Arit

Arit

Arit
Oleh: Noery Noor/Bintang Timur

Juara 1 Tantangan Lokit 7

Kemarau panjang tidak hanya berdampak pada kehidupan manusia, tapi juga ternak pemakan tumbuhan. Tumbuhan telah lama sekarat, saat air sebagai sumber kehidupan tak lagi tersisa. Jangankan air, udara pun kini tak lagi ramah bersahabat. Di siang hari terik memanggang, di malam hari dingin menebas tulang. Bahkan di ketinggian 800 meter di atas permukaan laut ini pun, udara sejuk enggan menyapa, apalagi bercengkerama. Hanya tamparan lembutnya saja yang kadang dititipkan pada angin di kerimbunan dedauanan yang masih tersisa.

“Ke mana, Kang?” tanya Lasmi pada Klijo yang melenggang di depannya, saat terik masih memanggang. Perempuan itu masih leyeh-leyeh di bale-bale bambu di depan rumahnya.

“Ngarit Las,” jawabnya tanpa menoleh, hanya berhenti sejenak di tengah halaman.

“Se-siang ini? Masih terlalu panas, Kang. Tunggulah sebentar, sampai matahari tergelincir, hingga panasnya pun berkurang.” Lasmi bangkit dari rebahannya. Tangannya meraih kipas bambu lalu menggerakkannya pelan di depan dadanya yang ranum.

“Kau tahu kan, Las? Sekarang makin susah ngarit. Dua atau tiga jam kadang nggak cukup, jadi harus datang lebih awal. Desa lain juga sudah pada kekeringan, mereka ngarit di tempat biasa kita ngarit,” dalih Klijo panjang lebar.

“Las ngerti, Kang.” Perempuan itu kembali rebah di bale-bale depan rumah. Semilir angin siang membelai wajahnya yang coklat sawo matang karena sering terkena sinar matahari, dan dalam hitungan detik, perempuan itu pun telah terlelap.

Klijo melangkah melintasi halaman, lalu menghilang di kelokan jalan tanah selebar stopmap di depan rumah mereka. Ia melangkah menuju kebon tebu yang berjarak hampir setengah kilometer dari rumah mereka. Hanya tempat itulah yang saat ini menyisakan rumput liar dan ilalang untuk makanan ternak mereka.

“Las!” Sebuah sentakan membuat mata Lasmi terbuka dengan paksa. Perempuan itu menjadi gelagapan saat dilihatnya seseorang telah duduk tepat di ujung kakinya.

“Kau?” Mata bulatnya semakin membulat mendapati sosok lelaki lain yang duduk di sisi bale-bale tempatnya tertidur.

“Memang jam-jam seperti ini enak-e leyeh-leyeh. Tapi apa ya cukup kalau setiap hari hanya leyeh-leyeh terus seperti itu?” Tangan Nanto bahkan iseng menjentik ujung jempol kakinya yang berdebu.

“Kamu mbok jangan kurang ajar, to Nan! Cah nom kok iseng sama wanita bersuami, itu namanya ngrusak pager ayu.”

“Kadung tresna aku Las, mau bagaimana lagi.” Mata lelaki itu menatap di kejauhan.

“Prawan yang naksir kamu juga banyak, kok. Kaya kurang kerjaan saja nggangguin istri orang,” gumam Lasmi seolah pada dirinya sendiri. Ia sudah bangkit dengan sempurna. Memang, mereka pernah begitu dekat beberapa bulan berselang, sebelum akhirnya Lasmi menikah. Pernah Nanto menemui orang tua Lasmi dan mengatakan maksudnya untuk mempersunting gadis itu, tapi kedua orang tua Lasmi menolak.

“Kamu masih muda, carilah pekerjaan yang layak untukmu. Kami sudah punya calon untuk Lasmi.” Paidi, ayah Lasmi menolak lembut permintaan Nanto.

Nanto sangat kecewa. Lasmi sendiri akhirnya mengikuti keinginan orang tuanya, menikah dengan Klijo yang menjadi mandor di kebon tebu perbatasan desa.

“Cinta itu bukan sesuatu yang bisa dipindah-pindahkan begitu saja, Las. Meskipun kamu sudah berkeluarga, aku tetap cinta sama kamu. Bukan masalah bagiku bila saat ini belum bisa memilikimu.” Kata demi kata keluar dengan tenang dari bibirnya yang tak pernah tersentuh asap rokok. Wajahnya sekarang jauh lebih kelimis sejak ia diterima sebagai salah satu staf di Kantor Kepala Desa.

“Halah nggombal tenan, kamu, Nan. Tapi tak semestinya kita membicarakan itu lagi. Hubungan kita sudah berakhir. Sekarang saatnya bagimu mencari seorang pendamping yang layak buatmu,” keluh Lasmi.

“Aku maunya kamu, Las. Titik!” Lelaki itu bangkit, kemudian meninggalkan Lasmi yang ngedumel panjang pendek tidak jelas.

“Dasar cah gemblung!” rutuk Lasmi sambil beranjak memasuki rumah.

***

“Las, Nanto tadi datang lagi,ya?” tanya Klijo pada istrinya sore itu sepulang ngarit. Tangannya sibuk mencincang nangka muda untuk tambahan pakan ternak. Biasanya nangka muda sering dijadikan bahan sayur, namun sekarang lebih sering digunakan untuk pakan ternak. bonggol pisang, kulit kedelai, kulit kakao pun bisa jadi bahan makanan ternak, tak terkecuali daun bungkus tempe. Ibu rumah tangga rajin memilah sampah organik agar bisa digunakan sebagai bahan pakan ternak. Rumput seolah enggan tumbuh karena air tak lagi menyapa.

“Kau ini kan sudah bersuami, mestinya tidak ngeladenin dia lagi,” keluh Klijo tanpa menoleh.

Tangan kekar lelaki itu bergerak naik turun mengayunkan goloknya mencincang nangka muda menjadi serpihan-serpihan kecil. Hentakannya kadang begitu keras, seolah ingin melampiaskan seluruh kekesalannya. Mungkin ia berpikir, tubuh Lasmi atau tubuh Nanto yang tengah dicincangnya. Atau bisa jadi tubuh keduanya.

“Aku juga tidak ngeladenin, dianya yang datang. Masa mesti aku cuekin, nanti aku dibilang sombong, to Kang?” Lasmi merasa salah tingkah. Bagaimanapun ia sudah berusaha agar Nanto tak lagi terlalu dekat dengannya. Namun apa boleh buat, lelaki itu terang-terangan mendatangi rumahnya. Tadi pasti seseorang telah melihat mereka duduk berduaan di bale-bale depan rumah, lalu melaporkannya pada Klijo.

“Aku minta maaf, Kang,” pintanya mencoba menghentikan gerakan tangan Klijo yang naik turun mencincang nangka muda. Lelaki itu malah memperkuat ayunan goloknya pada tubuh nangka muda di depannya.

Klak!

Nangka muda itu terbelah menjadi dua. Saking kerasnya ayunan golok, sampai tertancap kuat di atas balok kayu yang dijadikan telenan untuk mencincang nangka muda.

Kengerian menyergap Lasmi, saat melihat rona kemarahan terpancar di wajah suaminya yang tampak merah padam. Sesekali gerahamnya berkeriut geram.

Wajah Lasmi pias dibuatnya. Titik-titik keringat dingin berkilauan di tempa cahaya matahari sore bertaburan di wajahnya yang pucat. Banyak kasus perselingkuhan dan kecemburuan yang harus berakhir dengan tragis. Pembunuhan atau bunuh diri. Hampir setiap hari layar kaca menayangkannya. Jangankan perselingkuhan, akibat kecemburuan yang tidak jelas pun sering berakibat fatal.

Lasmi menghela napas panjang.

Angin sore kali ini tak sesejuk biasanya, bahkan terasa panas. Namun masih lebih panas isi rongga dada sepasang suami istri muda yang baru beberapa bulan menikah itu.

“Seharusnya kita tidak menikah, Las. Aku tahu hatimu masih tertinggal pada Nanto itu, apalagi sekarang dia sudah mendapatkan pekerjaan yang lebih baik,” keluh Klijo.

Tangannya berhenti, setelah beberapa buah nangka muda telah selesai dicincangnya. Dengan gesit ia memasukkan ke dalam ember hitam yang sudah disiapkan Lasmi, mencampurnya dengan kulit kedelai dan dua gayung air.

“Mengapa Kang Klijo bicara seperti itu? Kita ini suami istri yang sah. Kurasa wajar ada masalah, dan mestinya kita bicarakan baik-baik,” sanggah Lasmi tak mau kalah.

“Hahahaha … kau pikir itu mudah, Las? Bisa jadi seumur pernikahan kita akan dipenuhi perselingkuhan, karena kamu tidak bisa melupakan mantanmu itu! Sudahlah tak perlu kita bahas lagi, aku malas!” Klijo bangkit, meraih arit di sampingnya.

Crash!

Besi tajam berkilauan itu terbenam di salah satu pohon pisang dekat kandang, lalu tumbang dalam hitungan detik. Akan seperti itukah nasib pernikahannya?

Kengerian kembali menyergap hati Lasmi. Perempuan itu semakin ciut nyalinya. Keheranan menggurat panjang di cerung hatinya. Bukankah dia yang mulai? Mengapa aku yang disalahkan? Itu salah satu kebiasaan buruk Klijo yang sering membuatnya geram.

***

“Kau tampak terpuruk, Las,” komentar Nanto saat Lasmi datang ke kantor desa mengurus perubahan data. Sekarang statusnya sudah menikah, bukan lagi gadis.

“Mengapa bukan suamimu yang ngurus? Harusnya kan dia?” celotehnya lagi tanpa menhiraukan pertanyaannya belum terjawab. Wajah perempuan yang dicintainya itu kini tampak keruh, tidak bersinar cerah seperti dulu.

“Atau kalian bertengkar?” tanya lelaki muda itu sambil menelengkan kepalanya.

“Iya …, dan itu gara-gara dirimu.” Lasmi terus terang, “Jangan ganggu aku lagi, Nan. Sebelum semuanya semakin buruk … aku tak ingin ada orang ketiga dalam rumah tanggaku.” Lasmi menangkupkan kedua telapak tangannya di wajahnya.

Helaan napasnya terdengar berat. Wajahnya menunduk, tidak berani menatap Nanto. Ia segera berdiri saat sadar beberapa pasang mata mengawasi mereka.

“Ini tidak akan pernah terjadi bila kau cukup sabar menungguku. Bagaimanapun sebuah pernikahan yang dipaksakan tidak akan membawa kebahagiaan, Las,” kata Nanto saat gadis itu hendak keluar ruangan.

“Kalau kau masih mencintaiku, jangan ganggu aku lagi, Nan. Kumohon …,” pinta Lasmi memelas. Ia menyempatkan diri menatap lelaki di depannya.

“Menjauhimu aku bisa, tapi melepaskanmu dari hatiku, aku tak kan pernah bisa!” tegas Nanto lagi.

Lasmi diam. Ia segera melangkah pergi, sebelum menjadi tontonan gratis bagi para staf dan perangkat di kantor desa ini. Pertemuannya dengan Nanto tak urung pasti akan menjadi berita besar dan bahan gosip paling lezat di desanya.

***

Lasmi sadar hubungannya dengan Klijo terus memburuk dari waktu ke waktu, meskipun keduanya sama-sama pandai menahan diri, sehingga tidak pernah terlihat cekcok. Mereka tampak rukun dan baik-baik saja, walaupun desas-desus kehadiran orang ketiga dalam kehidupan rumah tangganya terus menyebar tanpa terkendali. Seperti virus yang berkembang biak dan beranak pinak saat mendapat media tumbuh yang tepat.

Lasmi risih dengan tatapan dan dan senyum penuh cibiran setiap orang yang ditemuinya. Tapi mau berbuat apa? Banyak bukti yang menunjukkan dirinya memang memiliki hubungan khusus dengan Nanto, setidaknya di masa lalu. Nanto pun dengan terang-terangan mengumbar perasaannya dalam obrolan khas lelaki dengan para tetangga atau pemuda seusianya.

Sia-sia bagi Lasmi untuk menunjukkkan dirinya sebagai pihak yang tak bersalah.

Ia harus rela saat setiap malam Klijo menghabiskan waktunya di luar rumah dengan alasan ronda, atau yang lainnya. Lalu pulang saat tengah malam sudah lewat dan membiarkan dirinya meringkuk di sudut kamar, menahan serbuan dinginnya udara malam. Klijo selalu memilih sudut lain sebagai sudut aman bagi dirinya.

“Kang,” keluh Lasmi pada suatu malam.

“Tidurlah, besok aku harus berangkat kerja pagi-pagi di Sidoluhur,” katanya sambil menarik sarungnya. Terdengar gemeletuk giginya saling beradu karena menahan dinginnya udara malam. Kadang Lasmi berpikir, bukankah mereka bisa saling menghangatkan di saat seperti ini?

“Sampai kapan kita seperti ini, Kang? Aku sudah berusaha menjadi istri yang setia buatmu,” kata Lasmi pelan. Suaranya sedikit parau menahan sesak di dadanya.

“Sudahlah, tak perlu kita bahas. Bukankah aku pun tak pernah mempermasalahkan? Kita jalani saja. Aku tahu, aku hadir di antara kau dan Nanto,” suara Klijo sedikit keras. Lelaki itu terbaring di sudut yang lain, kaki keduanya bertemu hingga membentuk sudut sembilan puluh derajat.

Lasmi diam. Tak ada gunanya lagi ia bicara dengan Klijo tentang hubungan mereka. Sepertinya suaminya telah memikirkan yang lain.

“Lalu apa yang Kakang inginkan?” tanyanya lagi. Namun hanya yang dengkur suaminya yang menjawab di antara dendang serangga malam.

***

“Kau tahu Kang Klijo ke mana?” tanya Lasmi pada Warto yang ditemuinya di ujung jalan depan rumah. Tangan perempuan itu mengayunkan arit yang biasa digunakan Klijo untuk ngarit.

“Biasanya dia ngarit di bulak tebu sebelah selatan,” katanya sambil menunjuk arah selatan desa. Bulak tebu itulah yang memisahkannya desa Sidorejo dengan Desa Sidoluhur, tempat Klijo bekerja.

“Ada apa?” tanya Warto heran melihat perempuan itu membawa arit. Pasti sangat tajam, terlihat dari kilau yang dipancarkannya.

“Arit Kang Klijo ketinggalan, akan kususulkan,” kata Lasmi datar. Langkahnya terayun menuju bulak selatan desa. Tiga puluh menit perjalanan ia akan sampai di tempat itu.

Perempuan itu mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru bulak di depannya. Sejauh mata memandang hanya tampak kehijauan yang rata di lahan seluas hampir dua hektar. semilir angin yang bertiup membuat pucuk tebu bergoyang gemulai.

Di mana Kang Klijo ngarit? Tidak mudah menemukannya. Berteriak memanggilnya pun akan sia-sia dan percuma. Dia tak ‘kan mendengar teriakannya. Bisa jadi teriakannya malah akan mengundang beberapa orang dengan niat buruk.

Lasmi memang jarang membantu suaminya ngarit. Paling dia hanya membantu menyiapkan pakan ternak di rumah.

Langkahnya kembali terayun saat melihat rumpun-rumpun tebu bergoyang. Terlihat goyangannya cukup keras. tak seirama dengan pucuk tebu lainnya. Lasmi yakin itu bukan karena terpaan angin, tapi karena seseorang telah menyentuhnya.

Lima belas menit lamanya permpuan itu menerobos rimbunnya rumpun tebu mulai meninggi.

Bukan hanya langkahnya yang terhenti. Bahkan jantung dan aliran darhnya pun turut terhenti saat terdengar suara aneh di balik rerimbunan. Bukan hanya seorang, tapi dua orang! Desah-desah bersahutan yang membuat darah di seluruh tubuhnya tiba-tiba memanas dan mendidih.

Crash! Crash! Crash!

Beberapa kali tangannya mengayunkan arit di antara rumpun tebu di depannya, hingga beberapa batangnya berjatuhan. Rebah menimpa sepasang manusia yang tengah mencecap nikmat asmara. Terpapar jelas pemilik suara mesum itu, salah satunya Klijo.

“Kau Las?” Lelaki itu pucat saat membalikkan tubuhnya sambil menaikkan celana kolornya. Perempuan muda di sampingnya segera menurunkan dasternya yang tersingkap. Wajah keduanya tampak pucat. Ia tidak mengenal gadis itu, mungkin dia penduduk desa Sidoluhur, atau salah satu pekerja di kebon tebu ini.

“Aku tidak mengira, orang ketiga di antara kita ternyata dia, bukan Nanto. Kau tega memperdayaiku! Aku lega, Kang. Bukan aku yang berselingkuh, tapi kau,” katanya dingin sambil melemparkan aritnya ke arah keduanya.

Kecurigaannya telah lama tersimpan di benaknya. Beberapa kali Lasmi menemukan bercak cairan lelaki itu di celana dalamnya saat ia mencuci, namun memang hanya disimpannya dalam hati. bagaimanapun ia tak punya cukup bukti untuk menuduh suaminya berselingkuh.

Terdengar jerit ngeri perempuan itu, juga teriakan Klijo, tapi lemparan yang cukup jitu tak sampai melukai keduanya. Arit itu menancap tepat di antara kepala kedua manusia itu, bukan di tubuh mereka!

Sempat terlintas di pikiran Lasmi untuk mengakhiri hidup keduanya, tapi ia sadar, itu tak akan menyelesaikan masalah yang ada. Sempat pula terlintas wajah Nanto di angan Lasmi, namun segera di tepisnya.

Hah! Akan sama saja jadinya bila ia berharap lelaki itu akan menyembuhkan laranya. Setidaknya selama ini dia sudah berusaha menjaga dirinya dan hatinya agar tak ada orang ketiga bagi dirinya dan suaminya. Memang terasa menyakitkan saat sebuah kesetiaan telah kita jaga namun dikhianati.(*)

Biodata Narasi :

Noery Noor/Bintang Timur, seorang ibu rumah tangga. Penyuka aroma petrikor, kemuning dan melati.

Catatan :
Arit: Sabit
Ngarit: menyabit rumput untuk makanan ternak.
Leyeh-leyeh: tiduran, rebahan
Cah nom: anak muda
Ngrusak pager ayu: merusak rumah tangga orang
Kadung tresna: terlanjur cinta
Cah gemblung: anak gila–dasar gila
Bulak: padang rumput

Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang diadakan di Grup KCLK

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata