Arah Angin (Episode 4)

Arah Angin (Episode 4)

Arah Angin (Episode 4)
Oleh: Devin Elysia Dhywinanda

(POV Angin)

Selama ini, kendati muak pada kesunyian rumahku, aku kerap bertanya pada diriku sendiri, apakah aku hanya muak pada kepasrahan yang ditunjukkan Ibu, atau aku sungguh-sungguh membenci sikap tidak peduli Ayah? Muak dan benci nyaris sama, sebenarnya, seperti ruang luas yang dibatasi oleh sekat tipis, tetapi sefamilier apa pun, mereka tentu saja memiliki arti yang berbeda. Aku bisa saja berkali-kali muak pada sikap seseorang yang tidak sesuai dengan harapanku, tetapi soal membenci … aku tidak tahu apakah aku betulan bisa melakukannya. Orangtua adalah sosok yang sukar dibenci anak—beberapa kawanku yang merupakan korban broken home mengaku masih mengharapkan keluarga yang utuh, dengan ayah dan ibu mereka sesungguhnya—karena itu aku sering ragu pada perasaanku sendiri.

Akan tetapi, ketika bertemu dengan Ayah—tunggu, haruskah kusebut pria itu sebagai “Ayah”?—dan wanita tidak tahu malu di sampingnya, aku tidak dapat merasakan apa-apa kecuali amarah.

“Ayah,” Aku mengatur napas, berusaha menahan air mataku yang nyaris keluar, lantas mendekatinya yang kentara terkejut, “apa pekerjaan Ayah sudah selesai? Apa ini waktunya bersenang-senang?”

Kafe yang kudatangi tidak terlalu besar, didominasi dengan kayu, dan sumber pencahayaannya berasal dari bohlam berwarna redup. Dindingnya adalah batu bata yang tidak dicat. Ada enam deret meja kayu berpelitur dengan meja barista berukuran sedang di ujungnya. Secara keseluruhan, ini adalah tipikal kafe standar yang dapat ditemui di mana saja. Kendati demikian, alasanku memilihnya sebagai salah salah satu tempat pelarian dari rumah karena jaraknya yang cukup jauh, pun topik pembicaraan baristanya yang mampu menghilangkan kepenatanku dari masalah rumah. Itu sebelum aku bertemu ‘mereka’.

Aku mengepalkan tangan, tidak memedulikan para pengunjung yang kentara tertarik dengan pertengkaranku dan pria di hadapanku.

Pria yang kumaksud lekas melepaskan diri dari wanita di sampingnya, kemudian berkata, “Angin … dengarkan Ayah du—”

“Tante Puspa?”

Belum habis ketidakmengertianku pada kondisi ini, Nilam maju, mendekati wanita tidak tahu malu itu, menyebutkan sesuatu yang membuatku mengernyit, tidak mengerti. “Tante? Apa maksudmu?”

“A—aku dulu pernah bilang, ‘kan, kalau setelah orangtuaku meninggal, aku seharusnya diurus oleh tanteku … tapi dia pergi begitu saja. Tanpa kabar. Aku … aku juga tidak mengerti, tapi dia—”

Kepalaku tiba-tiba pening. “Dia ‘keluarga’-mu?”

Pria itu mendekat. “Angin, duduklah, dan kita bicara baik-baik, oke? Akan lebih baik kalau kita membicarakannya dengan kepala dingin, ya?”

Saat seperti ini aku harusnya tertawa sarkastis, menyindir dia yang masih tidak memahami situasi—yang masih juga tidak paham kesalahannya sendiri—dan pergi. Namun, aku tetap di sini, berbicara dengan nada tinggi, “Kalau begitu bicarakan semua ini baik-baik dengan Ibu!” Napasku memburu. Wajah Ayah menggelap, kentara tersinggung dengan sikapku, tetapi aku langsung melanjutkan tanpa memberinya jeda bicara, “Ayah, aku sudah menahan semua umpatanku selama ini. Aku itu sama kerasnya dengan Ayah, jadi bertengkar pun rasanya pasti percuma, dan toh, ini masalah Ayah dan Ibu. Kalian yang harus menyelesaikannya, kalian yang harusnya bicara dengan kepala dingin! Tapi … tapi semua juga punya batas masing-masing, ‘kan?”

Aku beralih pada wanita tidak tahu malu yang kentara ketakutan. “Dan, kau! Aku tidak peduli kau tantenya siapa, mamanya siapa, anaknya siapa, atau apa! Yang jelas, aku tidak tahu kenapa kau bersikap seperti ini!”

“ANGIN!”

“Angin!”

Semua suara bercampur: suara pria itu, suara Nilam, keramaian para pengunjung kafe, dering telepon … deru kendaraan bermotor, lalu angin yang masuk ke sela helmku. Aku tidak tahu ke mana. Aku cuma mau pergi ke tempat di mana hanya ada aku dan semilir angin malam. Aku cuma mau membedah isi kepalaku, mengurai kekacauan yang terjadi dan menumpuk sejak lama, kembali menemukan sketsa bahagia sebelum menyisakan rumah yang diisi kelengangan pun kepasrahan. Aku cuma mau pergi sejauh mungkin dari semuanya.

Kurunut pertengkaranku dengan Ayah, bertanya-tanya, apakah aku akhirnya bisa membenci Ayah, apakah akhirnya aku bisa melawan kebungkaman atas sikap Ayah … dan kemudian kutemukan Ibu di sana. Apakah aku membenci Ibu? Atau, aku hanya muak padanya yang hanya diam, menerima semua perlakuan Ayah?

Atau … aku hanya mencari-cari alasan demi membenarkan sikapku selama ini?

Aku berhenti di pom bensin, lantas membuka ponselku, menemukan panggilan tidak terjawab dari nomor Ibu. Ragu, kutelepon nomor Ibu, mendengar nada sambung monoton yang kemudian berganti menjadi suara serak Ibu.

Semua berlangsung cepat … dan tiba-tiba aku sudah menelepon semua nomor orang terdekatku—Nilam, juga pria itu—sambil menahan tangis. Nilam memintaku tenang sampai dia menjemputku di pom bensin, yang tentu saja tidak kuiyakan. “Oke, oke, dasar keras kepala … sekarang jangan berpikir apa-apa dan langsung pulang, ya? Ja—jangan menangis di jalan, pokoknya tahan sampai rumah, ya?” Mati-matian kuturuti nasihat yang dia katakan secara terbata-bata. Kupacu motorku secepat yang kubisa sambil mendoakan banyak hal: diriku sendiri … juga Ibu.

Lantas, tiba-tiba, aku mengingat semua kenangan tentang Ibu.

 

Bersambung ….

Episode 3 (sebelumnya)

Episode 5 (selanjutnya)

 

Devin Elysia Dhywinanda, gadis kurang kerjaan yang perlu menyalurkan sesampahan dalam otaknya (tenang, dia masih pelajar dan cukup waras, kok). Lahir dan masih bermukim di Ponorogo sejak 10 Agustus 2001. Mau kepoin dia? Cekidot!
FB: Devin Elysia Dhywinanda
E-mail: curlyglassesgirls@gmail.com

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Tentang Penulis:

Devin Elysia Dhywinanda, gadis kurang kerjaan yang perlu menyalurkan sesampahan dalam otaknya (tenang, dia masih pelajar dan cukup waras, kok). Lahir dan masih bermukim di Ponorogo sejak 10 Agustus 2001.

Leave a Reply