Arah Angin (Episode 7)
Oleh: Devin Elysia Dhywinanda
POV Angin
Anomali.
Telingaku terus saja berdenging. Tanganku mengeluarkan keringat dingin. Jam seketika stagnan. Suasana rumah sakit bertambah memuakkan. Pria yang berdiri jauh dariku bersedekap tangan, entah kenapa kelihatan resah.
Atau, tidak?
Aku tahu harusnya aku marah, menyumpahi pria itu, menyalahkannya atas rentetan kekacauan yang terjadi selama ini. Akan tetapi, energiku habis dikuras duka. Amarahku lantak oleh perasaan lain. Jadi, aku hanya memandang kosong sembari berkata, “Aku harusnya marah, menggantikan Ibu, tapi kurasa semua percuma. Tidak ada yang kembali. Aku cuma melakukan hal memalukan. Ya, ‘kan?”
Nilam merengkuh bahuku ketika suara berat pria itu memasuki liang pendengaranku, “Kita sudah lama tidak bercakap-cakap, Angin.”
Aku terdiam.
*
Pada satu titik, setelah dokter mengatakan keadaan Ibu akan membaik dan cukup stabil untuk bisa dijenguk, aku menghambur ke kamar pasien. Ruangan putih, tipikal bagian rumah sakit yang serba monokrom, berbau obat, dan dingin—entah efek suhu rendah dari pendingin ruangan atau psikologisku yang cukup buruk. Memikirkannya membuatku tertawa sarkastis, sebab, toh, barangkali perasaanku tidak sebegitu rusak bila dibandingkan dengan milik Ibu. Pemikiran macam ini acap muncul, tentu, tapi baru kali ini aku sungguhan bertanya: benarkah hanya aku yang menanggung beban berat pada chaos macam ini? Benarkah aku melakukan yang terbaik agar Ibu mau berontak dan bukan lantaran lelah menghadapi rumah yang terlampau sunyi? Benarkah sikapku selama ini murni agar Ibu berubah dan bukan demi keegoisanku sendiri?
Manusia memang lucu: mengambinghitamkan sesuatu demi kebenaran versinya masing-masing. Mayoritas orang tidak suka diceramahi, dikatakan salah, dan justru mengagungkan diri mereka sebagai yang paling mengerti, paling tahu arah … paling tersakiti. Setiap yang hidup adalah korban suratan takdir Tuhan, tetapi amat sedikit yang menyadari hal ini, dan aku pun enggan berada dalam sudut pandang Ibu, memahami bahwa Ibu sama lelahnya, sama tersiksanya, sama bingungnya denganku, sampai semua ini terjadi.
Jadi, siapa terdakwa untuk permasalahan kali ini? Perempuan yang masih sedarah dengan Nilam? Nilam yang tidak becus mengurus keluarganya sendiri? Pria yang kuusir dalam diam agar tidak mengganggu waktuku dengan Ibu? Ibu yang—sesuai cap masyarakat—kurang agamis? Atau, aku yang tidak becus menjadi anak?
Entahlah. Aku sudah lelah mencari dan mendakwa orang lain. Sekarang, aku hanya ingin berdialog dengan Ibu. Berdua. Aku ingin egois untuk kali terakhir. Ada banyak hal … banyak sekali yang ingin kukatakan, dan sepertinya semua itu berputar di permintaan maaf.
Jadi, ketika alis Ibu bergerak secara refleks, aku lekas menegakkan tubuh, menahan gelegak dalam dada, seraya berkata, “Ibu! Ibu!”
Kesadaran Ibu tampaknya belum pulih benar, tetapi ia ikut-ikutan menegakkan tubuh, memandangku bertanya-tanya. “Angin? Ada apa denganmu?” tanyanya parau.
Apa yang terjadi selanjutnya tidak dapat kudeskripsikan dengan jelas. Aku hanya memeluknya. Menangis. Meminta maaf. Mengatakan betapa durhakanya aku lantaran tidak dapat mengerti beban berat yang ia pikul selama ini. Kuingat masa kecilku yang sering dikritik karena berlakon tidak selayaknya seorang gadis. Ibu tidak marah, entah padaku atau orang-orang itu, dan hanya berkata bahwa setiap anak membutuhkan cinta, tetapi tidak dengan pikiran serta doktrin menjadi A, B, atau C. Mereka telah didesain sedemikian rupa untuk masa depan, untuk menjadi terbaik versi diri mereka sendiri, dan itu tidak bisa disalahkan.
Ibu membelaku. Ibu percaya padaku. Ibu membebaskanku menjadi diriku sendiri. Dan, aku meminta maaf karena tidak membela, percaya, atau membebaskannya menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri.
Ibu tidak dapat berkata-kata untuk waktu yang lama.
“Semua hal punya batasan. Kau benar tentang hal itu, Nak,” ucapnya kemudian.
Mata Ibu menerawang.
“Mana ayahmu?”
Aku tergagap. “A-aku …,” Ibu balik memandangku; aku menunduk, “…aku tidak memperbolehkannya masuk.” Aku lekas menambahkan, “Semua butuh waktu dan Ibu tidak punya itu, karena belum sembuh benar.”
Ibu menghela napas. “Angin,” aku memainkan jari, cemas, “kita akan punya waktu itu. Bertiga. Dan, kita harus membicarakan apa yang mesti kita bicarakan sejak dulu. Mungkin setelah ini, besok, lusa, atau kapan saja, terserah. Tapi, kita harus bicara. Ya?” Suara Ibu menjadi lembut.
Aku mengangguk pelan.
*
Aku bermimpi. Abstrak sekali.
Aku, Ibu, dan pria itu bermain di rumah lama kami. Semua tertawa. Lalu, kami merayakan ulang tahunku. Aku mengocok minuman bersoda hingga muncrat ketika pria itu membukanya. Kami tertawa. Kami keluar, datang ke pelataran rumah baru, kemudian muncul jurang.
Hanya aku yang terjatuh.
Rasanya mual.
Aku ketakutan.
Lantas, aku terbangun, menyadari kekosongan dalam hatiku. Ibu masih tidur. Fajar belum naik. Kuputuskan keluar, berjalan-jalan di lorong yang lengang, menemukan pria itu tidur di kursi tunggu pasien yang berada di dekat resepsionis. Udara tidak terlalu dingin, ternyata, tetapi ia tampak menyedihkan, dan aku berpikir: siapa yang berubah? Aku, dia, atau semuanya? Dan, kalau memang kami berubah, kenapa bisa sekontras itu dengan masa lalu?
Aku teringat perkataannya beberapa jam lalu: Kita harus bercakap-cakap.
Paginya, aku menelepon Nilam, “Hei, tinggalkan kucing bulukmu dan ayo kita temui tantemu.”
Bersambung ….
Episode 8 (selanjutnya)
Devin Elysia Dhywinanda adalah gadis AB hasil hibridisasi dunia Wibu dan Koriya yang lahir di Ponorogo, 10 Agustus 2001. Dapat dihubungi di Devin Elysia Dhywinanda (FB).
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata
0 thoughts on “Arah Angin (Episode 7)”