Ara

Ara

Ara
Oleh : Rinanda Tesniana

Seringai pria berkumis tipis itu masih terbayang di benakku. Seperti serigala. Ya! Serigala berbulu domba. Tampak baik ketika di luar, tetapi, aku tahu, bagaimana kejamnya ia saat berada di ruangan terkutuk itu.

Namun, dia telah memberi apa yang sedang aku butuhkan, walaupun aku harus membayar mahal.

***

Semua berawal ketika Papa mencampakkan rapor yang aku perlihatkan padanya dengan bangga. Aku mengkerut kala itu. Apa yang salah? Isinya sama sekali tidak mengecewakan. Aku menduduki posisi ketiga.

Mama memungut rapor yang dibuang Papa, kemudian membukanya.

Ini buruk, Ra. Mama meletakkan rapor tersebut di atas meja. Harusnya, paling tidak kamu rangking satu, Ra. Dan mestinya, kamu juara umum.

Aku memilin ujung seragam yang belum sempat diganti. Mendengarkan Papa berceloteh mengenai dirinya dulu, saat sekolah selalu jadi siswa terbaik, hingga berhasil lulus pendidikan S-3 di Australia dengan beasiswa dari pemerintah.

Kemudian, Mama menyambung perkataan Papa, menceritakan dongeng mengenai prestasi-prestasinya dari SD hinga SMA. Bagaimana ia berusaha untuk sampai pada posisi sekarang ini, menjadi dokter anak sekaligus ketua IDAI Provinsi.

Nelangsa, itulah yang aku rasakan. Sejak SD prestasi sekolahku biasa saja. Aku tidak terlalu suka belajar, aku lebih suka menulis dan menggambar.

Sudah puluhan cerpen yang aku buat, beberapa memenangkan lomba menulis tingkat nasional. Aku bangga. Tidak dengan Mama dan Papa.

Saat aku dengan wajah bahagia memperlihatkan karyaku dimuat dalam koran nasional, Papa mencibir.

“Lalu, apa gunanya itu? Membuatmu pintar? Atau menjamin masa depanmu akan cemerlang?” cecarnya.

“Ra, sudahlah! Jangan membuang waktu dengan menulis hal yang sia-sia. Lebih baik, kamu belajar, mengerjakan matematika, fisika, kimia. Atau mulai memilih, jurusan apa yang akan kamu ambil untuk kuliah S-1, S-2, dan S-3,” sambung Mama.

Tengkukku merinding mendengar apa yang Mama katakan. S-1, okelah! Namun, untuk naik ke jenjang selanjutnya, aku tidak memiliki keinginan seujung kuku pun.

***

Mendekati ujian kenaikan kelas, aku merasa tertekan. Seharusnya Mama dan Papa tahu, semakin ditekan, aku semakin tak bisa belajar. Aku mengerjakan ujian asal-asalan, dan sungguh aku ngeri saat membayangkan bagaimana hasilnya.

Sejak tadi, bel pertanda pulang sudah berbunyi. Aku memilih untuk menyendiri di sekolah ini, karena takut dengan cecaran pertanyaan yang diajukan Papa mengenai ujianku.

“Soalnya mudah, ‘kan, Ra? Yakin kamu bisa ranking satu?”

Pertanyaan rutin ketika usai ujian, aku sampai hafal titik komanya.

“Kamu kenapa?” Pak Hendri, kepala sekolah, bertanya padaku yang sedang mondar-mandir seperti orang gila di selasar yang sudah sepi.

Seperti melihat oase di tengah kekeringan, aku mencurahkan semua perasaanku kepada pria bijaksana itu. Pak Hendri mendengarkan dengan saksama, mengangguk-angguk dan menunjukkan ekspresi iba.

“Bapak bisa membantumu, Ra. Apa perlu Bapak berbicara dengan kedua orangtuamu?”

“Jangan, Pak. Mereka bisa murka, kalau tahu Ara menceritakan hal ini pada Bapak.”

“Harusnya, mereka tahu, setiap anak memiliki bakat yang berbeda. Kamu sudah berkali-kali mengukir prestasi membanggakan untuk sekolah ini di bidang menulis dan melukis. Apa mereka tidak tahu mengenai hal itu?” tanya Pak Hendri.

“Tahu, Pak, tapi menurut mereka, itu hal tak berguna.”

Pak Hendri membelai rambutku dengan penuh perhatian. Aku menunduk. Bahkan, Pak Hendri lebih memahami diri ini daripada orangtuaku sendiri.

“Saya bisa mengusahakan kamu naik ke kelas dua dengan nilai tertinggi, Ra,” ucapnya.

“Serius, Pak? Bagaimana caranya?”

“Ikut saya!” Senyum merekah di bibir Pak Hendri yang berwarna hitam karena terlalu banyak mengisap tembakau.

Aku mengangguk, mengikuti langkahnya. Dia masuk ke ruangan yang bertuliskan Kepala Sekolah di pintunya. Aku berdiri dengan hati ragu, entah kenapa, hati kecilku berontak kali ini.

Pak Hendri menarik tanganku untuk masuk. Terkesan memaksa, mungkin, dia takut aku berubah pikiran.

***

Papa tersenyum semringah melihat angka-angka yang tertera dalam raporku.

“Papa tahu, kamu bisa, Ra.”

“Kamu akan jadi dokter seperti Mama,” kata Mama dengan nada bangga.

“Hei, dia akan jadi dosen seperti papa,” protes Papa.

Mereka tertawa dengan rencana-rencana mengenai masa depanku, tanpa bertanya apa mauku.

***

Tulisan-tulisan yang aku hasilkan semakin bagus. Beberapa kali aku menang lomba menulis. Sering kali tulisanku dimuat dalam koran nasional, dibaca oleh banyak orang. Dijadikan pembahasan dalam grup literasi, dan aku acap kali diundang menjadi bintang tamu dalam acara bedah buku penulis hebat.

Aku bahagia, tetapi tidak dengan orangtuaku. Mereka hanya ingin tahu hasil akhir. Yang penting nilaiku bagus. Persetan dengan yang lain. Sertifikat dan hadiah menumpuk di sudut kamar. Tanpa Mama dan Papa tahu. Mereka tak perlu yang lain, hanya perlu hasil dalam raporku.

Aku memang tidak perlu risau lagi, prestasi yang tertulis di dalam raporku semakin hari, semakin baik. Aku tidak perlu lagi susah payah belajar. Pak Hendri menjamin nilaiku akan bagus.

Tentu saja aku masih rutin menghabiskan waktu di ujung hari bersama Pak Hendri. Di ruangannya yang sekarang sudah dipasang pendingin udara.

“Agar kita nyaman,” katanya.

Sebenarnya, aku sangat takut setiap kali Pak Hendri memberi kode berupa kedipan mata. Setelah itu, aku harus bergegas menemuinya, mendengar iming-imingnya mengenai nilai tinggi, kemudian, ia melakukannya seperti biasa. Aku hanya bisa pasrah demi nilai yang tinggi, demi ranking yang Papa dan Mama harapkan.

Setiap kali Pak Hendri memberi kode, malamnya aku menulis. Menulis semua hal yang membuatku gundah. Menulis hingga aku lupa waktu, lupa makan, dan lupa dengan seringai serigala itu.

Lingkaran mataku semakin hitam, tubuhku pun lebih kurus sekarang. Aku merasa melayang setiap kali berjalan.

Mama sering mengingatkan agar aku banyak makan.

Kamu jangan diet, Ra. Makan yang banyak, kamu harus juara, harus pintar, harus kuliah tinggi. Makan!

Mama menjejalkan semua makanan itu ke mulutku. Aku memang menelannya, tetapi di sekolah aku memuntahkan semuanya.

***

“Sebentar lagi kamu lulus, Ra.” Pak Hendri menatapku dengan sedih, sembari memasang kancing kemejanya.

“Iya, Pak, jawabku.” Sedikit lega, karena setelah ini, tidak akan ada kedipan mata, tidak akan ada iming-iming nilai tinggi dan tangan yang bergerak nakal menyusuri setiap inci tubuhku. Semua berakhir saat surat kelulusan aku pegang.

“Kamu tidak akan berubah kan, Ra? Tetap ada untuk bapak?”

Dia tersenyum, menyerupai seringai. Mengerikan! Dua tahun aku bertahan demi nilai bagus, demi Mama dan Papa, demi ketenangan hidupku. Demi terhindar dari makian Papa, dan omelan Mama.

***

Aku lulus dengan nilai cemerlang. Tentu saja bukan hasil usahaku. Semua telah diurus Pak Hendri.

Papa dan Mama tersenyum puas. Mereka memujiku setinggi langit. Mereka bangga padaku. Mereka memanjatkan harapan-harapannya. Aku puas.

“Ra, nanti kamu coba Kedokteran UI, ya? Atau mau coba Fisipol seperti papa?” Papa menatapku. Sinar bangga belum hilang dari sorot matanya.

“UI?” Aku menggigil menyebut nama kampus almamater Mama dan Papa.

“Iya, dengan nilai sebaik ini, Papa yakin kamu bisa lulus di UI.”

Kedipan mata Pak Hendri berkelebat dalam benakku. Kata-kata lembutnya tentang nilai tinggi terngiang-ngiang di telingaku. Sentuhan tangannya yang kasar. Perasaanku yang tersiksa setiap kali berada di ruang jahanam itu.

Padahal aku sudah merasa bebas hari ini, ketika surat kelulusan dengan nilai terbaik aku genggam, tanpa perlu susah payah belajar. Aku pikir semua ini sudah selesai.

“Jadi, Kedokteran apa Fisipol?” ulang Mama.

“UI?” gumamku.

Bagaimana caranya? Bisakah kedipan mata Pak Hendri menolongku kali ini? (*)

Siak Sri Indrapura, 16082020

Rinanda Tesniana, hamba Allah.

Editor : Fitri Fatimah

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply