aisyah, lalu mencium kening kami seperti yang selalu Abi lakukan. Paman berkata, “Paman berjanji akan menjaga kalian. Abi kalian telah berkorban demi kemerdekaan tanah kita.” Aku pun tak begitu mengerti dengan kalimat terkahir Paman.

“Ummi, apa yang terjadi pada Abi?” tanyaku malam itu. Siangnya aku sangat senang, Ummi mendapat sepotong roti untuk kami makan. Ah, bukan potongan tapi lebih tepatnya apa, ya? sepotong roti yang terlihat hancur, tetapi masih cukup pantas untuk dimakan. Alhamdulillah … kami masih lebih beruntung dari yang lainnya.

“Abi tidak apa-apa, Sayang. Abi akan pulang saat waktunya datang. Saat kita sudah merdeka.”

“Apa itu merdeka, Ummi?”

“Merdeka itu saat di tempat kita tidak ada lagi rumah yang dihancurkan, tidak ada lagi orang-orang yang terluka dan tidak ada lagi rasa takut dan lapar yang sangat panjang.”

“Apakah semua tempat di dunia ini juga seperti di tempat kita, Ummi?”

“Tidak, Sayang. Kita hidup di negeri yang sedang dilanda konflik. Tapi tenanglah, InsyaAllah ini tidak akan lama. Allah akan memberikan pertolongan-Nya.”

“Konflik itu apa, Ummi?”

Belum sempat Ummi menjawab pertanyaanku, tanpa ada peringatan sebelumnya, bunyi ledakan yang teramat keras di telinga hingga membuatku serasa tuli untuk beberapa saat, kemudian berganti dengan bunyi dengungan yang sangat lama di indra pendengaranku ini. Bunyi jeritan, tangisan, teriakan ibu-ibu memanggil nama anaknya sampai asma-asma Allah yang sengaja dilafalkan demi memohon perlindungan dan pertolongan, mengubah suasana yang hening sebelumnya. Juga, riuh sinire ambulans saling berkejaran. Mungkin di luar sana akan banyak darah yang mengering pada puing-puing bangunan yang hancur, seperti yang kulihat dua hari lalu.

“Kenapa ada konflik di tanah kita, Ummi?” tanyaku saat dengungan pada telinga mulai hilang. Suara-suara di luar juga mulai mereda, di waktu mendekati subuh. Ummi sedang mencoba menidurkan adik perempuanku yang cantik. Aku kagum dengan Aisyah. Dia adik kecilku yang sangat kuat dan pemberani, tak pernah menangis sekalipun saat suasana mencekam itu berkali-kali datang, juga saat itu, saat dia sempat terluka parah, saat Abi masih bersama kita, tepat saat separuh rumah kami hancur.

“Tanah kita sedang menjadi rebutan para Paman penguasa yang duduk di kursi yang megah.”

“Paman-paman penguasa? Bukankah kata ibu guru, semua penguasa harus bersifat baik dan bersikap adil, tidak merusak dan menyakiti.”

“Benar, Sayang. Kita doakan, semoga para Paman penguasa mendapatkan hidayah. Berbuat adil dan baik kepada tanah kita.”

“Aamiin, Ummi.”

***

Dan hari ini adalah hari raya.

Hari di mana akan banyak keluarga berkumpul dengan sangat bahagia. Pakaian baru yang indah, kue-kue kering yang gurih dan manis juga banyak makanan berat yang khas dan lezat. Juga banyak tawa anak-anak yang saling berkejaran di setiap halaman rumah atau ruang keluarga. Namun, sayangnya itu hanya yang kulihat di acara televisi, bukan di tanahku.

Tadi pagi, aku bersama para Paman dan Bibi juga Ummi serta Aisyah pergi ke lapangan untuk menunaikan salat Idul Fitri. Suasana memang hening sesaat, selama proses ibadah kami berlangsung. Sepertinya para Paman penguasa sengaja memberikan kami sedikit kebebasan dari rasa takut. Mungkin seperti inilah merdeka itu, Ummi? Oh, tetapi kata Ummi lebih lama dari ini, sebab, belum sempat kami bangun dari tempat sujud masing-masing, suara dentuman yang teramat keras kembali terdengar dari tempat yang tak jauh dari lapangan tempat salat. Kepulan asap pekat yang bergumpal sangat banyak terlihat tepat pada bangunan tempat para Paman-paman pejuang kebebasan berkumpul.

Oh, Allah … sungguh kami ingin semua ini selesai dan hidup tenang tanpa darah, tanpa dentuman keras, tanpa tangis, tanpa takut, tanpa bingung, tanpa lapar, tanpa bau obat-obatan, tanpa kehilangan dan tanpa kekerasan. Bebas bermain mobil-mobilan di jalanan beraspal negeri kami yang penuh debu dan panas, tetapi menyenangkan.

“Jika aku yang memohon, apakah engkau akan mendengarkannya, Paman?” permintaanku dalam hati sambil berlari mencari tempat yang aman, sambil menggandeng Aisyah, adik kecilku yang sejak runtuhnya sebagian rumah kami, hanya memiliki satu penglihatan. Ummi, di mana Ummi?

*Berikan kami masa kecil, Paman

Evamuzy, gadis kelahiran kota kecil di Jawa Tengah yang sedang belajar menulis yang baik.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata