Arah Angin (Episode 3)

Arah Angin (Episode 3)

Arah Angin (Episode 3)
Oleh
: Lutfi Rose

(POV Sekar)

Tak ada yang ingin menjadi lemah—menyerah dan hanya pasrah pada keadaan. Terlebih bagi seorang wanita yang seharusnya mampu menjadi sebuah rumah—tempat kembali dan mencurahkan segala resah dan tempat pulang seusai penat mengais kebahagiaan—bagi putrinya. Sayangnya … aku tak sebijak Dewi Kunti saat harus menerima cercaan dari Karna—anaknya, pun tak setangguh Drupadi ketika kain sarinya dilucuti oleh Dursasana. Aku hanya seorang istri, yang meyakini bahwa surga ada dalam rida suaminya.

Bagiku guncangan demi guncangan yang hadir dalam setiap ketenangan biduk rumah tanggaku hanyalah sebuah ujian kesabaran untuk meraih kebahagiaan yang hakiki. Tugasku hanya satu, mengabdi padanya—suamiku. Berusaha sabar jika dia sedang lupa akan jalan pulang, kemudian memberi maaf tatkala dia sadar akan kesalahan, lalu kembali pulang. Meski ternyata itu tak semudah teori yang disampaikan para ahli agama di setiap tausiahnya. Guncangan yang terus-menerus terulang dan terulang lagi mulai mengusik keutuhan rumah ini.

“Ibu tidak salah dan tidak sepantasnya Ibu terus-terusan mengalah.”

Kalimat yang begitu saja keluar dari mulut putri semata wayangku, cukup membuatku tak mampu bersuara.

Bagaimana aku menjelaskan padamu, Nak? Jika semua yang ibu lakukan demi kamu, demi sebuah keluarga yang tetap utuh. Dan diam tak cukup membuatnya puas. Wajahnya muram penuh kemarahan, sayangnya … kembali kesunyian yang aku pilih untuknya.

“Aku muak karena pura-pura tidak mengetahui masalah ini. Ibu juga harusnya tahu perasaan macam itu!”

Baru kali ini aku mendapat suara dengan nada tinggi dari dia—gadis yang kini beranjak remaja. Dia mengalihkan pandangan ke arah ruang tamu. “Ibu lelah. Kumohon katakan sekali saja bahwa Ibu lelah,” ucapnya dengan suara yang makin melirih.

Dengan bodohnya aku tetap bungkam. Kuremas ujung blus sabrina yang kukenakan. Seharusnya aku memang bisa menolak, seharusnya aku memang mampu melawan, seharusnya ….

Argh!

Banyak seharusnya yang akhirnya menjadi ketidakharusan hanya karena satu alasan klise—selalu ada balasan setimpal atas semua pengorbanan.

Detak jarum jam mengisi kesunyian di antara aku dan gadisku. Kami tak ubahnya seperti sepasang orang asing yang tak mampu membuka sebuah percakapan hangat di antara dinginnya malam. Dia tampak menyimpan begitu banyak kekecewaan, napasnya naik-turun penuh tekanan, sesak, seakan sebongkah batu menahan udara masuk ke dalam paru-parunya.

Begitu sakitkah, Nak? Maafkan ibumu ini.

Tanpa mampu kukendalikan, sebutir bening merembes di antara kedua mataku, buru-buru kuseka dengan punggung tangan kananku. Aku tak ingin dia tahu; betapa rapuh dan hancurnya wanita yang dia anggap begitu tegar ini.

“Aku pamit keluar.”

Tanpa menunggu izinku, malaikat kecil yang kini telah tumbuh melampaui tinggi ibunya, berlalu dari hadapanku. Tangannya menyambar kunci motor yang tergeletak di atas meja ruang tamu.

“Tidakkah kamu ingin menemani ibu, Nak?”

Dia tak mendengarku. Suara deru motor yang memekakan telinga menenggelamkan suaraku, makin hilang.

Aku kembali duduk di sisi sofa di ruang tamu. Memagut sepi yang makin sepi tanpa kehadirannya. Entah! Apakah malam ini dia masih sudi untuk pulang ke rumah?

Kupandangi foto keluarga di tembok barat ruang tamu, sebuah foto berlatar rumah kecil, rumah yang sederhana dan masih berdinding bambu. Rumah yang kini sudah disulap menjadi rumah besar nan megah. Di dalam foto itu ada kami bertiga, aku dan suamiku yang sedang menggendong seorang bayi mungil, kebahagiaan berpendar begitu sempurna. Tepatnya tujuh belas tahun silam, bayi kecil hadir di rumah ini. Tangisnya begitu kencang, diiringi tawa bahagia yang kudengar begitu utuh keluar dari mulut suamiku. Bayi kecil yang begitu sempurna. Dia bagaikan air pelepas dahaga setelah lebih lima tahun kami berjuang demi kehadirannya. Puluhan dokter kami datangi, tak terhitung berapa jumlah orang “pintar” yang kami mintai jampi-jampi, juga ratusan macam obat dan racikan daun yang masuk ke dalam perutku. Aku tak pernah mengeluh dan putus asa, pahit, asam, bahkan anyir pernah kurasakan dan kutenggak.

Hingga malam itu, seluruh bintang seakan menyaksikan kelahirannya. Serupa lahirnya Rama setelah begitu lama Dasarata menunggu kehamilan Koslya—permaisurinya. Suamiku terus tersenyum dan terus memuja nama Tuhan atas anugerahnya.

Bayi mungil berlesung pipit, bemata hitam bulat besar dan berhidung mancung, sebuah perpaduan yang sempurna, hadir mengisi kejenuhan rumah tangga kami. Kami menamainya Angin Tanjung Arum, dengan harapan kelak dia akan setangguh namanya, meski dia berpadu dengan segala bencana dunia, meski dia berganti nama dengan segala rupa, dia tetaplah angin. Menjadi penyejuk di kala panas, menjadi penghantar awan yang hendak menebar hujan, yang kemudian membawa kabar kehidupan bagi seisi bumi. Namun aku lupa satu hal, angin bisa sangat berbahaya tatkala murka, dia mampu menghancurkan apa pun ketika menjadi badai, meskipun dengan sebutan yang begitu indah.

Malam ini aku menyaksikannya, bagaimana watak lembut yang selalu kusematkan dalam sanubarinya sejak dulu, tak mampu melawan watak keras pengukirnya, dia mewarisi jiwa pemberontak ayahnya.

Mungkin suamiku lupa, setiap dia menyakitiku, sama artinya mengibarkan bendera perang pada anaknya. Didikan keras yang ditanamkan sedari kecil, sikap tegar menghadapi apa pun dan pantang menangis. Meski angin adalah seorang gadis, dia tak jauh berbeda dengan Srikandi yang ulung dalam memanah. Angin yang pandai di bidang otomotif, lebih suka memegang tang dan obeng daripada memegang gincu.

Waktu memang berlalu begitu cepat Andai bisa kuulang kembali ke masa itu, masa di mana rumah ini masih serupa gubuk, tapi di dalamnya penuh dengan hati yang lembut, diselimuti kebahagiaan. Suamiku masih bekerja di sebuah bengkel, berangkat ketika hari masih petang dan pulang saat hari kembali petang. Dia pulang dengan baju penuh dengan noda hitam karena oli. Tawa merekah dari bibir Angin menyambut ayahnya pulang. Kami bahagia meski hanya hidup dari gaji seorang montir, dengan upah harian yang hanya cukup untuk membeli susu Angin serta makan sederhana.

Hingga suatu malam menjelang tidur, kami berbicara serius. “Aku harus cari pekerjaan lain, Bu. Angin makin besar, bukan hanya susu yang dia butuhkan tapi juga pendidikan yang bagus. Pekerjaan Ayah tak bisa memberikan masa depan.”

Selanjutnya dia benar-benar berhenti bekerja, membuka usaha bengkel sendiri. Bermodal keuletan dan ketekunannya yang membuahkan hasil luar biasa. Bengkelnya maju pesat, perlahan tapi pasti mulai merangkak maju, dari sendiri hingga memiliki banyak karyawan. Dia makin sibuk hingga mulai jarang pulang. Tetapi tak pernah terlintas bahwa semua itu akan mengawali mimpi buruk kami.

Angin yang beranjak remaja mulai protes dengan kesibukan ayahnya. Jauh dari yang kuperkirakan, pertengkaran pertama itu, menunjukkan sosok suamiku yang jauh berbeda dari yang selama ini aku kenal, seorang ayah yang lembut dan penuh kasih, menjelma menjadi seorang ayah yang begitu ringan tangan. Dia dengan mudahnya menampar anak gadis yang selama ini begitu disayangnya. Spontan aku melolong histeris dengan penuh air mata. Bagaimana kau begitu tega melakukan itu pada anak kita.

Sejak itu suamiku makin tak keruan. Semakin jarang pulang. Ketika sesekali pulang pun sikapnya makin kasar.

Semilir angin dari pintu yang terbuka, menerpa wajahku, menorehkan perih di antara air mata yang mengering. Malam ini aku kehilangan dua lentera rumah ini. Gelap, muram, dan seakan tak bernyawa.

Kini ke mana hendak aku mencari mereka, Tuhan?

Aku beranjak menuju kamar, meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas, kutekan nomor anakku. Terdengar bunyi putus-putus di seberang sana. Kuulangi lagi beberapa kali, masih tetap sama, nada sibuk. Sedang apa kamu, Nak? Begitu sibukkan kamu di luar sana? Tidak adakah yang peduli dengan perasaanku?

Aku melangkah meninggalkan kamar, membiarkan ponsel tergelatak kembali di atas nakas. Hatiku sakit dan terasa kosong, tak tahu harus berbuat apa. Seketika tenggorokanku terasa kering, sepertinya aku butuh minum. Air putih mungkin bisa mendinginkan kepalaku yang panas, serta melegakan dadaku yang sesak. Langkahku terhenti di dekat meja makan, sayup-sayup terdengar sebuah bisikan di telingaku, “Ambil pisau itu dan selesaikan semua masalahmu!” Tanganku serasa bergerak sendiri mengambil sebuah pisau buah di samping keranjang berisi apel di meja makan.

Bersambung ….

Episode 2 (Sebelumnya)

Lutfi Rose, memiliki nama asli Lutfi Rosidah, sebuah nama pemberian Ayah. Nama yang juga dipakai di sebagian besar akun media sosialnya. Seorang ibu rumah tangga berpenghasilan, memiliki tiga orang putri dan seorang putra, tetapi masih imut. Hihi….
Penulis berasal dari Kota Apel dan tetap istiqomah di tanah kelahiran. Seorang pejuang gombal yang ingin mewujudukan mimpi masa kecilnya menjadi seorang penulis. Semoga bisa terealisasi.
FB: Lutfi Rosidah

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply