Asalkan Kau Bahagia (bagian 2)
Oleh: Erlyna
Ran berjalan sambil memikirkan sesuatu. Sepertinya sejak pulang ke Indonesia, pikirannya tidak pernah tenang. Banyak hal yang tiba-tiba memenuhi kepalanya. Terkadang laki-laki itu berpikir, mungkinkah keputusannya untuk pulang ke Indonesia adalah sebuah kesalahan?
“Ran.”
Laki-laki itu kaget untuk beberapa detik. Tidak menduga seseorang akan mendadak muncul di hadapannya.
“Zha?”
“Ah, ternyata memang benar kamu, Ran. Apa kabar? Kapan kau datang?”
“Baik. Sudah satu minggu yang lalu.”
“Wah. Aku tidak tahu jika kau pulang. Apakah sekarang kamu memutuskan untuk menetap?”
“Ya. Sepertinya aku harus menetap di sini … demi seseorang.”
“Siapa?”
Gadis bernama Zha yang merupakan teman les Ran saat masih SMP, memandangi laki-laki itu sambil mengerutkan kening.
“Ah, itu … ibuku. Aku harus menemani ibuku. Beliau kesepian jika tinggal sendiri.”
“Baguslah. Aku jadi punya banyak waktu untuk bertemu denganmu. Nomor ponselmu masih yang dulu, kan?”
“Ah, ya.”
Ran menatap Zha sekilas lalu menunduk. Pikirannya mendadak tidak menentu.
***
Rumi duduk di kursi sebuah taman dengan tubuh menggigil. Wajahnya pucat. Kepalanya seperti dihujani batu berkali-kali, pusing tidak tertahankan. Obat yang tadi diminumnya seperti tidak memberi efek apa-apa kecuali memperburuk keadaan.
Pikiran gadis itu sama kusutnya dengan penampilan sekarang. Bagaimana tidak, kedatangan Ran—laki-laki yang sudah lama mencuri perhatian itu, nyatanya justru membuat keadaan tidak keruan. Rumi yang mengira bahwa Ran akan berubah sedikit mencair, nyatanya harus menelan kecewa dan menerima kenyataan bahwa Ran masih seperti dulu, sedingin es batu.
Aku benci sekali padanya. Benci sekali!
“Mau sampai kapan kamu menarik rambut seperti itu? Sampai kepalamu terlepas? Hah?”
Rumi mengangkat kepala lalu melotot kaget demi melihat siapa yang datang mengajaknya bicara.
“Pergi! Sedang apa kamu di sini?”
Ran diam-diam tersenyum kecil melihat Rumi bersikap dingin kepadanya. Di mata Ran, Rumi yang sedang marah itu terlihat lucu.
“Nih, makanlah! Sudah kubilang, kan, jangan menyiksa diri seperti ini? Kamu tidak sayang tubuhmu, hah?”
Rumi menatap kotak kardus kecil di pangkuan. Aroma nasi goreng kesukaannya menguar menggugah selera. Perut yang sejak tadi begitu perih, seolah-olah sedang melambai-lambaikan tangan untuk meraih kotak itu dengan tidak sabaran.
“Makanlah. Jangan sungkan. Di hadapanku, kamu tidak perlu susah payah menjadi orang lain.”
Rumi menggigit bibir bawahnya. Menyadari betul bahwa apa yang dikatakan Ran adalah benar. Hanya di hadapannya, hanya di hadapan laki-laki dingin ini, Rumi bisa menjadi diri sendiri tanpa takut ditinggalkan. Hanya di hadapan Ran, Rumi bisa menampilakan semua emosi apa adanya, tanpa rasa takut dicap jelek. Hanya di hadapannya ….
***
Siang sepulang sekolah, Rumi yang sedang menunggu Ran di sebuah tempat yang sudah disepakati, mendadak pergi meninggalkan tempat itu. Mata gadis itu berkaca-kaca.
Barusan, Rumi melihat Ran sedang berjalan bersama seorang gadis cantik. Kalau dilihat dari seragamnya, sepertinya gadis itu berasal dari sekolah yang berbeda dengan Rumi. Lalu, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Ran pergi dengannya? Kenapa Ran tidak menepati janjinya?
Rumi memilih pergi karena kecewa. Ia berjalan seperti orang kaya yang kecopetan, tetapi tidak berani melapor. Lemas dan kehilangan semangat. Baginya, tidak ada lagi yang harus ditunggu sekarang. Sudah jelas, Ran pulang ke Indonesia bukan demi dirinya.
Ckit.
Bruk!!!
Rumi seperti baru saja ditampar ratusan kali. Ia tersadar dari lamunannya sendiri. Tubuhnya seperti melayang ke suatu tempat secara tiba-tiba.
Tunggu!
Apa yang terjadi?
Rumi menatap sekeliling. Orang-orang mulai berkerumun. Mereka mendekati sesosok tubuh yang terluka parah dengan wajah panik.
Deg!
Itu … itu tubuh ….
Rumi merasakan kepalanya berat, seperti ada batu besar yang menimpa kepala dan tidak mau dipindahkan. Tanpa sadar, sebuah tangan sudah berada di pundaknya, menyangga Rumi senyaman mungkin.
“Ran … kamu ….”
“Tidak apa-apa. Ini tidak apa-apa.”
Rumi menatap dengan napas memburu. Ran sedang tersenyum ke arahnya. Senyum yang sudah sekian lama dinantikan setengah mati oleh Rumi. Senyum yang sangat gadis itu rindukan.
“Kenapa? Kenapa begini?”
“Jangan tanya kenapa. Percayalah, aku ingin melakukan lebih dari ini … tapi aku tidak bisa. Mulai sekarang berjanjilah, kamu harus belajar untuk jadi dewasa.”
“Ran … Ran … Ran!”
Rumi tersadar dari pingsan. Di sekitarnya suasana terlihat kacau sekali.
“Cepat panggil ambulans! Korbannya hampir berhenti bernapas!”
Sebuah teriakan menyadarkan Rumi tentang apa yang sebenarnya terjadi.
“Dik, kamu tidak apa-apa?”
Sebuah suara mendekati Rumi dan terlihat ramah.
“Paman, apa yang sebenarnya terjadi?”
“Kamu hampir tertabrak mobil. Untung seseorang menyelamatkanmu dengan tepat waktu. Pemuda itu, menurut saksi yang melihat, ia melempar tubuhmu ke semak-semak. Sepertinya usaha pemuda itu berhasil. Kamu baik-baik saja, kan?”
“Tapi … apa yang terjadi padanya?”
“Yah, sepertinya dia akan kehilangan nyawa. Apakah kamu mengenalnya? Menurut saksi, pemuda itu sedang berjalan dengan seorang gadis lain saat petaka hampir menimpamu. Dia langsung bertindak cepat. Kalian seperti sepasang magnet.”
“Apa? Jadi Ran menyelamatkanku? Laki-laki dingin itu … berkorban nyawa demi aku? Namun dari pada itu … Ran? Ran! Rannn …!”
***
“Maaf, Zha. Aku tidak bisa pergi denganmu. Aku ada sebuah janji. Janji dengan seseorang yang entah kenapa sekarang sedang memanggilku dengan tangisannya. Maaf, Zha. Aku harus pergi … menemui kebahagiaanku sendiri.”
Purworejo, 1 April 2019
Erlyna, perempuan sederhana kelahiran Jakarta yang menyukai dunia anak-anak. Hobi makan, melamun dan menyaksikan anak-anak menciptakan keajaiban.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata