Asa Saat Hujan Reda
Oleh : Inu Yana
Hari sudah semakin pekat, tetapi Husin masih duduk termenung di pintu teras. Tak ia pedulikan tempias air yang perlahan-lahan mulai membasahi kausnya, juga panggilan istrinya yang bolak-balik mengajaknya makan malam. Ia terus diam di sana, memperhatikan air yang tercurah dari atap asbes rumahnya. Sesekali menengok titik-titik air yang menetes dari asbes teras sebelah kanan yang bocor.
Petir menggelegar. Husin hanya menarik napas seakan tak terganggu sama sekali. Dia larut dalam rinai hujan, juga dalam pikiran-pikirannya yang berkecamuk. Wati, istrinya, menurut perkiraan dokter di Puskesmas akan segera melahirkan pada minggu-minggu ini. Namun karena posisi bayi sungsang, Wati harus menjalani operasi sesar di rumah sakit kota. Tanggal sudah ditentukan, empat hari lagi. Husin resah, dari mana ia bisa mendapatkan biayanya? Jangankan tabungan, untuk makan sehari-hari pun mereka masih kekurangan. Keadaan semakin diperparah kala ia terpaksa harus dirumahkan dari pekerjaannya tiga bulan yang lalu tersebab PHK besar-besaran di pabriknya. Krisis ekonomi membuat tempatnya mengais rezeki itu mengalami gulung tikar. Husin meremas rambut. Kepalanya semakin berdenyut-denyut.
“Masuk, Mas. Makan dulu.” Lagi-lagi istrinya mendekatinya dan menyuruhnya makan.
Tanpa menjawab sepatah kata pun, Husin bangkit menuju ruang tamu tanpa kursi yang sekaligus berfungsi sebagai ruang keluarga sekaligus ruang makan. Lelaki usia jelang tiga puluh itu duduk bersila di lantai menghadap televisi yang gambarnya penuh semut—televisi bobrok yang harus Wati gebrak dulu bagian atasnya agar bisa menyala. Di depannya tersaji sepiring nasi dan semangkuk sayur bayam. Husin menyendok sayur dan menyiramnya ke nasi di piring. Wati hanya memperhatikan suaminya yang makan dengan tak semangat.
“Kamu sudah?” tanya Husin. Wati mengangguk.
“Habisin, Mas,” ujarnya ketika ia lihat Husin menyudahi makannya.
“Kenyang,” jawab Husin pelan. Mengangkat gelas berisi teh tawar hangat di hadapannya dan menghabiskan isinya.
“Kamu bosan sayur bayam terus?” tanya Wati dengan ekspresi sedih. Sesungguhnya ia tahu, bukan hanya karena bosan tiap hari disuguhi sayur bayam hasil memetik di kebun belakang rumah yang membuat Husin tak selera, tetapi beban di kepalanyalah yang utama. Wati sangat tahu apa yang saat ini dipikirkan suaminya. Mata perempuan itu berkaca-kaca. Ia tak ingin Husin melihatnya, karena itu, buru-buru ia mengangkat bekas makan suaminya dan membawanya ke dapur. Di sana, ia mengelap matanya dengan ujung daster batik kumal yang dikenakannya.
Sementara Husin kembali ke teras. Kali ini dia berdiri mematung di ambang teras. Hujan sudah reda. Dari kejauhan terdengar suara kodok belentung bersahutan, riuh dan meriah. Berbanding terbalik dengan kampung yang sunyi dan temaram.
Husin memperhatikan sekeliling. Benar-benar sepi. Apalagi hujan, cuaca cerah pun orang-orang kampung lebih memilih tidur lebih awal ketimbang kumpul-kumpul di luar. Tak ada lagi anak-anak bermain petak umpet, mereka lebih senang duduk anteng di depan layar kaca menonton sinetron picisan. Pos ronda yang berada di ujung-ujung kampung senantiasa terlihat sepi. Kalaupun ramai, itu mereka tidak benar-benar jaga malam. Mereka sibuk merumus nomor untuk memasang angka dan membelinya kepada bandar judi togel.
“Aku tidur, ya, Mas,” ujar istrinya usai mematikan televisi.
Husin hanya menoleh. Dilihatnya perempuan yang sudah hampir empat tahun menemani hidupnya itu berjalan ke kamar sambil memegangi pinggang. Perutnya yang besar membuatnya seperti kesusahan berjalan. Husin menghela napas. Kehamilan ini sangat mereka nantikan. Namun, mereka tak pernah menyangka keadaannya akan sesulit ini.
“Bapak akan usahakan, Nak. Bagaimanapun itu,” gumamnya. Ia mengusap muka dengan kasar, kemudian berbalik masuk ke dalam rumah, mengunci pintu, lalu menyusul istrinya ke kamar.
***
“Mau ke mana, Mas?” tanya Wati ketika dilihatnya Husin sudah rapi seperti hendak pergi.
“Mau minta pekerjaan ke teman. Dia tukang bangunan, barangkali ada kerjaan.”
“Oh, hati-hati kalau gitu.”
Husin mengangguk, menyodorkan tangan kanan pada istrinya. Wati menciumnya takzim.
Sebenarnya bukan baru sekarang Husin mencari kerja. Sejak hari pertama jadi pengangguran, ia langsung berkeliling mencari lowongan pekerjaan. Akan tetapi situasi memang sedang sulit. Tak ada yang mau mempekerjakannya. Kali ini ia mencoba menemui beberapa temannya yang katanya sekarang berprofesi sebagai kuli bangunan. Barangkali dia bisa ikut. Namun nihil, dia sudah berkeliling, tapi ternyata teman-temannya itu tak bisa memberinya bantuan.
“Aku butuh uang cepat. Kalaupun dapat pekerjaan tidak serta-merta langsung dapat uang,” gumamnya saat keluar dari rumah salah satu kawannya. “Aku harus cari pinjaman.”
Husin berputar arah, tak jadi kembali ke rumahnya. Kini ia sambangi saudara-saudaranya yang sekiranya bisa membantunya. Sayang, nasib saudaranya pun tak lebih baik darinya. Husin pulang dengan tangan hampa.
Satu-satunya harapannya kini cuma Juragan Tarna. Tetapi Husin ragu, apa rentenir itu masih mau meminjaminya uang, sedangkan utang beserta bunga pinjaman enam bulan lalu saja masih belum terbayar. Bunga berbunga. Entah sudah berapa utangnya kini, Husin sudah tak sanggup lagi menghitungnya. Bahkan motor butut satu-satunya harta yang ia punya pun kini sudah diambil anak buah Juragan Tarna guna mencicil utang. Husin menggaruk kepalanya yang tak gatal, lalu memilih kembali ke rumah, tak jadi menemui Juragan Tarna.
Hujan turun tepat saat Husin tiba di rumahnya. Wati—yang seharian berdoa suaminya mendapat jalan keluar untuk masalahnya—menyambutnya dengan perasaan lega. Segera ia mengambilkan handuk untuk suaminya mandi. Setelah itu ia menyiapkan nasi beserta sayur bayam untuk makan malam.
“Gimana, Mas?” tanya Wati ketika mereka selesai makan malam ala kadarnya. Ia tahu, tanpa diperjelas pun suaminya paham akan maksud pertanyaannya.
Husin menggeleng. Wati langsung tahu apa arti jawaban suaminya. Kini ia bangkit, membereskan bekas makan punyanya dan Husin. Perutnya yang besar membuatnya kesusahan bangun dari duduk.
“Kalau capek biarin,” cegah Husin sembari memegang lengan Wati. Namun, istrinya itu tak menghiraukannya. Tetap ia bereskan piring-piring kotor itu.
“Jangan sedih, nanti aku cari jalan keluarnya,” kata Husin. Membuat Wati berhenti sejenak dari kegiatannya.
“Kamu fokus ke kesehatan kamu dan bayi kita, biar aku aja.” Husin tersenyum seraya menatap mata sayu istrinya yang kini berkaca-kaca. Wati menunduk sesaat, kemudian meneruskan pekerjaannya. Di dapur, sepanjang mencuci piring, air matanya terus-terusan mengalir tanpa bisa dicegah. Namun, ia tak mau suaminya tahu. Ia menangis tanpa suara.
Hujan kini menyisakan gerimis dan genangan air di mana-mana. Kodok bancet jantan berlompatan mengejar betinanya, kemudian kawin di atas rumput yang basah. Angin berembus membawa gigil menyelusup ke pori-pori. Wati sudah terlelap di kamarnya yang pengap dan apak. Mungkin sedang bermimpi menimang bayi merah menggemaskan berselimutkan kain bedung lembut beraroma telon. Sementara Husin, kini sedang mengendap-endap, berusaha mencungkil jendela rumah Juragan Tarna. (*)
Cikarang, 31 Maret 2021.
Inu Yana, ibu rumah tangga beranak dua. Mantan kuli pabrik yang bercita-cita menjadi penulis besar.
Editor : Lily
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata