Ateng, Sang Pemburu Cinta
Oleh: Manjilati Nur
Hari ini Ateng memang tak seantusias dulu dalam mengeksplor kreativitas. Saat semua bersusah payah mencari ide untuk kegiatan PENSI di sekolah, dia malah terdiam di pojok bangku depan dengan raut malang menatap teman-temannya. Ya, maklum. Dia seorang ABG labil yang sedang mencari jati diri, termasuk soal percintaan yang sedang dialaminya saat ini. Baginya, jati diri saat berusia kelas dua SMA adalah menemukan pacar yang bisa menyemangatinya. Entah pemikiran dari siapa yang dia tanamkan. Namun, hal itu berhasil membuatnya galau seharian.
Teman-teman Ateng memang sudah bisa menggandeng pacar masing-masing—dengan banyak strategi yang dianggapnya sangat jitu. Bahkan di antara teman-temannya itu tidak sedikit yang memiliki lebih dari satu pacar.
“Terkadang dunia ini tidak adil, ya,” pekiknya dalam hati. Ateng yang merasa dirinya adalah seorang pecinta sejati, tidak pernah berniat mempermainkan wanita. Satu wanita saja sudah cukup membahagiakan, mengapa harus bergaya memacari dua wanita bahkan lebih, begitu pikirnya. Selama ini dia hanya bisa membayangkan jika dia mempunyai pacar, betapa bahagianya dia. Dalam hati dia berjanji, tidak akan pernah menyakiti hati wanitanya. Setia, begitu prinsip asmaranya. Seperti burung merpati yang mencintai pasangannya sepenuh hati.
***
Waktu pentas hampir tiba. Kelas Ateng telah dipenuhi banyak atribut pementasan seni yang akan dipersembahkan oleh teman-temannya. Esok lusa, semua ide pementasan dari setiap kelas sudah harus terkumpul karena hari-H tinggal tiga hari lagi. Jatah satu kelas adalah tiga pementasan. Teater, dan tari dari persembahan kelas Ateng telah siap dipertontonkan. Satu lagi ide harus dipikirkan matang-matang. Namun, semua telah kehabisan ide dan personil.
Teater yang diikuti lima belas orang dan tari oleh enam orang telah hampir menghabiskan anggota satu kelas. Tinggallah Ateng yang tersisa. Dia yang tetap dengan kegalauannya tidak ingin ambil pusing perihal PENSI itu. Malah semakin hari, dia semakin tak tahan berada di kelas yang penuh canda tawa temannya. Baginya, itu adalah suatu penghinaan. Pasalnya, pasangan yang saling berpasangan dalam teater tidak lain adalah pasangan di dunia nyata pula. Terlebih peran Romeo dan Juliet yang membuat hatinya bergejolak penuh iri.
“Teng, kamu punya ide gak buat PENSI?” tanya Doni.
“Enggak, kalian sajalah. Saya buntu ide,” jawab Ateng dengan raut tak keruan.
“Ayolah. Ke mana Ateng yang kaya ide dan banyak menghasilkan karya itu.”
“Saya mah lebih baik diam sajalah. Karya saya juga paling karya receh dari kampung. Kalian anak kota lebih pantas berada di panggung itu,” tegas Ateng.
Tidak seperti biasanya memang. Ateng yang selalu ceria dan percaya diri kini telah menjelma menjadi sosok yang pendiam dan minderan.
***
Sehari sebelum PENSI dimulai, Ateng mulai menyibukkan diri di luar kelas. Di tengah hiruk pikuk sekolah dan kelas yang sedang mempersiapkan acara, dia malah senang nongkrong di kantin.
“Hai, Ateng!” sapa Meli, “kenapa tidak ikut gabung nyiapin acara buat besok?” lanjutnya.
“Eh, Mel. Eng—enggak, ah,” jawabnya kaku.
Meli adalah wanita yang disukai Ateng. Tak biasanya dia menyapa Ateng yang selama ini justru tak pernah menanggapi gombalan cowok itu. Sekalipun satu per satu jurus sudah dicoba oleh Ateng, tetap nihil.
“Aku cuma mau ngasih tau kamu. Selama ini kamu udah cukup buat aku terkesan dengan keaktifanmu di kelas. Selama ini aku diemin kamu, supaya kamu gak berubah hanya karena cinta. Teng, cinta itu gak seindah yang kamu bayangkan.”
Seolah paham titik masalah yang dihadapi Ateng, Meli menyadarkan Ateng perihal cinta yang selama ini menjadi penyebab kegalauannya.
Sejurus kemudian, Meli berlalu meninggalkan Ateng yang sedang menikmati es teh manis di kantin belakang sekolah. Membiarkan Ateng, sang pemburu cinta itu berkutat dengan perkataannya yang melekat dan tepat sasaran.
***
Hari-H PENSI
“Kreasi selanjutnya, permainan calung oleh Ateng kelas sebelas IPA 3.”
Terdengar menggema suara MC di sudut panggung yang telah terhias rapi di lapangan sekolah. Ateng yang selama ini terlihat murung, dengan percaya diri tampil di atas panggung PENSI. Berbekal keahliannya bermain calung, dia memukul-mukul calung dengan lihai. Tangannya yang telah terlatih sewaktu SMP di Bandung membuatnya semakin terlihat keren. Dipadu-padankan dengan kostum khas daerah Sunda membuat Ateng terlihat karismatik. Ikat kepala yang dipakainya menggambarkan Ateng yang dulu sebagai bintang di kelasnya. Walau tidak mendapat peringkat pertama, dia selalu masuk tiga besar dan merupakan anak didik kesayangan guru seni budaya.
Ya, inilah Ateng yang sebenarnya. Tiap tatapan teman-teman yang selalu kagum akan pesona Ateng begitu terhibur melihat permainan calung khasnya, seraya bertepuk tangan dengan riuh. Termasuk seorang perempuan yang kemudian melambaikan tangan padanya. Berkostum penari, sangat elegan. Dialah Meli, teman sekelas Ateng yang menyadarkannya perihal cinta yang tidak melulu harus dibuktikan dengan pacaran.(*)
Tentang Penulis:
Manjilati Nurhazah. Lahir di Tasikmalaya, 24 April 1998. Menyukai dunia pendidikan dan literasi. Bisa disapa lewat FB: Manjila Nur
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita