Apa yang Dilakukan Orang-Orang bila Ingin Bahagia?

Apa yang Dilakukan Orang-Orang bila Ingin Bahagia?

Apa yang Dilakukan Orang-Orang bila Ingin Bahagia?

Oleh : Ning Kurniati

 

Saya mendeskripsikan diri saya sebagai berikut:

  1. Apa pun yang saya hadapi, saya akan berusaha mencari jalan keluarnya.
  2. Saya orang yang bersemangat.
  3. Saya orang yang suka menunda-nunda (tampaknya berseberangan dengan kalimat di atas).

Saya berhenti. Pulpen saya geletakkan begitu saja. Saya lalu beralih memandangi rimbunnya bunga pohon mangga di luar jendela. Dari rumah sebelah terdengar orang-orang berbicara disusul tawa yang keras. Mereka pasti bergosip. Apalagi. Satu-satunya era yang akan terus berlangsung selama manusia hidup adalah era pergosipan. Ke wilayah mana kakimu melangkah, ke mana wajahmu kau hadapkan, maka di sana dipastikan kau akan menemukan orang yang bergerombol dengan dalih niat silaturahmi atau mungkin iseng-iseng saja, atau mungkin cuma kepingin meramaikan suasana.

Bukannya berprasangka buruk ke mereka, tapi aneh pula bila saya tidak merasa—paling tidak—pernah menjadi bahan mereka. Ya sudahlah, kenapa pula saya harus mempermasalahkan itu. Seminggu atau sebulan atau setahun bisa jadi salah satu dari mereka yang menjadi bahan oleh beberapa yang lain atau mungkin saya. Sebab, siapa yang bisa menjamin dirinya terbebas dari dosa tertentu. Siklus ini seperti siklus musim hujan dan musim kemarau, hanya perkara waktu. Tidak ada yang menjamin seorang pun dapat lolos dari situasi macam ini. Maka dari itu, saya pun berkeinginan mengenal diri saya lebih baik lagi.

Saya beralih ke selembar kertas tadi. Masalah yang saya hadapi adalah masalah yang juga dihadapi orang lain, entah di mana entah kapan. Tidak ada seorang pun di dunia yang dapat bebas dari sebuah masalah. Tapi saya sendiri berpendapat bahwa setiap masalah pasti memiliki jalan keluar—bila Tuhan memberikan masalah, pasti Dia juga memberikan jalan keluarnya. Ini adalah keyakinan yang saya bangun sendiri sejak beberapa bulan yang lalu.

Mulanya, saya merasa sayalah orang yang paling terpuruk di muka Bumi ini. Pernah juga saya merasa sebagai orang paling sial atau paling tidak bermanfaat bagi orang lain, bahkan mungkin sumber keburukan bagi mereka. Lalu, mendadak saja saya membayangkan sebuah wilayah dengan api yang merah menyala, lalu memutih, lalu menghitam—hitam yang pekat—dan saya dilemparkan ke sana. Mungkin saya akan bertetangga dengan Firaun atau Namrud atau Abu Lahab atau siapa saja yang tak pantas di surga. Tubuh saya tersentak. Saya menggeleng berkali-kali. Lalu, saya menarik napas dalam-dalam, barangkali kepala saya kekurangan oksigen. Saya mendongak ke langit-langit rumah. Dengan begini, saya berharap Tuhan melihat saya yang sedang genting, butuh pertolongan. Tapi apa yang saya lihat, tentu saja langit-langit rumah.

Ah, ini perkara keyakinan. Saya yakin kalau apa yang terjadi dalam hidup ini berada dalam pengaturan-Nya Begitu saya mengucapkan kalimat ini, orang-orang di seberang juga bubar. Baguslah, pikir saya. Sebab dengan begitu saya bisa fokus ke diri sendiri. Yah, diri sendiri pun butuh fokus. Tapi bunyi sandal mereka yang nyaring bikin saya penasaran siapa. Dan itu menjadi alasan kenapa saya berdiri di balik jendela mengedarkan pandangan ke bawah.

Tubuh-tubuh yang gempal. Saya yakin berat badan terendah dari mereka kisaran 70. Selanjutnya angka-angka itu pastilah mendekati angka 90-an atau mungkin lebih. Salah satu dari mereka mendongak tepat ke arah saya. Namanya Marina. Saya biasa memanggilnya Tante Mar.

“Apa yang kau kerjakan?”

Saya menggeleng. Apa yang saya kerjakan, tidak ada. Bukankah dia melihat saya berdiri di sini.

“Adakah?”

“Apa, Tante?”

“Yang dimakan-makan.”

Saya mengangguk. “Ada. Nasi.”

“Hmm, siapa tahu kau punya pisang goreng,” jawabnya sambil berjalan mengalihkan pandangan dari saya.

Tante Mar masihlah kerabat Mama. Sepupu dua kali, begitu Mama menyebutkan hubungan kekerabatan mereka yang sering diulang-ulangnya. Sudah jauh, kata saya, tak perlu sering disebut-sebut. Tapi menurut Mama, keluarga adalah keluarga. Ia menuntut saya untuk memahami ini. Dan saya bilang, yah keluarga adalah keluarga, dan kita semua manusia di muka Bumi ini adalah satu keluarga, satu trah, trah Nabi Adam. Jadi, kita semua harus saling menyayangi. Mama pun bungkam. Saya merasa bersalah.

Jauh di belAkang Tante Mar, ada Tante Ida berjalan sendirian. Wajahnya tampak kusam dan tampak seperti orang yang dibebani masalah berat. Jalannya limbung. Berulang kali ia menghela napas. Dari terakhir kali saya melihatnya, kini tubuhnya tampak menyusut. Saya sedih melihatnya seperti itu, entah kenapa. Saya pun menyapanya dengan riang khas saya.

“Tante Ida.”

“Eih,” sapanya sambil mendongak melihat saya.

“Tidak ada apa-apa. Saya cuma mau menyapa.” Ia pun tersenyum. Saya tersenyum juga. Kemudian ia melanjutkan langkahnya yang lambang itu. Kini punggungnya sedikit bungkuk dan rambutnya sudah memutih menyeluruh.

“Tante?” teriak saya saat ia mau membelok masuk ke rumahnya. “Apa yang dilakukan orang-orang bila ingin bahagia?” Tapi mungkin ia sudah tidak mendengar teriakan saya. Sebab ia tak menjawab, tak menoleh juga. Padahal saya berharap ia menjawab spontan, apa pun itu jawabannya. Entah dengan bilang kau harus banyak mengingat Tuhaan atau bersyukur atau tersenyum, atau apa saja. Saya merasa ada beberapa hal yang jawabannya sudah diketahui, tapi saya perlu diingatkan kembali. (*)

15 November 2021

Ning Kurniati, perempuan yang menyukai buku dan bunga.

Editor : Devin Elysia Dhywinanda

 

Sumber Foto

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply