Arwah yang Tertahan di Dunia (Terbaik 1 Event September)

Arwah yang Tertahan di Dunia (Terbaik 1 Event September)

Arwah yang Tertahan di Dunia

Oleh: Annisa

Terbaik 1 Event Loker Kata Bulan September

Semua orang tahu bahwa setiap yang bernyawa pasti mati. Namun, tidak banyak yang tahu bila beberapa dari mereka yang mati, belum benar-benar meninggalkan dunia ini. Setidaknya butuh waktu bagi mereka untuk terhapus sepenuhnya dari dunia. Aku tahu itu karena aku beberapa kali melihatnya. Seperti saat Kakek meninggal dunia. Setelah ia disemayamkan, arwahnya berada di rumah selama beberapa hari. Ia duduk di atas ranjang, di samping Nenek yang tengah berduka. Nenek tidak akan pernah tahu bila aku tidak mengatakannya. Sehari setelah kukatakan apa yang kulihat pada Nenek, barulah arwah Kakek menghilang.

Tidak hanya manusia, beberapa hewan pun mengalami hal yang serupa dengan Kakek. Kucing milik tetanggaku yang rumahnya hanya dibatasi oleh dinding setinggi bahuku, mati karena sakit. Setelah kucing itu dikubur, aku masih bisa menemukan arwahnya tengah tertidur pulas di atas kursi rotan yang berada di teras rumah pemiliknya. Arwah hewan berbulu putih itu akhirnya benar-benar pergi setelah tetanggaku memiliki peliharaan baru.

Aku belum mengetahui secara pasti alasan arwah-arwah itu tidak langsung pergi bersama jasad mereka yang terkubur. Apa mungkin karena mereka masih ingin hidup? Lalu setelah sadar bahwa segalanya tidak mungkin, barulah mereka pergi. Apakah begitu?

Sebenarnya, telah lama aku memutuskan untuk tidak peduli dengan arwah-arwah itu. Karena pada akhirnya mereka pun pergi. Selain itu, mereka tidak pernah mengganggu yang masih hidup. Tidak seperti makhluk halus yang bersemayam di pohon bambu dekat sungai, yang mengikutiku setelah aku tertangkap basah tengah menatapnya.

Namun, kali ini aku tidak bisa untuk tidak peduli. Karena, yang kusaksikan sekarang adalah arwah ayahku sendiri. Sudah lebih dari tiga hari arwah Ayah duduk di sofa. Sama seperti arwah yang pernah kulihat sebelumnya, Ayah hanya diam. Matanya menatap lurus ke arah televisi yang layarnya gelap.

“Ayah masih di sini?” tanyaku setiap harinya setelah bangun tidur. Hatiku terasa sesak karena ia tidak pernah menjawab pertanyaanku. Ah, menoleh saja ia tidak mau. Padahal saat Ayah masih hidup, ia selalu menggangguku. Ia selalu memperlakukan aku seperti anak kecil. Ia tidak segan menggendongku dan mengangkatku tinggi-tinggi. Sehingga tidak jarang ia terkena omelan Ibu.

Omong-omong tentang Ibu, beliau masih mengurung diri di kamar. Aku paham, ia pasti sangat terpukul dengan kepergian Ayah yang tiba-tiba. Ia berkali-kali mengatakan penyesalannya sembari sesenggukan.

Ayah terkena serangan jantung ketika menyaksikan pertandingan sepak bola di televisi. Dan Ibu merasa bersalah karena tidak mampu melihat gejala penyakit yang bersarang di jantung Ayah. Ah, mengapa pula aku hanya mampu melihat bocah botak yang berkeliaran di rumah kosong atau wanita berkulit pucat yang menyendiri di pohon bambu. Andai saja ketajaman mataku juga mampu melihat kuman dan bakteri, atau lemak yang menyumbat aliran darah di tubuh Ayah, mungkin ia tidak akan pergi secepat ini.

Aku membuang napas kasar sembari bersandar di sofa. “Aku senang masih bisa melihatmu, Ayah. Namun, aku tahu urusanmu di dunia telah selesai. Tidak ada yang bisa Ayah lakukan di sini. Jadi, apa yang bisa kulakukan agar Ayah bisa beristirahat dengan tenang?”

Lagi-lagi kuembuskan udara dari mulutku. Ayah benar-benar mengabaikanku. “Baiklah, setidaknya kedipkan mata Ayah, bila Ayah mendengar apa yang kuucapkan!” seruku.

“Kamu bicara dengan siapa, Karin?”

Suara yang terdengar lemah itu membuatku terkejut. Lantas aku berdiri dengan cepat. Mata Ibu yang berair menatapku dengan tajam. Mulutku seketika terkunci rapat. Ibu adalah alasan lain mengapa aku tidak mau lagi peduli pada arwah-arwah itu. Setiap aku bercerita tentang makhluk halus maupun arwah yang kulihat, Ibu selalu menunjukkan kekhawatiran yang berlebihan. Bukan tanpa sebab Ibu bersikap demikian. Saat masih remaja dulu, aku kerap kerasukan setelah melihat penampakan makhluk halus.

“Tenang, Bu, aku tidak sedang berbicara dengan makhluk halus, tapi arwah gentayangan.” Kata-kata itu meluncur dengan lancar dari mulutku. Aku pikir, Ibu harus tahu tentang apa yang kulihat.

“Hentikan itu! Lebih baik kamu bersiap pergi ke kampus.”

“Ibu! Apakah Ibu ingat setelah Kakek meninggal dulu? Aku melihat arwah Kakek di rumah,” kataku pelan-pelan.

“Lalu siapa sekarang? Dengan siapa kamu berbicara? Arwah ayahmu?”

“Aku sangat senang ketika melihat arwah Kakek. Aku bahkan menyesal telah mengatakan keberadaannya pada Nenek. Karena setelah itu, ia benar-benar menghilang.” Aku merapatkan diriku ke tubuh Ibu.

“Namun, entah mengapa, aku tidak tega melihat arwah Ayah di sini. Bukankah seharusnya ia beristirahat, Bu?”

Ibu menggeleng sembari mendorongku perlahan. Kulihat air matanya kembali menyeruak. Lalu ia berjalan mundur. Kemudian ia berlari kecil. Aku yakin ia kembali ke kamarnya, lalu menenggelamkan wajahnya lagi di bantal. Entah berapa liter air mata yang telah ia tumpahkan. Yang kuyakini, pasti bantal Ibu telah basah kuyup.

***

Baru sampai halaman rumah, kucium aroma terasi yang dibakar. Tentu saja aroma itu membuat cacing dalam perutku meronta-ronta, minta diberi makan. Lantas aku mempercepat langkah agar bisa segera mengisi lambungku yang belum diisi sedari siang.

Namun, aku memperlambat langkahku tatkala melihat Bibi tengah menyapu teras rumah. Bila ia yang menyapu, lantas siapa yang sedang memasak? Apakah tante-tanteku kembali ke rumah untuk menemani Ibu?

“Ibu yang masak, Neng. Alhamdulillah, cerewetnya udah balik, Neng,” kata Bibi. Kami pun tertawa. Lalu kulihat ke sekeliling. Pot bunga telah tertata kembali. Itu sangatlah indah, meskipun beberapa bunga ada yang layu karena tidak tersentuh tangan Ibu beberapa hari.

Aku pun bergegas masuk ke rumah. Aku hendak membantu Ibu memasak. Namun, lagi-lagi aku menghentikan langkahku. Sontak hidungku terasa pedih. Ayah sudah tidak berada di tempatnya. Sofa itu telah kosong.

“Kamu sudah pulang? Ganti baju dulu, terus kita makan bareng.”

“Siap, Bu!” kataku dengan lantang.

***

Lampung, 25 September 2023

Annisa, seorang wanita introver, pemalu, juga pendiam. Ia menulis untuk mengisi waktu luangnya. Itu lebih baik daripada waktunya habis untuk memikirkan hal yang tidak penting.

Event cerpen Loker Kata diselenggarakan di grup facebook Komunitas Cerpenis Loker Kata.

Grup FB KCLK

Leave a Reply