Apa yang Payung Dengar di Bawah Rintik Hujan
Oleh: Ulfah Mawalatul Khoiriyah
Tidak biasanya cumulus terlihat begitu jelas di pagi ini, cirrus yang selalu menyapa tuanku tidak lagi menyapanya hari ini, entah karena cumulus terlalu menjamahnya hingga tak sedikit pun ia beri ruang untuknya menampakkan diri pagi ini, atau ada hal lain yang membuatnya ingin terlihat jelas oleh mata-mata yang sejenis seperti tuanku, entahlah.
Seperti biasanya pula saat hujan mengguyur deras seluruh atap rumah tuanku, akulah yang menjadi pengantar setiap langkahnya ke mana pun ia pergi. Perawakanku tak begitu tua, aku sudah hampir genap 4 tahun. Aku tertunduk patuh menemaninya, baik itu melindunginya dari derasnya air hujan, mendengarkan segala keluh kesah darinya ataupun hal lain yang membuatku semakin ingin berlama-lama bersamanya di bawah rintik hujan itu. Aku semakin tenggelam lebih dalam ketika tuanku menyuruhku untuk mendengarkan segala ceritanya yang semakin lama semakin panjang itu. Dari bagaimana ia bercerita, memegang ujung bagianku dengan syahdu, menutupku rapat-rapat dengan rapi, itulah yang paling kusukai darinya selama ini. Aku diperlakukan begitu manusiawi olehnya, seakan akulah telinga, mata, dan sendi-sendi yang selalu berada di dekatnya.
Mungkin yang orang pahami tentangku, aku adalah benda mati yang sama sekali tidak berharga, hanya diperlukan ketika hujan datang saja. Selebihnya dibiarkan lusuh begitu saja di setiap pojok pekarangan rumahnya. Namun, tidak dengan tuanku! Ia tidak menghukumku dengan mulut keringnya.
Saat sore itu telah selesai, ketika bayang-bayang senja sampai ke ufuk, aku dibawa pulang kembali olehnya, setelah sekian lama aku menunggunya bekerja di tempat yang begitu ramai. Berbagai jenis orang dengan suara yang berbeda-beda terdapat di sana, aku bisa mendengarnya ketika mereka menghampiri tuanku untuk membeli sayuran dan buah-buahan.
Tidak asing lagi bagiku mendengarkan suara Bi Iyem yang selalu mengantarkan sayuran-sayurannya pada kios tuanku, suara Pak Jaman yang selalu mondar-mandir di depan kios tuanku dengan membawa dagangannya, dan para preman dengan suara keras dan beringas yang setiap paginya selalu meminta jatah uang, yang jika tidak dikasih akan memalaknya dengan paksa, membuatku takut dan aku tidak bisa berbuat apa-apa. Andaikan saja aku manusia, aku pasti akan menghajar mereka hingga bengap, mengobrak-ngabrik dengan paksa hingga mereka tidak berani lagi datang di kios tuanku itu.
Aku tidak tega melihat mukanya yang memelas sehabis dipalak, aku tidak sanggup mendengarkan suaranya yang memekik ketika uang yang ia dapatkan dari hasil jerih-payahnya berjualan, begitu saja hangus dibawa oleh tangan-tangan yang tidak bertanggungjawab. Namun, ada yang lebih aku syukuri, tuanku tetap saja rendah hati, ia tidak melampiaskan kemarahannya pada apa pun termasuk padaku, ia bersikap lapang dada seperti tidak ada yang terjadi, entah itu karena tidak mau terlihat sedih di hadapanku atau karena hal lain.
Tepat pukul 18:00, hujan kembali datang mengguyur lebih deras dari biasanya, tuanku secepatnya membawaku pulang. Di tengah-tengah hujan deras itu aku mendengarkan kembali segala curahan hatinya, aku menjadi pendengar yang baik sekaligus penutup semuanya dari beribu rintik hujan yang jatuh ke bumi. Semua aku hadang demi melindunginya. Namun, ketika itu aku merasakan suatu firasat yang buruk, tidak biasanya aku merasa setakut ini, tanpa berpikir panjang aku langsung menepis semua firasat buruk itu. Aku tidak ingin ada setetes pun air hujan yang membasahi kepalanya gegara aku terlalu memikirkan firasat burukku itu.
Sekitar kurang lebih sudah lima ratus meter tuanku berjalan, tiba saatnya di sebuah pertigaan yang jaraknya tidak begitu jauh dengan rumahnya, aku dan dia menyeberang. Lima langkah sudah ia jalankan dari mulai pinggiran pertigaan, hingga ketika di tengah perjalanan sebongkah sayuran jatuh ke jalanan, yang membuatnya harus mengambilnya terlebih dahulu tanpa melihat arah kiri-kanan. Aku memang benda mati, namun aku memiliki mata yang diwariskan oleh tuanku selama hampir empat tahun itu, rasanya aku ingin berteriak, mendorong tuanku ke pinggir jalanan, tetapi seketika itu saja aku terpental begitu jauh, terbang—seolah tiba-tiba dianugerahi sayap. Akhirnya aku terbentur pada aspal jalanan yang membuatku terkikis begitu dalam dan sakit yang tak berdarah, aku mencari-cari tangan yang dua menit lalu begitu erat memegangku, mencari-cari suara yang berteriak sangat keras seperti merasakan sakit melebihi orang sakit biasanya, aku mencari semuanya.
“Di mana ia berada? Di mana kamu, Tuan? Di mana?” tanyaku layaknya manusia.
Aku tidak mendapati apa-apa, aku tidak mendapati tangan yang membangunkanku, aku tidak mendapati suara yang meminta maaf padaku ketika aku terjatuh, aku tidak mendapati semuanya. Namun, aku mendengar riuhan hiruk-pikuk orang-orang di tengah jalan yang sedang mengerumuni seseorang dan aku melihat ada darah yang mengalir dari sela-sela riuhan orang-orang itu dan tangan yang terjuntai lemah tak berdaya.
“Aku ingin menghampirinya Tuhan, siapa orang yang sedang tertabrak itu? Siapa dia? Dia tuanku, Tuhan. Beri aku kaki untuk yang terakhir kali, aku ingin melihatnya, aku ingin memeluknya,” pintaku.
Dengan harapan hidup yang sudah patah, aku memasrahkan diri. Untuk yang terakhir kalinya mungkin aku akan menutup mataku kembali. Tiba-tiba saja aku merasakan ada tangan yang sangat lembur memegangku dan kulihat ternyata dia tuanku. Tidak sedikit pun darah menempel di tubuhnya.
“Maafkan aku ya, Angel. Aku membiarkanmu terpental begitu saja, semoga kau tidak kenapa-napa?” katanya sambil membangunkanku.
Lalu siapa yang sedang dikerumuni orang itu? Entahlah, aku tidak terlalu memikirkannya, aku hanya ingin bersyukur kepada Tuhan karena telah menyelamatkan tuanku ini.(*)
Sukabumi, 07 Januari 2018, 19:58.
Ulfah Mawalatul Khoiriyah, akrab disapa Khoi, kelahiran 01 juli 2000. Penyuka hujan, senja, kopi manis dingin, dan kucing. Penulis buku solo antologi puisi “Kata yang Tidak Pernah Aku Istirahatkan”. Dapat dihubungi melalui aku social media diantaranya facebook Ulfah Mawalatul Khoi, IG Ulfah_Khoi, dan email: Ulfahmawalatulkhoiriyah@gmail.com
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita