Apa yang Ada di Bulan yang Seharusnya Ada di Bumi
Oleh: Agung Setoaji
Terbaik Ke-11 TL-19
Pesawat Boeing 777 penerbangan Warsawa-Jakarta yang ditumpangi Mirna memasuki kawasan Asia. Seluruh penumpang, termasuk Putri, putri Mirna, sudah terlelap, kecuali Mirna. Semenjak pesawat memasuki wilayah udara internasional, wanita itu terus bersyukur bahwa ia dan putrinya bisa kembali ke tanah air. Namun, satu hal mengganjal di hatinya seperti kerikil yang mencucuk nurani.
Ia baru saja membaca ulang sebuah cerpen yang tayang di salah satu situs internet khusus sastra, kemudian membandingkannya dengan sebuah cerpen di sebuah buku kumpulan cerita, kiriman temannya, yang ia baca minggu lalu yang judulnya hanya satu huruf dan kovernya bergambar kelinci. Kedua cerpen tersebut sama-sama menggunakan ketiadaan suatu benda tertentu di bulan sebagai judul. Dan judul itulah yang menarik hatinya.
Mirna melayangkan pandangannya ke jendela, ke arah bulan yang bersinar dengan indahnya. Kata temannya yang mengirimi buku, kedua cerpen yang sedang memusar di kepala Mirna itu dibuat oleh dua penulis yang bersahabat. Ia mengira-ngira: mungkinkah sebelum menulis cerpen-cerpen tersebut kedua penulis itu berdiskusi tentang kekosongan yang ada di bulan dan betapa inspiratifnya itu?
Terjadi sedikit turbulensi dan itu membuat Mirna teringat pertanyaan-pertanyaan Putri ketika sedang menunggu pesawat di Frederic Chopin; pertanyaan yang sederhana tetapi amat menohok. Gadis tujuh tahun itu tidak mengerti mengapa mereka harus pulang, mengapa harus ada perang, dan apakah Katya dan keluarganya akan baik-baik saja.
Sungguh, Mirna tak tahu sebagian besar jawabannya. Andaikan ia tahu, ia merasa semua itu terlalu berat untuk diserap Putri. Maka, ia mengajak Putri berdoa untuk Katya dan keluarga Rebrov; satu-satunya hal yang ia bisa lakukan untuk keselamatan mereka.
Katya Rebrov adalah satu-satunya teman yang bisa Putri dapatkan setelah delapan bulan menetap di Kiev. Mereka pindah ke sana usai Mirna mendapatkan tawaran pekerjaan di salah satu perusahaan televisi independen di kota itu. Gadis berambut pirang bermata sebiru samudra itu adalah satu-satunya anak perempuan seumuran Putri di apartemen yang ditinggali Mirna dan Putri. Kamar mereka bersebelahan.
Persahabatan kedua gadis itu dipermanis dengan persahabatan Mirna dengan pasutri Rebrov, nenek dan kakek Katya. Di apartemen itu, hanya kedua pasutri itulah yang bisa berbahasa Inggris, dan mereka sangat ramah. Mereka kerap menghabiskan waktu bersama dengan mengobrol, berjalan-jalan di taman kota, dan makan malam. Mirna selalu menyukai kiriman varenyky1 dan borscht2 dari Valentina, dan ia menukarnya dengan donat kentang buatannya. Keluarga Rebrov menyukainya dan menganggap itu pertukaran yang setimpal.
Sayangnya, persahabatan antarnegara dan antarras itu yang terjalin hangat itu harus terputus sementara oleh keputusan Presiden Putin dan kabar kedatangan tentara Rusia. Mirna harus pulang setelah pihak KBRI menjemput mereka untuk dibawa ke Polandia lalu Jakarta. Usai mengemas barang-barang yang diperlukan, Mirna dan Putri mengetuk pintu sahabatnya.
“Where would you go?” tanya Mirna cemas.
“Hungary. But we have to wait for Andrey to come home first,” jawab Valentina. Andrey sedang ke kantornya di National Art Museum of Ukraine untuk mengamankan lukisan dan karya seni lainnya.
“I wish I could bring you, but I–”
“You go first. This is not your war. I will pray for you to have a safety journey.”
“I will pray for you too. Promise me that you will call me after you and your family arive at Hungary.”
“I will. Send my regards to your mother.”
Keduanya pun berpelukan.
Di ruangan yang sama, keharuan serupa pun menyesakkan dada Putri dan Katya. Kedua gadis itu menggengam erat tangan masing-masing sambil bertukar janji. Katya berkata akan menjaga persahabatan mereka dan melanjutkan mengajari Putri bahasa Ukraina via daring setelah keadaan aman. Putri membalas dengan menyerahkan Momo, boneka kesayangannya yang berwujud kucing candramawa yang mengenakan jas krem, berdasi kupu-kupu merah, dan berkacamata
“Dlya mene?3”
Putri mengangguk. Boneka itu adalah hadiah terakhir dari ayah Putri sebelum menghadap Tuhan. Bagi Putri, Momo adalah harta, tetapi ia tahu Katya menyukainya dan persahabatan lebih berharga.
Tangis haru mewarnai pelukan yang kian erat. Kedua bocah itu mungkin tidak tahu arti perang, tetapi seseorang tidak perlu menginjak usia remaja untuk memahami pedihnya perpisahan, dan itu meremukkan hati Mirna dan Valentina.
***
Aroma rendang, sambal goreng kentang, dan emping goreng menggelitik hidung dan perut Mirna. Selera makannya terbit. Setelah dua hari berada di Jakarta, hari itu adalah kali pertama ia berselera untuk makan makanan berat. Ia mengisi setengah piringnya dengan nasi yang yang baru saja tanak, lalu mengambil sepotong rendang dan beberapa keping emping, kemudian duduk mendeprok di sofa ibunya, tepat di samping sang ibu yang sedang menikmati FTV.
“Apa kamu akan kembali ke sana?” Ibu Mirna bertanya.
“Mungkin.”
“Kamu tidak harus kembali. Carilah pekerjaan di sini saja. Ibu dengar tempat kerja lamamu masih mengharapkan kamu kembali.”
Mirna menghela napas. Kembali ke sana adalah pilihan berat. Di sanalah ia bertemu dengan mendiang suaminya. Setiap sudut tempat kerjanya selalu membangkitkan kenangan-kenangan yang manis, yang melahirkan kerinduan.
“Mirna akan kembali, tetapi tidak untuk bekerja.”
“Kamu masih mengkhawatirkan mereka?”
Selera makan Mirna menguap. Lauk dan nasinya masih tersisa setengah. Warna merah rendang mengingatkannya pada borscht Valentina. Ia merasa malu sekaligus merindukan keluarga Rebrov. Apakah mereka selamat? Apakah mereka bisa makan? Pertanyaan itu menyergap benaknya. Ia ingin sekali berbicara dengan mereka. Namun, sejak ia tiba di Soekarno-Hatta, ia tak bisa menghubungi mereka. Dan hingga saat ini Valentina tak kunjung memberi kabar.
Dalam kekhawatiran, ia mengutuk perang dan hal-hal yang menyebabkannya. Ia pun teringat perenungannya di pesawat, dan membayangkan bahwa di Bulan—konon—selain bendera USA dan jejak Neil Armstrong, benar-tidak ada apa-apa di sana, lalu berharap agar di bumi–selain umat manusia, boneka kucing, donat kentang, dan benda-benda penunjang kehidupan manusia–berlaku keadaan serupa: tidak ada negara, tidak ada ras, tidak ada tentara, dan tidak ada dendam. Bukankah kekosongan dari semua itu tidak akan menimbulkan perbedaan yang berujung kepada perang, pikirnya.
Lamunan Mirna terputus. Televisi yang tadi sedang menayangkan FTV favorit ibu-ibu, dijeda oleh berita singkat. Serangan roket Rusia telah mencapai Kiev dan menimbulkan kerusakan di beberapa wilayahnya.
Seorang reporter berdiri di depan bangunan yang terlihat familier bagi Mirna. Gambar-gambar rekaman menunjukkan lubang besar yang masih mengepulkan asap berada di lantai tiga, lantai yang dihuni Mirna, kemudian beralih ke puing-puing di bawahnya. Mirna merasa jantungnya meledak usai melihat sesuatu terbaring di puing-puing. Benda itu berwarna dan berbentuk kucing berkacamata, jasnya sudah menghitam oleh debu dan dinodai bercak darah.
Selama beberapa detik Mirna terpasak di depan TV seperti jamur yang tumbuh dengan ganjil. Ia tidak menyadari Putri sudah keluar kamar dan berdiri di sampingnya.
“Mir!” Ibunya Mirna memberi kode.
Mirna terperanjat selama sepersekian detik ketika mendapati Putri. Ia menyambar remote TV untuk mengganti saluran, tetapi Putri keburu menjerit.
“Mama! Lihat, itu Momo! Itu Momo, Ma. Cepat telepon Katya, Ma. Bawa mereka ke sini!”
“Tenang, Sayang. Mama telepon mereka sekarang.”
Mirna meraih ponselnya dan menekan nomor kontak bertuliskan “Valentina Rebrov” dan “Andrey Rebrov”, tetapi tetap tidak ada jawaban dari keduanya. Semenit, dua menit, tiga menit, hingga setengah jam berlalu dan hatinya serasa dikoyak-koyak. Ia terus mencoba, dan bukan lagi untuk Putri, tetapi juga untuknya.
Karawang, 20 Maret 2022
Catatan:
1Varenyky: disebut juga pierogi, pangsit tradisional Ukraina yang berisi daging.
2Borscht: sup tradisional Ukraina yang berwarna mereha karena terbuat dari bit
3“Dyla mene?”: “Untukku?”
Agung Setoaji, bapak-bapak beranak dua yang gemar sekali overthinking.
Komentar juri, Berry Budiman:
Saya sudah menduga—dan mungkin diam-diam menanti—akan ada cerpen yang mengangkat topik yang terjadi sekarang, perang Rusia-Ukraina, tetapi dengan cara yang tidak tendensius. Ada beberapa naskah yang demikian, mungkin 2 atau 3 saja, dan hanya cerpen ini yang ditulis dengan elegan. Ide dan alur ceritanya tidak muluk-muluk. Pas. Dan saya suka sekali bagian “puitis” di cerpen ini, ketika ia masuk ke lamunan Mirna tentang bulan dan kekosongannya.
Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang digelar di grup FB Komunitas Cerpenis Loker Kata (KCLK)
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata