Arah Angin (Episode 8)
Oleh : Uzwah Anna
POV Nilam
Semua mata menatap ke arah perempuan yang baru saja mengetuk pintu dan masuk. Wajahnya sembap karena tangis. Dia menunduk seperti orang ketakutan.
“Tante Puspa?” ucapku kaget, pun tak menyangka dia datang kemari. Punya nyali juga wanita itu.
“Puspa …,” lirih ayah Angin. Suaranya nyaris bersamaan denganku. Matanya membelalak. Pria itu, sama halnya sepertiku, terkejut! Lantas tatapannya berpindah ke Angin dan Bibi Sekar, bergantian. Rautnya bingung.
Sementara Angin hanya terdiam. Benar-benar diam. Bahkan gadis keras kepala itu langsung berhenti dari tangis dan ucapan sesal atas dirinya pada wanita yang kini sedang terbaring lemah, Bibi Sekar.
Suasana tiba-tiba senyap.
Angin melepas tangan Bibi Sekar dari genggamannya. Melangkah gontai, lantas dia berjalan mendekati Tante Puspa yang berdiam diri di depan pintu—dia tak berani melangkah lebih jauh dari tempatnya berdiri sekarang.
“Mau apa kau kemari, Wanita Sundal?” ucap Angin menahan amarah. “Belum puas kau melihat keadaan ibuku seperti sekarang, heh?” suara Angin mulai tak terkendali. “Atau kau ingin melihat wanita yang di sana segera mati agar kau bisa merebut pria ini darinya!” Angin berteriak seraya menunjuk ke arah Bibi Sekar dan ayahnya sendiri. Matanya kembali berair, tetapi tatapannya nyalang.
“Angin. Kendalikan dirimu. Jangan marah-marah di sini. Ini rumah sakit. Kau bisa mengganggu kenyamanan pasien lain,” pinta ayah Angin mencoba meredakan emosi putri tunggalnya.
Namun … bukannya mereda, kata-kata yang keluar dari bibir pria tersebut justru semakin memantik emosi gadis keras kepala itu.
“Oh … jadi begini sikap Ayah. Seharusnya sejak tadi aku sadar, kekhawatiran Ayah hanya sekadar kepura-puraan belaka.”
“Angin, tolong jangan memancing kemarahan Ayah. Ayah hanya tak ingin kamu marah-marah di sini. Ini rumah sakit. Kau mesti sadar itu!” ucap pria bertubuh tegap itu lirih namun penuh penekanan.
“Siapa yang memancing, Ayah atau aku? Di saat seperti ini, aku dan Ibu sangat membutuhkan Ayah. Tapi kenapa Ayah justru membela wanita ini?”
“Angin, ayah tak membelanya. Hanya saja ….”
Belum beres ayahnya membela diri, namun Angin segera memotong.
“Ah, sudahlah. Ayah dan wanita sundal ini tak ada bedanya. Kalian sama-sama bajingan!”
“Angin!” Hampir saja ayah Angin menampar putrinya.
Namun, bukannya takut, Angin justru menantang. Dia menyodorkan pipinya.
“Apa? Ayah ingin menamparku lagi. Tampar saja. Ayo tampar! Tampar! Kalau mau … bunuh aja sekalian, biar Ayah puas!”
Ayah Angin membeku dengan tangan masih di udara—posisi siap menampar. Wajahnya memerah. Rahangnya bergemeretak menahan amarah. Mengembuskan napas, lantas dia menurunkan tangan seraya mengepal.
“Kenapa sekarang Ayah tak berani menamparku?” Angin masih memprovokasi. “Kenapa? Ayo lakukan!”
Ayah Angin membuang muka, mengendalikan emosi.
Aku tak ingin masalah semakin melebar. Jadi, tanpa kata-kata, langsung saja kucengkeram tangan Tante Puspa lantas menyeretnya ke luar ruangan.
Aku sudah tak peduli dengan apa yang akan terjadi antara Angin dan ayahnya. Aku sendiri merasa terbebani oleh masalah ini. Malu dan kalut.
Setelah beberapa langkah menjauh dari ruangan tersebut, terdengar teriakan Angin mengusir ayahnya lantas membanting pintu. Aku sempat menghentikan langkah, melihat apa yang terjadi di belakangku. Pria itu terlihat frustrasi lantas menghempaskan diri di kursi yang berjajar di luar kamar pasien.
***
Daun trembesi—yang telah menguning—berguguran sebab diembus angin malam. Lembar per lembar jatuh berceceran di atas aspal. Beberapa mengenai bahuku, juga … bahu Tante Puspa. Aku tak tahu mesti mengajaknya ke mana untuk mengobrol. Otakku kacau. Jadi, kuturuti saja langkah kaki. Kulepaskan cengkeraman pada tangan kanannya tepat di bawah lampu taman. Malam sudah terlalu larut. Tak ada orang lewat sini. Pun tak ada kendaraan yang berseliweran. Satu-satunya yang mengisi kekosongan malam ini hanya krik-krik jangkrik. Memang agak aneh, di wilayah perkotaan seperti ini masih ada jangkrik—karena biasanya jangkrik erat kaitannnya dengan sawah. Sementara di sini sangat jauh dari area persawahan. Jangkrik itu … entah sungguhan atau jadi-jadian. Aku tak peduli!
“Nilam, maafkan Tante,” ucap wanita itu dengan suara parau. Beberapa kali dia mengusap air mata yang jatuh ke pipinya.
Kuembuskan napas kuat-kuat. Mencoba mengeluarkan seluruh amarah yang menyesaki dada.
“Tante tahu, Tante salah ….”
Aku masih diam. Membiarkan angin mengelus-elus leher dan mengibarkan rambutku yang tak terikat.
“Tapi Tante mohon, jangan hukum Tante dengan mengabaikan Tante seperti ini. Bicaralah, Nilam. Jika kau ingin marah, marah saja. Tapi tolong jangan berdiam diri seperti itu ….”
Padahal kata-katanya kalem, mendayu-dayu dan memelas. Namun entah kenapa, aku merasa kalimatnya seperti cemeti yang sengaja memprovokasiku.
“Oh … jadi kau masih mengaku sebagai tanteku? Masih punya muka untuk mengakuiku sebagai keponakanmu?” Entahlah ke mana sopan santun yang selama ini diajarkan oleh orangtuaku dan Bibi Sekar. Aku merasa semuanya telah menguar seiring gerakan angin malam di taman ini. “Bukankah kau sudah lama membuang cecunguk yang hina ini? Lantas … kenapa sekarang tiba-tiba peduli padaku?”
“Nilam … bagaimanapun kau tetap keponakanku. Putri dari kakak kandungku,” ucapnya, masih terisak.
“Hah …! Oh, ya?” Tubuhku menggigil karena tawa, tawa sarkastik. Menahan sebuah rasa … sakit! “Jika aku memang keponakanmu, kenapa dulu kau tak membawaku serta ke mana kau pergi, heh? Kenapa justru kau membiarkanku menjadi gelandangan? Apa kau takut aku menjadi penghalang saat kau menjajakan tubuhmu pada pria-pria hidung belang itu?”
“Nilam ….”
“Hentikan tangismu! Aku tak peduli dengan rengekanmu. Kau kira bisa menipuku dengan air mata buaya itu?”
“Tante khilaf ….”
“Haha ….” Aku kembali tertawa sarkastik. “Begitulah dirimu. Setiap kali melakukan salah selalu membentengi diri dengan kata khilaf.” Kutatap Tante Puspa sedemikian rupa, dia justru menunduk.
Dadaku tiba-tiba nyeri ketika sekelabat bayangan—saat diriku kecil dulu—tiba-tiba muncul. Kala itu orangtuaku baru saja meninggal. Satu-satunya tempat bergantung hanya Tante Puspa. Tak ada yang lain. Karena hanya dirinyalah keluarga yang kupunya kala itu. Namun kenyataan berkata lain. Adik dari Ibuku itu justru membuangku—yang hanya sebatang kara—tanpa pernah meninggalkan apa pun.
“Aku tak peduli kau menjadi selingkuhan siapa. Gubernur kek, pengusaha kek, atau sekalian presiden, aku tak peduli. Tapi dari sekian banyak pria … kenapa kau harus menggoda suami Bibi Sekar? Kenapa harus ayah Angin?”
Daun trembesi kembali jatuh akibat dersik.
“Kau tahu, setelah kau pergi, Bibi Sekar-lah yang mengurusku. Dia yang menggantikan tanggung jawabmu pada bocah ingusan yang sangat malang itu. Tapi … tapi kenapa kau justru menggoda suaminya, heh?” Emosiku memuncak. Tanpa sadar suaraku meninggi dengan sendirinya. Hingga terdengar jelas bahwa aku telah membentaknya.
“Mau ditaruh mana mukaku. Aku malu pada Angin. Aku malu pada Bibi Sekar.” Air mata yang sedari tadi kutahan, tak mampu lagi kubendung. Dia luruh bersama sakit hati yang sedemikian nyeri.
Angin kembali bersiur. Mengisi kekosongan malam ini. Aku tergugu tak bersuara. Tante Puspa pun begitu. Dia tak hendak menyangkal atau membela diri. Kami tenggelam dalam pikiran dan tangis masing-masing.
“Nilam, maafkan Tante,” ucapnya kemudian. Setelah sekian lama kami saling berdiam diri. Suaranya masih parau. “Apa yang mesti Tante lakukan agar kau memaafkan Tante.”
Aku menatapnya dengan sorot tajam.
“Kau serius menginginkan maafku?” tanyaku tegas. Dia mengangguk lemah dan lemas. “Menghilanglah dari hadapanku, Angin, Bibi Sekar, dan … ayah Angin. Lepaskan dia. Dan jangan pernah berpikir bahwa kau akan menggodanya lagi.”
Dagunya tiba-tiba terangkat. Wajah Tante Puspa tampak semakin sedih. “Aku tak keberatan melepaskan pria itu. Tapi bagaimana mungkin aku harus kembali berpisah denganmu, Nilam. Kau keponakanku. Satu-satunya keluargaku yang tersisa. Aku akan melakukan apa pun. Tapi tolong jangan memintaku untuk kembali meninggalkanmu.”
Aku menyeringai. Bisa-bisanya dia berucap sedemikian dramatis setelah sekian tahun menelantarkanku.
“Baru sadar, bahwa keluargamu cuma tinggal aku? Kemarin ke mana aja?”
“Nilam, tolong jangan katakan itu. Tante sangat menyesal karena sudah meninggalkanmu. Maafkan Tante. Tante janji akan kembali mengurusmu.”
“Mengurusku? Hah …! Telat! Sudahlah hentikan dramamu. Di sini bukan panggung teater. Jika kau ingin menebus dosamu, menjauhlah dariku. Kau bukan lagi tanteku. Karena bagiku … Tante Puspa-ku sudah lama mati! Terkubur bersama jasad Ayah dan Ibu.”
Tak menghiraukan kata-kata Tante Puspa, aku langsung berbalik. Meninggalkan dia yang memohon agar aku kembali dan memaafkannya.
***
Semalaman aku hanya menangis. Lalu, karena capai, tanpa sadar terlelap begitu saja. Aku terbangun karena benda pipih kotak berdering. Ketika kulihat layarnya, tertera nama: Angin Bawel.
Semacam berperang dengan diri sendiri. Antara ingin dan tak ingin menerima panggilan itu. Ragu … lalu kupaksakan diri untuk mengangkatnya. Sebab rasa cemasku pada Bibi Sekar terlanjur menguasai. Takut hal buruk menimpanya lagi.
“Hei, tinggalkan kucing bulukmu dan ayo kita temui tantemu,” ucap Angin dari seberang sana. Tanpa salam, permisi, atau basa-basi yang lain.
“Aku sedang tak ingin ke mana-mana hari ini,” jawabku singkat.
“Ada apa denganmu? Hari masih pagi, Nona. Kenapa suaramu parau? Kau sakit?”
“Tidak. Hanya saja aku ….”
“Tunggu aku. Aku akan ke sana sekarang juga.”
Tit!
Saluran telepon langsung mati.
Bocah itu, kebiasaan mengambil keputusan secara sepihak. Dia tak pernah membiarkanku menjelaskan banyak hal.
Tetapi memang begitulah Angin. Kepeduliannya padaku begitu besar. Sama seperti Bibi Sekar.
Terus terang saja aku belum siap bertatap muka dengannya. Rasa malu akibat ulah Tante Puspa masih menggelayuti benakku.
Berselang beberapa waktu, ada seseorang yang mengetuk pintu kontrakanku. Malas, kusibakkan selimut dengan lemah lantas menghampiri pintu utama.
Pintu terbuka.
Mataku terbelalak. Angin tiba-tiba nyelonong masuk begitu saja.
“Cepet banget. Kau ngebut?” tanyaku heran. Karena jarak dari dia mematikan telepon dan saat ini tak terlampau lama. Bahkan bisa dikatakan sangat pendek.
“Masih terlalu pagi. Jalanan masih lengang. Jadi aku bisa memacu motor dengan kecepatan cukup tinggi,” jawabnya seraya meletakkan dua bungkus nasi.
“Cukup tinggi gundulmu. Itu mah namanya ngebut. Kelak akan kulaporkan kau pada Bibi Sekar,” ancamku.
Angin meletakkan telunjukknya di mulut. “Hust! Main lapor, kayak bocah aja.” Dia berjalan ke dapur. Mengambil peralatan makan lalu mengundangku ke meja makan.
“Mukamu kusut masai macam kangkung yang sudah tiga hari tak laku. Kenapa?”
Dasar Angin. Dia seakan lupa kejadian semalam. Lihat saja, meski sudah tampak lelah, namun semangatnya masih seperti biasanya. Dia memang gadis yang sangat tegar.
Aku tak ingin bercerita apa pun. Namun, dasar dia memang gadis keras kepala, ada saja siasatnya agar aku mau membagi keluhanku. Ya, sudah. Meski agak sungkan, lantas kuceritakan semuanya. Dari awal hingga permintaanku agar Tante Puspa menjauh dan tak lagi menemuiku. Apa pun alasannya!
Angin menyodorkan tisu seraya mengelus pundakku. Dia sangat memahami posisiku.
“Maaf ….” Sesungguhnya ada banyak kata yang ingin kuungkapkan padanya, namun yang keluar hanya satu kata itu. Sebab tenggorokanku terasa tercekat.
“Sudahlah. Kau tak perlu malu padaku maupun Ibu. Kami sangat paham keadaanmu,” ucapnya. “Jika itu yang sudah menjadi keputusanmu, aku tak akan memaksa agar kita menemui tantemu,” ujarnya dengan suara selembut tepung.
“Bagaimana kondisi Bibi?”
“Sudah banyak perkembangan. Jika tak ada halangan, sore ini Ibu sudah bisa pulang.”
“Lantas ayahmu?”
Angin mengembuskan napas panjang.
“Semalaman aku tak tidur. Ibu juga. Beliau terus terjaga meski berkali-kali aku memintanya agar segera tidur. Semalaman kami begadang. Mengobrol panjang lebar. Hingga pada akhirnya, Ibu memintaku agar aku memaafkan semua kesalahan Ayah. Ibu bilang bahwa aku masih terlalu hijau untuk mengerti urusan orang dewasa. Aku tak mau membebani pikiran Ibu. Oleh karenanya, aku akan memaafkan Ayah. Ya … meski berat.”
Angin menatapku dan kembali mengembuskan napas panjang. Seakan membuang seluruh racun-racun yang selama ini bersarang di dadanya.
Ragu, namun seakan bibirku tak bisa membendung untuk menanyakan hal ini, “Apa Bibi Sekar tahu bahwa selingkuhan ayahmu adalah tanteku?”
“Aku sudah menceritakan semuanya. Kau jangan terlalu khawatir. Ibu sudah menganggapmu sebagai saudaraku. Dia yang mendidikmu. Jadi kau jangan terbebabani oleh masalah ini.”
“Tapi ….”
“Sudahlah. Segera habiskan makananmu.”
“Apa kau sudah baikan dengan ayahmu?”
Bukannya menjawab, Angin justru balik bertanya, “Menurutmu?”
Aku mengedikkan bahu. “Entahlah ….”
“Kau kira apa tujuan utamaku ke sini? Mencari tantemu?”
Aku diam. Menunggu penjelasan selanjutnya.
“Bukan. Aku hanya ingin memberikan waktu luang buat Ayah dan Ibu. Membiarkan mereka berbicara selayaknya orang dewasa. Kalau aku tetap di sana, mana mungkin mereka akan leluasa untuk berbicara. Iya, nggak?” Angin menaik-turunkan alisnya. Seperti seorang pahlawan yang berhasil membebaskan tawanan.
Tangannya kembali memegang sendok dan garpu. Siap menyantap nasinya untuk ke sekian kali.
Tiba-tiba gadis keras kepala itu berdiri di atas kursi, sebab Mimi—kucingku—menyenggol-nyenggolkan tubuh gendutnya ke kaki si Bawel yang tak suka kucing itu. Bukan benci, hanya saja dia geli dengan bulu kucing.
“Nilam, bawa kucing bulukmu keluar!” Dia meloncat dari satu kursi ke kursi lain. Sementara Mimi terus mengejarnya. Sepertinya Mimi menyukai Angin. Melihat tingkah mereka berdua, aku jadi teringat film Tom and Jerry.
Belum habis sarapan kami, aku dan Angin keluar, lalu kembali ke meja makan setelah mengobrol masalah uang iuran sampah dengan warga setempat. Malangnya, paha ayam goreng milik Angin telah raib digondol oleh Mimi. Tentu saja gadis itu langsung berang dan meneriaki nama Mimi.
“Mimi … dasar kau kucing buluk kurang ajar!”(*)
Sh. T, 5 Juli 2019
Episode 7 (sebelumnya)
Episode 9 (selanjutnya)
Uzwah Anna, lahir, tumbuh dan besar di sebuah pelosok kampung, di Kabupaten Malang. Gemar kulineran bakso dan soto. Pecinta kudapan tape goreng, tahu isi dan cilok. Suka berkebun buah dan bunga. Mawar merah merupakan bunga terfavorit!
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata