Judul : Apa Salah Laksmi dan Ibunya?
Oleh : Siti Nuraliah
Suara gesekan daun bambu di belakang rumah Laksmi terdengar seperti nyanyian pengantar kesunyian di telinganya. Semakin terasa sunyi lagi saat suara-suara derit pohon mahoni yang diterpa angin cukup kencang itu bersahutan. Tidak ada yang peduli kepada Laksmi. Pada perasaannya, pada pikirannya, terlebih pada keadaan hidupnya sekarang ini.
Orang-orang mengatakan Laksmi pantas diganjar dengan kehidupan seperti sekarang, serupa pepatah siapa yang menanam dialah yang menuai hasilnya, dan Laksmi sedang memetik buah dari apa yang telah bertahun-tahun ia tanam, begitulah orang-orang di kampung ini bilang.
***
Sembilan belas tahun yang lalu, saat umur Laksmi menginjak 18 tahun dan baru lulus SMA,satu per satu isi rumah Bu Ratna—ibunya Laksmi—dijual untuk menyambung hidup. Ini terjadi setelah beberapa tahun sepeninggal ayah Laksmi yang mati mendadak akibat serangan jantung. Bu Ratna kewalahan jika hanya mengandalkan uang hasil jualan kue kelilingnya, karena masih ada tiga adik Laksmi yang membutuhkan biaya. Satu, kelas sebelas SMA dan yang dua masih sekolah SMP kelas 8, dan kelas 9.
Mula-mula Laksmi meminta ibunya agar menjual mesin pompa untuk ongkos dirinya ke Jakarta mencari kerja. Ibunya dengan berat hati mengabulkan permintaan anak pertamanya, sebab Bu Ratna juga seperti mendapat angin segar, ia juga berpikir siapa tahu bisa membantu biaya tiga adik-adiknya.
Akhirnya mesin pompa terjual dengan harga yang cukup untuk ongkos Laksmi dan bekal selama ia mencari kerja. Untungnya, di belakang rumah Bu Ratna masih terdapat sumur, cukup untuk mandi dan cuci kakus. Jadi tidak perlu repot-repot mengambil air ke kamar mandi umum yang tempatnya lumayan jauh dari rumah Bu Ratna.
Laksmi telah meninggalkan kampung halamannya. Namun, selang sebulan ia kembali lagi ke rumah ibunya. Bu Ratna kaget, karena Laksmi pulang bersama seorang laki-laki yang umurnya ditaksir Bu Ratna sekitar 40 tahunan. Sebelum Bu Ratna bertanya mengenai laki-laki asing yang dibawa anaknya itu, Laksmi sudah lebih dulu memberitahukan bahwa laki-laki itu orang yang akan memperkerjakan Laksmi di sebuah hotel mewah. Bayarannya mahal. Bu Ratna sempat ragu, tapi dengan kelihaian bicara dari laki-laki yang dibawa Laksmi, akhirnya Bu Ratna luluh.
Tujuannya memang begitu, Laksmi tidak akan mungkin membuat percaya ibunya kalau tidak membawa laki-laki itu.
Pada malam kepulangan Laksmi ke kampungnya itu, ia meminta satu lagi barang di rumah Bu Ratna untuk dijual. Sebab, bekerja di hotel mewah mesti memakai pakaian yang bagus, katanya. Laksmi memohon kepada ibunya, agar menjual kulkas–satu-satunya barang yang cukup berharga selain TV yang sudah terjual seminggu yang lalu untuk membayar iuran bulanan adiknya Laksmi yang SMA.
Bu Ratna membantah permintaan anak pertamanya kali ini.
“Kulkas ini, satu-satunya barang untuk menyimpan kue-kue Ibu, La!” tegas Bu Ratna.
“Sementara ini, Ibu jangan jualan kue yang mesti disimpan di kulkas dulu. Nanti gajian pertama, Laksmi janji akan ganti kulkas Ibu.”
Orang-orang di kampungnya semakin heran, saat suami Bu Ratna masih hidup, keluarga ini tidak pernah sekali pun hidup kekurangan, bahkan termasuk keluarga yang disebut kaya oleh tetangganya, karena satu-satunya keluarga yang bisa menyekolahkan anaknya sampai tingkat SMA. Suami Bu Ratna yang bekerja sebagai sopir truk tronton itu kesohor banyak uang. Ada juga yang menyayangkan, Bu Ratna tak pandai menyimpan uang, kalau saja dulu Bu Ratna rajin menabung, pastilah sekarang tidak akan banyak isi rumahnya yang dijual.
Dua adik Laksmi yang Masih SMP akhirnya putus sekolah, mereka memilih untuk membantu ibunya menjual gorengan di depan rumahnya. Kadang-kadang juga dibawa keliling kampung. Kata Bu Ratna, biar saja perempuan tidak perlu sekolah tinggi, kalau Deni—adik Laksmi yang masih SMA, karena dia laki-laki maka Bu Ratna mempertahankan agar tetap sekolah sampai lulus, biar tidak susah cari kerja. Perempuan, yang penting bisa masak dan beres-beres rumah.
Satu tahun setelah kedatangan Laksmi bersama laki-laki asing, terdengar kabar entah dari mana, Laksmi dipenjara karena ketahuan membawa barang haram. Bu Laksmi jatuh sakit mendengar kabar itu, tidak ada lagi barang berharga di rumahnya untuk dijual agar bisa menebus Laksmi dari penjara. Namun, ternyata Laksmi dibebaskan oleh bosnya.
Sesuai janji Laksmi—meski meleset dari janjinya pertama kali—ia datang setalah dua tahun bekerja. Ada yang berbeda, Laksmi kembali ke kampungnya tengah berbadan dua. Menurut pengakuan Laksmi, ia sudah menikah dengan laki-laki bule. Tidak memakan waktu sangat lama, rumah Bu Ratna telah berdiri kukuh direnovasi. Isi rumahnya juga telah diisi kembali oleh Laksmi dengan barang-barang yang lebih bagus dan mahal. Semua orang mempunyai julukan baru untuk Laksmi, si Pohon Dolar. Entah dari mana uang-uang itu didapat. Orang-orang kampung tidak ada yang berani bertanya langsung, mereka hanya menerka-nerka, sebenarnya Laksmi kerja apa?
“Sekarang rumahnya sudah bagus, ya, Bu Ratna!” sapa salah satu tetangganya, saat sedang berkumpul memilih sayuran.
“Iya, itu rumah Laksmi. Kan dia yang bangun,” jawab Bu Ratna.
“Loh, kok, rumah Laksmi, Bu?” Satu tetangganya menimpali lagi.
“Rumahnya sudah disurati, atas nama Laksmi, Bu, Ibu,” jawabnya lagi sambil tersenyum. “Kan, tanah yang itu memang bagiannya Laksmi, jadi mungkin mumpung sekarang lagi ada uang, sekalian dia bangunkan rumah,” sambung Bu Ratna.
“Si Laksmi kerja apa, Bu Ratna? Sekarang uangnya banyak, ya!”
Bu Ratna tidak langsung menjawab pertanyaan tetangganya, ia sibuk menghitung belanjaannya.
“Pokoknya kerja di rumah besar,” kata Bu Ratna sambil berlalu meninggalkan para tetangganya yang masih penuh tanda tanya.
Deni, selepas lulus sekolah dicarikan pekerjaan oleh Laksmi di sebuah perusahaan batu bara. Laksmi yang berparas cantik dan mudah bergaul itu, dengan mudah bisa memasukkan adiknya di sana. Entah bagaimana caranya. Di Jakarta, Laksmi sudah mempunyai rumah, sehingga hanya setahun sekali ia pulang untuk bertemu ibunya dan kedua adik perempuannya.
Entah berapa kali Laksmi telah berganti suami. Setiap pulang kampung, ia akan membawa lelaki yang berbeda yang diakui sebagai suaminya. Anak pertamanya berparas ayu, matanya biru, kulitnya putih dan rambutnya pirang. Jelas sekali, tidak salah Laksmi saat pertama kali pulang kampung mengaku bersuami seorang bule. Anak keduanya, berkulit hitam gelap, parasnya khas orang Indonesia bagian timur. Kedua anaknya hanya berjarak satu tahun. Dan sekarang tengah mengandung lima bulan.
Desas-desus di kampungnya semakin tidak enak didengar oleh ibunya, Bu Ratna memang tidak pernah bertanya secara rinci apa pekerjaan Laksmi sebenarnya.
“Kalau itu memang pekerjaan baik, bawalah kedua adik perempuanmu ini untuk ikut ke sana,” kata Bu Ratna waktu itu.
“Mereka biar saja tetap di sini temani ibu.” Jawaban Laksmi membuat Bu Ratna tidak ingin bertanya lebih banyak lagi.
***
Bertahun-tahun sudah berlalu, Laksmi sudah jarang pulang kampung. Kedua adik perempuannya sudah menikah. Dan Deni baru saja bercerai dengan istrinya. Suatu sore, Bu Ratna terbatuk-batuk di rumahnya saat sendirian. Karena kedua anak perempuannya sudah dibawa oleh suaminya masing-masing.
Bu Ratna batuk-batuk sampai larut malam, dan esok paginya, lampu rumahnya tetap menyala sampai siang. Akhirnya tetangganya yang menaruh curiga, berbondong-bondong menggedor rumah Bu Ratna. Namun nahas, Bu Ratna ditemukan sudah hilang nyawa.
Semua tetangganya panik, mereka bingung hendak memberi tahukan anak-anak Bu Ratna lewat apa. Tidak ada yang tahu nomor telepon anak-anaknya. Akhirnya atas kesepakatan tokoh masyarakat setempat, jenazah Bu Ratna tetap diurus dan dikuburkan. Mereka mengira-ngira kalau Bu Ratna terkena penyakit batin, karena akhir-akhir ini sering terlihat melamun.
Setelah seminggu kepergian Bu Ratna, barulah Laksmi pulang dengan penampilan yang berubah. Ia menangis meraung-raung setelah diberi tahu kalau ibunya meninggal seminggu yang lalu. Ada yang beda, kali ini Laksmi pulang dengan tangan kosong, tidak ada ke tiga anaknya, tidak ada tentengan plastik-plastik beraroma buah dan martabak. Tidak ada baju bagus di tubuhnya, dan wajahnya tampak kusam serta merah seperti udang rebus. Pastilah Laksmi sudah melepas perawatan wajah dan tubuhnya.
***
Banjarsari, 02 November 2020.
Siti Nuraliah. Perempuan sederhana, kadang suka menulis kadang suka membaca.