Api Pohon Jambu

Api Pohon Jambu

Api Pohon Jambu

Saat itu adalah hari ke tujuh belas sejak aku terbaring di Rumah Sakit Siti Aisyah Kota Lubuklinggau. Kata dokter lukaku parah, setidaknya butuh waktu satu bulan untuk membuatku pulih kembali. Bagiku, satu bulan bukanlah waktu yang singkat jika hanya dihabiskan untuk berbaring di kasur rumah sakit dan mengonsumsi pelbagai macam obat yang rasanya tak enak, bahkan pahit. Sungguh membosankan.

Seakan paham perasaanku, Bowo selalu datang mengunjungiku ke rumah sakit. Tentu saja itu bukan perkara sulit jika mengingat rumahnya yang hanya berjarak sekitar seratus lima puluh meter dari rumah sakit tempat aku dirawat, dan petugas rumah sakit pun tak pernah mencegah anak kelas satu SD itu untuk menyambangi beranda kamarku. Tapi, bukannya masuk dan menyapaku, Bowo hanya memandangiku dari jendela. Beberapa kali aku mencoba mengajaknya masuk ke dalam kamarku tapi dia selalu menolak. Dia malah akan pergi jika tahu bahwa aku memperhatikannya.

Apa yang terjadi dengan Bowo? Bukankah jika dia benar-benar ingin mengunjungiku, setidaknya dia masuk dan menyapaku, atau menceritakan hal-hal lucu untuk menghiburku. Kupikir begitulah cara seseorang memperlakukan sahabatnya yang sedang sakit. Tidak inginkah Bowo bersahabat denganku lagi?

Aku merindukannya. Aku merindukan semua permainan kami. Ingatkah dia saat kami berlarian di atas rumput di depan rumahnya, bermain petak umpet, menonton televisi bersama, pun saat kami memanjat pohon jambu biji milik Wak Ndut yang warna buahnya sudah kekuningan sambil bercerita beragam hal. Oh, indah betul kebersamaan kami saat itu. Namun nyatanya, hingga aku keluar dari rumah sakit Bowo hanya berani melihatku dari balik jendela, bahkan Bowo pun seperti menghilang di telan bumi bersamaan dengan keluarnya aku dari rumah sakit.

***

Butiran-butiran air hujan jatuh ke bumi. Nampaknya mereka sudah lelah menjadi awan hitam di atas langit sana. Dan di antara butiran yang tumpah itu, banyak pula yang mendesak masuk dan membasahi seragam putih abu-abu yang kukenakan saat itu. Karena ulah mereka, aku terpaksa singgah-berlindung di bawah gapura sebuah kantor pemerintah yang berada beberapa ratus meter dari rumah sakit Siti Aisyah, tepatnya di tepi jalan besar yang mengarah ke Bandara Silampari. Aku melihat ke perumahan yang berada di seberang jalan di mana aku berdiri sekarang dan tak bisa menahan diri untuk teringat pada masa lalu. Perumahan polisi, pohon jambu, dan Bowo, sahabat kecilku.

Beberapa orang temanku mengatakan bahwa Bowo pindah ke Palembang, beberapa lagi menyatakannya ke Kabupaten Musi Rawas. Aku tak tahu pasti Bowo pindah ke mana, yang kutahu, Bowo dan aku tak pernah lagi bertemu sejak kejadian itu—yang terjadi sepuluh tahun lalu. Karena peristiwa itu aku terpaksa menginap selama hampir satu bulan di rumah sakit. Kalau kupikir-pikir, setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan kenapa akhirnya kami tak pernah bertemu lagi. Pertama, karena aku pindah ke rumah baruku yang berjarak lima kilometer dari rumahku semula, yang kedua karena dulu aku dan bowo memang tidak bersekolah di SD yang sama, dan yang ketiga karena kejadian itu. Faktor yang terakhir sebenarnya hanya terkaanku saja, aku harap itu tidak benar, tapi setiap orang yang tahu kisah ini juga akan berpikiran yang sama denganku. Andai aku bisa bertanya langsung pada Bowo, inikah yang membuat dia menjauhiku?

***

Sepuluh tahun silam aku dan Bowo sedang asyik bermain di halaman rumahnya. Kami layaknya sepasang anak kangguru yang baru saja terbebas dari kantung sang induk, berlarian ke sana-kemari melakukan semua hal yang kami suka.  Saat itu, pohon singkong yang berada di depan rumah Bowo sudah nampak tinggi berisi, kami kira begitu pula pada ubi di bawahnya. Kami menarik batang singkong itu sekuat tenaga, dan benar saja, beberapa ubi berukuran besar menyembul keluar dari permukaan tanah. Kami senang bukan kepalang dan berencana untuk mengolah hasil perburuan kami hari itu juga.

“Ayo, Riki, kita pecahkan celenganku, lalu uangnya kita belikan bensin untuk membakar ubi,” ucap Bowo sambil menarik tanganku

Aku mengangguk mengiyakan ajakannya. Setelah memecahkan celengannya, kami berlari ke warung yang tak jauh dari rumahnya. Aku masih ingat betul, saat itu harga bensin masih tiga ribu per liternya dan kami hanya membeli setengah liter saja. Di bawah rindangnya pohon jambu, aku dan Bowo mengumpulkan dedaunan dan ranting pohon yang sudah kering. Siang itu matahari sangat terik dan angin pun berembus dengan kencangnya. Bowo menggesek sebatang korek api lalu melemparnya ke sela-sela tumpukkan daun yang telah kami gunungkan. Awalnya nyala api itu hanya setinggi mata kaki dan letaknya tidak sampai setengah meter dari kami yang berdiri. Karena api yang begitu kecil, aku pun merasa bosan dan malah tergoda dengan angin kencang yang berembus. Aku membalikkan tubuh ke arah angin kencang itu dan tidak lagi memperhatikan kobaran api kecil yang mulai menyala. Tepat pada saat itu Bowo menuangkan minyak ke atas api. Baginya api itu terlalu kecil untuk mematangkan ubi-ubi kami yang ukurannya sebesar lengan orang dewasa. Namun, embusan angin tiba-tiba berubah arah dan api yang membesar setelah ditimpa minyak lampu itu berbelok ke arahku. Api itu menyambar celana panjangku yang berbahan kain. Aku berteriak ketakutan dan merasakan panas di dengkulku. Bowo tergagap. Kami sama-sama memukul-mukul api di kakiku itu, namun bukannya padam, api itu malah semakin membesar. Aku merasakan panas yang luar biasa menyerang kaki sebelah kananku.

***

Seketika hujan mereda. Aku menatap rumah di seberang jalan, memandanginya dengan saksama dan bayangan wajah Bowo tiba-tiba melintas di pelupuk mataku.

Apakah itu penyebabnya?

Apakah Bowo merasa bersalah?

Hm, aku mengerti perasaan kanak-kanak Bowo saat itu. Pasti ia sangat ketakutan dan merasa bersalah. Mungkin orangtuanya memarahinya karena telah membuatku celaka. Dan hal itu pulalah yang membuatnya tak berani bertemu denganku lagi.

Bowo sahabatku, aku tahu ini kecelakaan. Andai kau tahu, aku tak pernah membencimu karena peristiwa itu. Justru bekas luka yang tak pernah hilang inilah yang kemudian selalu mengingatkanku pada persahabatan kita. (*)

Ayu Hanifah, lahir di Tugumulyo, Musi rawas, 2 Agustus 1998. Mahasiswi semester pertama di salah satu perguruan tinggi negeri di Jakarta ini hobi membaca dan bercita-cita menjadi penulis.

FB: Ayu Hanifah Sy

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita