Arah Angin (Episode 9: End)
Oleh: Lutfi Rose
Semua terjadi begitu cepat. Wanita itu tiba-tiba saja sudah berdiri di ambang pintu. Hatiku? Entah! Bagaimana menggambarkannya. Ini bukan marah, tetapi sedih yang amat dalam. Sebuah penyesalan, seolah akulah penyebab semua kekacauan ini. Kucoba menetralisir jantung yang berdetak, membuat ritme yang terdengar keras di telingaku, seolah akan menabuh genderang peperangan.
Tanganku yang masih tergenggam dalam telapak tangan Angin seakan terhempas. Gadis itu naik pitam, sumpah serapah begitu saja meluncur dari mulutnya, ayahnya mencoba mencegah, tapi sepertinya itu sia-sia. Aku ingin bicara tapi mulutku seolah terkunci rapat, tak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun.
Belum habis kekagetanku, ketika dengan langkah yang terburu-buru Nilam menarik paksa tangan wanita itu dan membawanya keluar ruangan. Disusul dengan teriakan kalimat mengusir Angin pada ayahnya.
“Angin?” akhirnya aku membuka suara. “Kemarilah, nak!” Kulambaikan tangan ke arah putriku yang menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan setelah membanting pintu dengan keras. Bahunya terlihat naik turun, sesenggukan.
Dia meraih tanganku, memaksakan diri untuk tersenyum. Tampaknya dia berharap aku tidak akan bersedih. Andai dia tahu, aku sangat mengenalnya dan paham perasaannya saat ini. Dialah pihak yang paling kesakitan di antara kami. Bagaimana melewati waktu yang begitu berat, nyaris kehilangan ibunya dan kini sudah jelas dia akan kehilangan ayahnya. Baru aku sadari, seandainya Tuhan tak memberiku kesempatan kedua, entah apa yang akan terjadi pada Angin. Dia akan menjadi yatim piatu dalam waktu yang hampir bersamaan.
“Ibu sedih?” tanyanya kemudian.
“Tidak pernah sebahagia hari ini, karena Ibu baru sadar betapa kamu menyayangi Ibu.”
“Ibu ….” Dia berdiri dan memelukku. Aku membalas pelukannya, mencoba menyimpan sesuatu yang ingin keluar dari kedua mataku. Aku tak ingin lagi melihat anak gadisku menangis. Sudah! Semua sudah cukup.
“Apakah Ibu tak ingin marah pada lelaki itu?” tanya Angin.
Aku menggeleng, memberikan senyum dan berharap dia tidak berpikir ini adalah senyum keterpaksaan. Aku sudah lebih ikhlas dengan semua yang terjadi. Tuhan sudah terlalu baik atas hidup yang aku punya, ditambah lagi sebuah kesempatan kedua untukku—bisa merawat anakku dan menunaikan tugas yang belum terselesaikan di kehidupan yang hampir kuakhiri.
“Maafkan ibumu ini, Nak. Pasti berat untukmu. Tak seharusnya remaja di usiamu menghadapi masalah seperti ini. Maafkan kami,” bisikku di telinganya.
“Kenapa, Ibu? Kenapa Ibu selalu diam? Apakah Ibu akan memaafkan laki-laki sepengecut itu? Laki-laki yang sudah mengkhianati Ibu, Laki-laki yang hampir menyebabkan Ibu pergi meninggalkanku.” Angin melepas pelukannya. Kemarahan kembali berkobar di matanya.
“Laki-laki itu ayahmu, Angin.” Aku menepuk telapak tangannya berusaha menenangkan.
“Ayah yang tidak bertanggung jawab,” kilahnya.
“Tidak sepenuhnya seperti itu. Ayahmu hanya tersesat. Mungkin ini saatnya dia akan pulang. Ketika lelaki merasa hidupnya tercukupi, memiliki kekuasaan besar, akan banyak wanita-wanita yang mendekati. Itu hukum alam, Nak, sekaligus naluri lelaki. Dan Ibu lupa akan hal itu, seharusnya Ibu bisa mencegahnya. Sayangnya … Ibu sibuk menjadi ibumu dan lupa bahwa Ibu juga seorang istri.” Kutarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir sesak yang secara tiba-tiba menyergap.
“Jika benar ayahmu adalah lelaki yang tidak bertanggung jawab, kamu tak akan bisa tumbuh secantik ini, kita akan menjadi keluarga miskin yang tinggal di sebuah gubuk seperti saat kamu masih bayi. Semua yang ada pada kita adalah hasil keringat ayahmu, Nak,” lanjutku.
Sesaat suasana sepi. Angin menunduk tampak berpikir. Mungkin ini terlalu cepat dan tak adil. Apalagi jika harus memaksa dia langsung memahami apa yang aku sampaikan.
“Izinkan ayahmu pulang, Nak. Kamu dan Ibu adalah rumahnya, rumah yang hangat, yang akan tetap selalu dirindukan untuk pulang. Bukankah selalu ada kesempatan kedua?”
Angin tidak memberikan jawaban apa pun. Dia tertunduk sambil menggenggam tangan kananku. Berat. Dia butuh waktu.
**
Aku terbangun ketika mataku silau oleh mentari pagi yang masuk di antara sela jendela kamar. Aku baru menyadari ada seseorang yang membuka tirai jendela yang kukira itu adalah Angin.
“Kamu sudah bangun, Diajeng?” suara yang begitu akrab di telingaku. Aku menoleh dan dia tersenyum.
“Ternyata masih kau ingat panggilan itu, Mas?” ucapku.
“Aku tak pernah melupakannya, nama itu selalu tersimpan rapi di dada ini.”
“Kau simpan namanya tapi kau buang pemiliknya.”
Tak kudengar suaranya menimpali ucapanku. Ah! Sudahlah. Aku membenahi rambutku yang berantakan. Saat aku hendak mencari sesuatu untuk mengikat rambutku, dia telah duduk di sampingku, di pinggir ranjang, mengulurkan sebuah sisir tanpa mengatakan apa pun. Sejurus kemudian menyeka wajahku dengan waslap di tangannya.
“Aku bisa sendiri, tak perlu menyentuhku!” ucapku ketus.
“Biarkan kali ini saja, jika memang kamu tak mau memaafkanku, setidaknya biarkan aku melakukan sekali saja. Untukmu.”
Dia tak mendengarkanku, tetap saja dia melakukan semua yang ingin dia lakukan. Selesai menyeka wajahku, dia meraih sisir di tanganku, lalu menyisir rambutku dan mengikatnya dengan sebuah karet ke belakang.
“Makanlah! Suster sudah mengantar makanan dari tadi. Sebentar, biar aku siapkan.” Tangannya cekatan membuka plastik penutup piring dan mangkuk di sebuah nampan, lalu kembali mendekat.
“Aku suapin.” Dia berucap, bukan untuk meminta izin tetapi itu sebuah perintah. Dia memang tak pernah berubah, pemaksa.
“Terserah!”
“Bagus, kamu harus menghabiskan semua makanan ini jika kamu ingin Angin tak terus mengkhawatirkanmu.”
Aku tetap diam. Ternyata saat menjadi pecundang pun dia masih tetap diktator.
Beberapa menit dia mulai berbicara lagi, “Maafkan aku … aku lalai pada janjiku. Akan terlalu mellow jika kukatakan aku khilaf. Semua terjadi terlalu cepat. Ya! Dia punya banyak cara membuat aku jatuh dalam pelukannya.”
“Dan itu yang kamu mau.”
“Tidak untuk saat ini. Aku menyesal, sungguh menyesal. Maafkan aku, Diajeng.”
“Kamu masih ingat saat dulu kita sering berdebat tentang Rahwana?” tanyaku sambil terus mengunyah makanan yang dia suapkan. “Kamu selalu mengejekku karena begitu kagum dengan tokoh Rahwana. Setiap kamu mengejek, tiap kali itu pula aku tetap bertahan dengan keyakinanku. Kamu tahu kenapa aku begitu suka dengannya?”
“Kamu hampir tak pernah mau menjelaskan,” katanya sambil mengangsurkan suapan yang ke sekian.
“Rahwana. Meski dia raksasa, dia memiliki kesetiaan yang begitu sempurna. Bagaimana dia terus berjuang hingga titik darah terakhir, demi wanita yang dikasihinya. Sedangkan Rama, tokoh yang kamu puja sebagai seorang pangeran yang bijaksana, nyatanya dia meragukan istrinya,” aku menarik napas dan membuangnya sebelum melanjutkan kalimatku, “aku tak ingin menjadi Rama yang meragukan kesetiaanmu, Mas. Sayangnya … kamu tak bisa menjaga kepercayaanku.” Aku mengusap dahiku, lelah. Ada perih hadir bersama desiran di dadaku.
“Apakah itu berarti tak ada kesempatan kedua?” tanyanya.
“Tuhan saja memberi maaf meski seberapa besar pun dosa makhluk-Nya. Lalu apa hakku tak memberikan kesempatan kepadamu?” Aku bicara sambil terus mengunyah suapan terakhir sebelum suamiku merapikan dan meletakkan piring kembali ke tempatnya.
Aku memang marah tapi sungguh aku sangat merindukannya. Meski cinta bukanlah satu-satunya alasan aku mempertahankan keluarga ini, tetapi karena cintalah aku masih bertahan. Jika kesempatan kedua diberikan Tuhan kepadaku, tidak menghempaskanku ke dalam neraka, karena telah memaksa malaikat maut mencabut nyawaku, mungkin itu pertanda dari Tuhan agar aku pun memberikan kesempatan kedua kepadanya.
“Aku memaafkanmu, Mas. Ambillah kesempatan kedua ini. Meskipun aku yakin, gelas yang telah pecah tak mungkin kembali utuh sempurna setelah kembali kita rekatkan.”
Aku tahu ini terlalu cepat, bagaimana jika lelaki di hadapanku ini mengingkari janji? Argh! Sudahlah. Bukankah cinta itu seperti air, kadang tenang dan kadang beriak. Air itu menyejukkan namun bisa juga memusnahkan. Air tak bisa digenggam, semakin erat kita menggenggam semakin luruh air itu dari tangan kita. Kita harus membentuk tangan serupa cawan, cekung dan tanpa penekanan, maka air akan diam tenang di dalamnya. Dan begitulah cinta.
“Terima kasih, Diajeng,” serunya penuh semangat memegang tanganku.
“Tetapi ada syarat yang harus kamu penuhi, Mas!”
**
Malam yang riuh. Sebuah pemanggang menyala dengan api yang cukup meletup-letup, dua orang gadis sebaya bercengkerama sambil tertawa riang tanpa beban. Sebuah meja marmer besar dipenuhi lilin hias dan sebuah bakul besar di salah satu sisinya, juga sebuah cobek besar dengan sambal tomat yang menggoda selera di atasnya, irisan mentimun, beberapa lembar selada di pinggirnya, makin menggugah rasa lapar.
“Malam yang indah,” gumamku sambil duduk di kursi di teras belakang rumah.
“Semua karenamu, Diajeng. Terima kasih.”
Lelaki itu duduk berjongkok di samping kursiku, meraih tanganku dan mengecupnya. Hangat … ada aliran lembut yang merayap ke seluruh aliran darahku. Sejujurnya aku merindukannya, sangat merindukannya.
“Tak ada yang lebih membahagiakan, ketika aku terjaga dan ada dua putri di rumah ini.”
Tak terasa air mata menetes dari kedua mataku, tapi bukan karena sakit hati.
Lelaki di sampingku berdiri, mendekat dan makin mendekat. Setelah sekian lama akhirnya aku bisa menghirup aroma khas ini, hangat—dalam sebuah dekapan.
“Ayah, Ibu, ayo sini! Ayamnya sudah matang!” suara Nilam membuyarkan imajinasiku. (*)
TAMAT
Episode 8 (sebelumnya)
Lutfi Rose. Seorang ibu yang tak kan pernah mau bersahabat dengan rasa malas. Semua pasti bisa dilakukan meski perlahan.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata