Asa yang Terpenjara Rasa
Oleh: Arnosa
Siang ini, langit berhenti tersenyum. Mendung menutup wajah ceria sang mentari. Langkah kaki ini pun seakan enggan untuk meninggalkan kafe. Secangkir kopi panas menemani siangku. Buku yang ada di tangan kubolak-balik. Membaca tapi tidak bisa mencerna makna isi dari sang jendela dunia. Suara merdu sang biduan di atas panggung memecah kosongnya hati.
Aahh, gadis itu. Mengapa aku tidak bisa melupakannya? Rasa penasaran kian menderu. Ya, dia gadis yang selama ini selalu aku impikan menjadi tulang rusukku. Melengkapi belahan jiwa yang masih belum terisi. Setiap malam harapan ini selalu aku sampaikan kepada Sang Khalik ‘pencipta alam’.
“Hufffttt, dingin sekali. Kenapa hujannya gak reda-reda?” gumamku.
Saat sepasang mata elangku menatap tajam ke jendela kaca yang penuh dengan buliran air hujan. Tampak wajah manis berbentuk oval memenuhi jendela. Seakan mimpi. Kukucek mata ini berulang kali. Ish, ini bukan mimpi. Dia benar ada di depan mata. Badannya menggigil kedinginan. Ingin aku berlari menghangatkan badannya, tapi rasa malu menggelayuti jiwa. Aku hanya bisa memandang dia dari dalam.
Aku mengagumi setiap lekuk tubuhnya. Dia begitu sempurna. Tidak ada cacat sedikit pun. Wajahnya yang begitu putih bersinar. Lalat pun akan terpeleset saat di atas wajahnya. Namanya begitu indah. Dewi Wulandari. Dewi yang bersinar seperti bulan purnama. Aaahhhh, sayang sekali. Aku hanya bisa mengagumi dalam hati.
Mata ini masih menerawang di jendela. Namun tiba-tiba ada suara lembut mengagetkanku.
“Hai, Andi ….”
“Eh … anu.” Aku langsung salah tingkah saat pemilik suara itu datang menghampiriku.
“Sudah lama kamu di sini?”
“Anu … lumayan. Sejak hujan turun.”
“Oohhh … lama juga ya. Aku dari tadi di depan kafe.”
“Benarkah???” aku mencoba menutupi kegrogianku dengan berbohong.
“Hehem. Nunggu hujan reda, tapi sepertinya ujannya awet. Daripada nganggur di depan, sambil menghangatkan badan, aku masuk ke kafe. Ternyata kamu ada di sini juga. Sempet ragu sih tadi.”
“Kok akhirnya bisa tahu kalau ini aku?”
“Iyalah. Aku belum pikun kali. Aku masih hafal tadi kamu pakek baju apa.”
Tuhan. Kuatkan diriku. Gadis impianku ada di depan. Tidak pernah aku sedekat ini dengannya. Detak jantung semakin tidak beraturan. Dada semakin sesak. Bahkan sulit untuk bernapas. Jalan napas bagai tertutup kerikil tajam. Seorang pelayan mengantar kopi untuknya.
“Kopinya diminum, gih. Badanmu biar hangat.”
Wulan membalas dengan senyuman. Senyum manis yang tidak pernah aku temui dari gadis mana pun.
“Ndi, kamu sering ke sini?”
“Jarang sih, ke sininya pas ada waktu luang aja. Pas lembur ya langsung pulang.”
“Takut dimarahi pacar, ya?”
“Iih, pacar dari mana? Ini masih proses mencari, bukan pacar sih. Tapi, istri.”
“Wiihhh, kenapa gak pacaran dulu?”
“Udah trauma pacaran. Sering ditinggal.”
“Masak siih, sering ditinggal. Paling-paling kamu yang ninggalin. Secara gitu loh, wajah kamu kan ganteng. Cewek-cewek sekantor aja banyak yang bilang kamu kayak bintang film Bollywood. Hrithik Roshan.”
“Hem, tapi kenyataannya banyak cewek yang ninggalin aku.”
“Kamu kurang romantis kali?”
“Apa gitu kali ya.”
Kita berdua tertawa.
Suasana kafe yang sejak tadi berasa sunyi layaknya kuburan. Sekarang berubah drastis menjadi taman bunga. Harum mewangi di setiap sisi kafe. Suasana suram menjadi cerah.
“Hem, kamu sendiri gimana, Lan? Sudah ada calon?”
“Belum ada, sih. Aku dari awal memang enggak ingin pacaran. Bertaaruf. Cocok. Lanjut ke jenjang pernikahan. Aku enggak ingin menodai hidup dengan hal-hal yang negatif dan gak penting.”
Dalam hati aku bersyukur. Bidadari impianku belum mempunyai pasangan. Ingin aku mengungkapkan rasa yang selama ini bergemuruh dalam dada. Namun, rasa takut menggelayuti jiwa. Aku tidak mempunyai keberanian. Aku berdoa semoga engkaulah jodohku. Waktu dan takdir akan menjawab doaku. Akan tiba waktu di mana aku akan memintamu menjadi tulang rusukku. Sementara ini, biarlah aku mengagumi tubuhmu.
***
Dalam hati yang lain. Aku ingin engkaulah pangeran dan menjadi imam dalam menjalani hidup di dunia dan akhirat. Aku belum mengenalmu, tapi aku yakin engkau laki-laki yang mempunyai agama yang kuat. Mintalah aku pada Papa dan Mama. Bimbinglah aku menjadi wanita yang engkau minta. Jadikan aku bidadarimu di dunia dan akhirat.
***
“Lan, ujannya udah reda. Yuk kita pulang.”
“Iya nih, ya udah, aku duluan ya. Eh, hari ni aku yang traktir. Ntar gantian. Tapi jangan kopi, ya.”
“Wokeee, beres.”
Biarlah pertemuan ini menjadi yang pertama.
Kediri, 16 April 2019
Arnosa, emak dari dua bidadari. Berkeinginan kuat menjadi penulis.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata