Apel dan Ulat
Oleh : Niluh Santi
Siang itu, Suli dan Cia mengadakan piknik bersama, setelah seminggu mereka sibuk dengan ujian akhir sekolah.
“Wah, akhirnya kita bisa piknik bersama!” pekik Suli senang.
“Iya, setelah seminggu ujian, kita bisa bebas juga,” sahut Cia.
Mereka pun membuka keranjang bekal yang dibawa.
“Oh. Aku membawa roti dan sirop, apakah kamu mau, Cia?” tanya Suli.
“Boleh, Ibu hanya membawakan aku nasi dan lauk. Mungkin nanti kita bisa berbagi. Tapi, aku tidak membawa buah,” jelas Cia.
“Tenang saja, bukankah kita sedang berteduh di bawah pohon apel?”
“Ya, kau betul. Jadi kita bisa memetik dan memakannya sepuas kita!” kata Cia sambil tertawa.
Setelah selesai makan, mereka pun segera memetik beberapa buah apel yang ada di taman.
“Lihat, ada ulat di apel ini!” seru Cia sambil menjatuhkan ulat itu dan hendak menginjaknya dengan kaki.
“Oh. Tidak! Jangan lakukan itu, Cia,” kata Suli.
“Kenapa? Ulat itu sangat menjijikkan,” tanya Cia dengan wajah kebingungan.
“Iya. Meski menjijikkan, tapi dia sangat bermanfaat.”
“Bermanfaat?” tanya Cia.
“Dalam rantai makanan mereka adalah pengurai. Selain itu mereka juga makanan untuk hewan seperti burung dan ayam,” jelas Suli.
“Oh … jika aku menginjak ulat ini, bisa-bisa ayam dan burung tidak mendapatkan makanan, dan mereka bisa mati juga,” kata Cia.
“Iya. Itulah namanya rantai makanan. Semua saling berhubungan dan berkaitan. Ayam dan burung-burung itu juga sumber makanan bagi hewan lain, begitu seterusnya.”
“Termasuk kita.”
“Iya, betul.”
Cia merasa senang karena mendapat hal baru tentang ulat, dan dia pun membiarkan ulat itu pergi. Mereka akhirnya melanjutkan acara piknik mereka hingga sore. (*)
Salatiga, 12 Juni 2021
Niluh Santi. Perempuan dari Bali yang menyukai kopi tanpa pemanis, karena dia sudah manis. Dia juga menyukai anak-anak, dan bermimpi ingin menjadi pendongeng anak.
Editor : Lily Rosella
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata