Asalkan Kau Bahagia (bagian 1)

Asalkan Kau Bahagia (bagian 1)

Asalkan Kau Bahagia (bagian 1)
Oleh: Erlyna

“Ran, apakah kamu bahagia?”

“Ya!”

Rumi menatap laki-laki yang duduk di hadapannya. Tidak ada yang berbeda. Teman masa kecilnya itu tetap saja dingin dan kaku.

Rumi menghela napas. Bagaimana bisa laki-laki itu tetap menyebalkan setelah sekian lama?

“Ran ….”

“Hmmm?”

Rumi menggigit bibirnya. Laki-laki bertubuh jangkung itu bahkan menjawab pertanyaannya tanpa mengangkat wajah dari buku yang sedang dibaca.

Rumi bangkit dari duduk, lalu meninggalkan meja tempat mereka bertemu untuk pertama kalinya setelah lima tahun berpisah.

Ran menatap Rumi sekilas, lalu kembali asyik dengan bacaannya.

***

Tok! Tok! Tok!

“Rum, temanmu datang.”

Rumi yang sedang memotong poninya terdiam sebentar. Mengingat-ingat, siapa yang punya janji untuk bertemu dengannya.

“Ibu, aku tidak punya janji.”

“Apa yang kamu lakukan? Cepat turun dan temui temanmu. Bagaimana bisa kamu tidak peduli begitu?”

Rumi mengerling malas mendengar sahutan ibunya dari balik pintu, lalu kembali menatap cermin. Tidak peduli.

Setelah selesai memotong poni, Rumi menuju kamar mandi yang menyatu dengan kamar tidurnya untuk mandi.

Hari Minggu begini memang paling nyaman bersantai di dalam rumah.

Setelah mandi dan mengeringkan rambut, Rumi merebahkan badannya ke atas tempat tidur. Hampir saja matanya terpejam jika perutnya tidak berbunyi.

Gadis berambut panjang sebahu itu baru ingat bahwa dirinya belum makan apa-apa sejak pagi. Rumi pun keluar kamar, menuju dapur di lantai satu.

Langkah kaki Rumi terhenti di tengah tangga, saat matanya menangkap sosok laki-laki di ruang tamu yang sedang membaca.

“Kamu, sejak kapan di sini?”

“Dua jam lalu.”

“Oh, jadi … yang Ibu maksud tadi itu kamu? Maaf aku tidak tahu. Kukira Ibu hanya bercanda untuk membuatku turun dan membantunya membersihkan rumah.

Laki-laki yang tidak lain adalah Ran, meletakkan buku di tangan lalu menatap tajam ke arah Rumi.

“Kenapa kamu masih saja kekanak-kanakan?”

“Kenapa? Itu bukan urusanmu.”

“Hhh! Bagaimana bisa kamu masih bersikap seperti ini? Bagaimana bisa kamu hanya santai-santai sementara ibumu membersihkan rumah seorang diri? Kenapa kamu hanya diam saja? Apa susahnya membantu? Apa saja yang kamu lakukan selama ini? Kamu ….”

“Cukup! Pergi dari rumahku. Hari ini aku sedang tidak ingin diganggu. Jadi berhentilah memarahiku seolah-olah aku ini anak kecil yang perlu dikasih tahu ini dan itu.”

“Kamu memang masih anak kecil.”

“Diam! Cepat pergi!”

Ran segera bangkit dari duduknya lalu pamit pulang. Di tengah jalan, Ran merogoh saku jaketnya. Mengambil dua lembar kertas yang tersimpan di sana, meremas lalu membuangnya.

Dua lembaran kertas kecil itu adalah tiket konser musik favorit Rumi yang sudah lama sekali diinginkan gadis itu. Ran menghela napas berat, lalu melangkah seperti tidak pernah terjadi apa-apa.

***

Sialan!

Kenapa dia tidak juga berubah? Kenapa masih harus marah-marah di depanku? Kenapa harus … ah!

Rumi membenamkan wajahnya di atas bantal. Nafsu makannya hilang. Omelan Ran yang sudah lama tidak didengarnya itu, seperti guncangan yang tiba-tiba menampar perasaannya yang sudah lama tenang.

“Rumi.”

“Ya, Bu?”

“Kenapa belum makan? Hari ini Ibu masak makanan kesukaanmu. Ayo turun.”

Rumi kembali mengabaikan panggilan ibunya dan memilih tidur.

Sorenya Rumi terbangun dengan kepala pening akibat telat makan. Bukannya segera menuju meja makan, Rumi malah mengambil jaket dan berjalan sambil menahan nyeri di kepalanya menuju minimarket.

“Apa yang kamu lakukan?”

“Hah?”

Rumi mengangkat kepala sambil mengerutkan dahi.

“Kamu kenapa? Jangan bilang kamu belum makan juga. Bukankah kamu punya penyakit mag? Kamu juga bisa pusing berhari-hari hanya karena telat makan. Kenapa suka sekali menyiksa diri? Apa belum puas membebani ibumu begitu rupa?”

Plak!

Tamparan itu mendarat begitu saja di pipi orang yang ditemui Rumi, Ran. Laki-laki itu kebetulan baru saja keluar dari minimarket yang sama dan melihat Rumi berjalan dengan kepala menunduk.

Ran tahu betul siapa Rumi. Bahkan laki-laki kaku dan menyebalkan itu lebih memahaminya dibanding Rumi sendiri. Ran tahu jika Rumi adalah gadis ceroboh yang suka melakukan apa saja tanpa berpikir panjang. Di usia mereka yang hampir tujuh belas tahun, Rumi bahkan masih terlihat seperti anak-anak di mata Ran. Gadis itu sama sekali tidak berubah.

Ran kembali mengembuskan napas berat. Ternyata kepergiannya ke luar negeri tidak juga membuat Rumi berubah.

“Maaf.”

Ran berkata pelan lalu melangkah meninggalkan Rumi yang diam-diam mulai terisak.

….

 

Purworejo, 12 Maret 2019

Erlyna, perempuan sederhana kelahiran Jakarta yang menyukai dunia anak-anak. Hobi makan, melamun dan menyaksikan anak-anak menciptakan keajaiban.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata