Arang yang Tak Diharapkan
Oleh : Rosi Ochiemuh
Ang, panggilan yang disematkan neneknya dari perpanjangan namanya, Arang. Entah kenapa kakeknya memberi nama itu. Tanpa nama belakang misalkan nama bapak, kakek atau ibu seperti nama temannya di sekolah. Hanya satu kata; Arang.
Warna kulit bertolak belakang dengan makna namanya. Kulit seputih batu pualam, bermata seperti elang, rambut hitam lebat dan dua bola matanya yang kecokelatan. Menegaskan betapa tampannya Arang. Orang banyak mengatakan, bahwa Arang pemuda yang menarik.
“Untuk apa kamu bertanya terus,” ujar neneknya suatu hari, saat pemuda tersebut mengulang pertanyaan tentang dirinya sendiri berkali-kali.
Anak itu anak laki-laki yang kuat. Kekuatan fisiknya sudah terpancar di usia delapan tahun. Tubuhnya paling bongsor di antara sebayanya. Sudah bisa membantu membawakan kayu bakar satu pikulan untuk neneknya dan menjinjing setengah karung sayuran yang akan dijual neneknya di pasar.
Apalah arti sebuah nama, kata neneknya. Jika nama yang sudah bagus saja tidak bisa menangkal keburukan yang datang padanya. Memang, serupa nasib ibunya Arang, selepas melahirkan, gantung diri. Annisa yang terkenal polos dan adiluhung itu melakukan bunuh diri. Perbuatan paling buruk dalam semua agama. Ruh dan jasadnya tidak akan diterima bumi.
Masih teringat di benak Ang, percakapan yang masih membuat batinnya terusik. Percakapan kakek dan neneknya sepuluh tahun lalu sebelum kakeknya wafat dihajar penyakit batuk kronis sebulan penuh.
“Seandainya anak itu diberi nama, Ahmad, Ali, Amir, atau Abidin, Pak. Asalkan jangan diberi nama Arang. Pasti dia tidak jadi ejekan teman sebayanya.”
“Nama itu sesuai! Atas apa yang dilakukan ibunya!”
“Ya Allah, Pak. Masih belum juga kamu maafkan Annisa. Puteri semata wayang kita? Hanya Ang, putra Annisa satu-satunya garis keturunan kita.”
“Aku masih tidak sudi! Karena rasa kemanusiaan saja, aku masih mengurus anak itu. Bahkan lihatlah fisiknya, dia tidak mirip kita. Mata dan kulitnya persis orang luar sana!”
“Teganya kamu, Pak! Aku tetap menyayangi mereka, anak dan cucuku. Ang satu-satunya harapanku!”
Tersentuh hati Arang pada ucapan terakhir neneknya yang sungguh memilukan. Apa yang telah dilakukan ibunya sampai Kakek begitu benci padanya? Dia pun selalu bertanya terus kenapa Kakek membencinya. Apalagi sejak dia lahir, belum pernah tahu siapa bapak kandungnya atau di mana dia berada. Saat Arang bertanya tentang itu, kakeknya akan berteriak.
“Jangan banyak tanya! Masih bagus kalau kamu hidup dan kami besarkan!”
Sedangkan jika dia bertanya pada neneknya, neneknya itu akan menangis panjang sampai setengah hari tak bicara.
Dia pernah disukai anak gadis di tempat tinggalnya. Anak lurah, waktu itu usianya menginjak tujuh belas tahun. Sedangkan anak lurah itu lebih tua lima tahun darinya. Ketika kabar angin itu tersiar satu kampung, saudara lelaki gadis itu menemuinya dan langsung memberi bogem-mentah pada muka, perut, dada dan punggungnya. Nenek menangis terus mendapati Arang babak belur.
Sejak itu Arang berusaha menjauhi perempuan yang menyukainya. Baik terang-terangan maupun diam-diam. Meski begitu, dia tetaplah laki-laki normal. Menyukai lawan jenis dengan cara diam-diam pula. Kepada Juriah, anak tetangga yang selalu mengantarkan lauk dan sayur matang ke rumahnya. Wajahnya biasa-biasa saja, tidak cantik dan tidak pula jelek.
Juriah anak piatu. Sejak kecil ibunya meninggal dunia saat melahirkan adik bungsunya. Sayang, Juriah kadung disebut perawan tua oleh warga sekitar. Karena usia yang sudah menginjak kepala tiga. Jarak usia Arang dan Juriah terpaut sepuluh tahun. Tapi Arang sangat mengagumi Juriah dari sisi mana pun.
Perempuan itu satu-satunya perempuan yang baik, ramah dan polos. Meski sudah dewasa. Juriah anak yang berbakti pada bapaknya. Adiknya diurusnya sejak kecil. Juriah mungkin terlalu sibuk mengurus bapak dan adik laki-lakinya yang sudah duduk di bangku sekolah menengah pertama. Hingga dia lupa menikah, lupa jika dia juga perlu bahagiakan dirinya. Namun, Arang tetap mengagumi Juriah.
Arang selalu datang ke rumah Juriah sekadar meminjam cangkul, arit, sambil menanyakan kabar bapak dan adik lelaki Juriah. Lantas mengajak adiknya bermain gundu di halaman rumah.
Suatu hari hal buruk datang. Hal yang ditakuti Arang terjadi. Neneknya terserang sakit keras, batuk-batuk yang selalu datang tiap malam. Badan berkeringat dingin, dan muntah-muntah setelah batuk parah. Arang mengurus neneknya dengan tekun. Seperti saat neneknya dulu mengurus kakeknya yang sakit parah. Dia ingat, dan tak pernah menyimpan dendam pada kakeknya. Dia juga mengurus pemakaman kakeknya dibantu warga setempat.
Sejak saat itu, setiap hari Arang mengurus neneknya dan segala keperluan neneknya. Sampai dia tidak berdagang sayuran, tidak memancing selama beberapa hari. Uangnya makin menipis. Kemudian Juriah dan bapaknya datang ke rumah. Arang merasa gugup sekaligus bahagia. Dua rasa berlawanan jadi satu di hatinya. Juriah membawakan makanan hangat, sup ayam tanpa minyak dan merica untuk neneknya.
“Bagaimana perkembangan nenekmu, Ang?” tanya bapaknya Juriah
“Semakin memburuk, Pak,” jawabnya lesu. Namun hatinya sedikit terhibur dengan kehadiran Juriah.
“Ang, kemarilah, nenekmu sepertinya ingin mengucapkan sesuatu,” ujar Juriah tiba-tiba risau.
Pemuda itu mendapati wajah neneknya menunjuk pada lemari pakaian milik neneknya. Menunjuk sebisanya dan berucap lirih, “Ang, kamu ambil buku harian di dalam lemariku. Buku itu milik ibumu. Kamu ingin tahu, siapa ibu dan bapakmu sebenarnya?”
Arang mengangguk. Dia menoleh pada Juriah dan bapaknya. Tanpa diduga, bapak Juriah pamit pulang mendadak ada keperluan tentang pekerjaannya di pasar. Juriah diminta menemani Arang. Pemuda itu merasa bungah campur khawatir jika kesedihan yang bercampur bahagia akan membuat jiwanya khilaf.
Lantas dia membuka lemari yang ditunjuk oleh neneknya dan mencari buku harian itu. Buku itu langsung ditemukan. Buku tulis kecil bersampul beludru warna merah marun. Tertulis di depan sampulnya, Annisa. Mengertilah dia, bahwa pasti suatu saat neneknya akan memberikan jawaban tentang asal-usulnya dan kenapa dia diberi nama Arang.
“Ang, jika kamu sudah membaca buku harian ibumu, apakah kamu masih menyayangi Nenek dan mendiang Kakek? Masihkah kamu mencintai Nenek yang renta ini?” ujar neneknya lirih. Suaranya serak bercampur dahak di tenggorokan.
Arang mengangguk. Bagaimanapun pahitnya kenyataan yang dia terima selepas baca buku harian itu, dia harus berlapang dada. Kenyataannya, Nenek dan kakeknya yang merawat dan membesarkan dia sejak kecil.
Gadis matang di sebelahnya ikut terharu suasana dari kedua pandangan yang berkaca-kaca. Juriah berusaha menghibur pemuda itu dengan senyum dan perkataan yang memenangkan.
“Kamu tetaplah jadi pemuda baik, Ang. Jangan pernah berubah selepas mengetahui jati dirimu yang sebenarnya. Jujur, sejak dulu aku menyukaimu, tapi aku malu karena usia kita terpaut jauh.”
Gayung bersambut, perasaannya terhadap Juriah terbalas tanpa diminta. Arang tersenyum bahagia sembari membuka buku harian milik ibunya. Satu persatu halaman dia baca saksama. Juriah masih menemani neneknya di peraduan. Sampai selesai semua dibacanya hingga di akhir halaman buku itu selesai. Ditutupnya buku itu. Dia menarik napas panjang karena telah sesak.
Bulir-bulir air mata jatuh satu demi satu. Tahulah apa yang terjadi dengan pemuda itu, pikir Juriah dan sang nenek.
“Terima kasih banyak. Nenek sudah mengurusku sejak bayi sampai sekarang ini. Terima kasih banyak, Nek,” ucap Arang tiba-tiba sesenggukan menciumi punggung tangan neneknya berkali-kali.
“Jujurlah pada Nenek, apa yang kamu rasakan. Mengapa harus seperti ini?”
“Jika aku jujur dengan perasaanku, apakah waktu bisa kembali ke masa lalu untuk memperbaiki keadaan kita semua, Nek. Termasuk mendiang Ibu dan aku?”
Neneknya tercenung. Juriah menahan ibanya, diam-diam dia menangis dan mengagumi Arang.
“Sekarang aku jujur dalam hal lain, Nek. Bahwa aku sudah lama jatuh hati pada seorang gadis. Usianya lebih tua dariku. Sekarang dia ada di hadapanmu, Nek. Aku mau menikahinya. Apakah boleh?” Seketika rona wajah Juriah merah jambu, dan neneknya terperangah.
“Menikahlah dengan pilihanmu. Sebentar lagi aku akan pergi jauh. Jangan lupa, kamu harus meminta dia pada bapaknya, Arang. Apa pun dirimu, Nenek selalu sayang.”
Kedua mata mereka semua basah. Pemuda itu sejak dulu memiliki batin yang peka. Selalu bisa merasakan apa yang dirasakan neneknya.
Arang menggenggam tangan Juriah, gadis yang lebih tua darinya itu. Dia merasa, hidupnya harus jelas dan berubah. Wajahnya yang rupawan tak akan bisa membuat panggilan namanya jadi indah. Namanya tetap Arang. Lahir dari kepedihan yang tersiksa dari seorang perempuan yang diperkosa oleh majikannya di negara Taiwan.
Air matanya setiap kali akan menetes dan berubah jadi gumpalan sesak. Manakala dia mengingat tulisan dalam buku harian ibunya. Bahwa dia ada bukan atas dasar pernikahan dan cinta tapi dari kebencian, dan penderitaan seorang perempuan. Namun, Arang sudah jadi sosok yang perasa dan penuh cinta pada perempuan termasuk neneknya sejak lahir.
Malam yang sunyi, setelah semua rahasia telah dihapuskan dari masa lalu seseorang. Arang menyadari detik-detik kepergian orang terpenting dalam hidupnya. Neneknya mengembuskan napas terakhir selepas azan Isya berkumandang.(*)
Rawamaju – Cikarang Barat, Oktober 2021.
Rosi Ochiemuh bernama asli Rosi Jumansari. Lahir di Kertapati-Palembang, 14 Maret. Ia berdomisili di Cikarang Barat. Beberapa karyanya, kumcer bertajuk Sesuatu di Kota Kemustahilan (LovRinz Publishing 2018). Novel Rumah Amora, LovRinz Publishing 2019. Novel Bulan Madu Pengantin, LovRinz Publishing, 2020. Tulisan fiksinya banyak dimuat pada belasan antologi event dan koran.
Editor: Imas Hanifah N
Gambar: Pixabay
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/me.jadi penulis tetap di Loker Kata