Anugerah Terindah
Oleh : R Herlina Sari (RHS)
Memiliki seorang anak berkebutuhan khusus bukan hal yang mudah bagi orang tua mana pun. Apalagi saat mengetahui bahwa sang buah hati terkena muscular distrophy. Penyakit langka yang hanya terjadi dari sekian ratus kelahiran. Penyakit yang belum ada obatnya.
Setelah sekian tahun menunggu, akhirnya pasangan suami istri double A, mendapatkan keturunan. Ya, Antika dinyatakan hamil setelah usia pernikahan mereka sepuluh tahun. Amar dan Antika begitu bahagia dan menjaga kandungan selama masa kehamilan.
Selama sembilan bulan terlewati, akhirnya Antika melahirkan seorang bayi laki-laki yang kemudian diberi nama Anugrah. Hari-hari berjalan sempurna seperti biasanya. Mereka bertiga hidup bahagia.
Sampai pada suatu ketika, saat-saat Anugrah harus memulai aktivitasnya seperti bayi pada umumnya. Sampai pada usia dua belas bulan, Anugrah tidak mampu menjejakkan kakinya dengan sempurna. Pun ketika mencoba melangkah hanya berhasil menapak satu jejak. Terkadang Anugrah terjatuh dan enggan untuk berdiri. Bayi itu terdiam tanpa tangis.
Pada waktu itu, Amar dan Antika merasa bahwa Anugrah hanya belum mampu berjalan. Anugrah sudah pintar berbicara dan mulai mengucapkan satu atau dua patah kata. Daya tangkap dan ingatnya juga cukup tinggi. Konon, orang tua bilang pertumbuhan setiap anak berbeda. Ada yang lebih cepat berjalan daripada berbicara pun sebaliknya.
Kondisi itu berlalu hingga usia Anugrah tiga tahun. Kaki Anugrah tumbuh tidak seperti biasanya cenderung lebih kecil dari balita pada umumnya dan terlihat sedikit bengkok seperti membentuk huruf X. Akhirnya, dengan segala pertimbangan yang ada Amar dan Antika membawa Anugrah ke dokter spesialis anak.
“Sudah berapa lama kondisi Anugrah seperti ini Pak, Bu?” tanya Dokter Anita.
“Sejak usia satu tahun, Anugrah belum bisa berjalan, Dok. Hanya menapak satu atau dua langkah saja. Sementara tulang mengecil baru kami ketahui sebulan yang lalu.”
“Mengapa baru sekarang dibawa ke sini?” Dokter Anita bertanya sambil sedikit mengernyitkan dahi.
“Kami pikir hanya terlambat berjalan saja karena Anugrah lebih cepat berbicara. Anaknya juga masih ceria seperti biasanya. Makan pun sangat lahap.”
“Saya akan melakukan serangkaian tes, sebaiknya Anugrah dirawat di rumah sakit ini.”
“Baiklah, Dokter. Lakukan yang terbaik untuk anak kami.”
Amar dan Antika pasrah, dengan segala kemungkinan yang ada. Antika menangis sesenggukan, tak kuasa melihat sang buah hati berkali-kali disuntik dengan dalih pengambilan darah sebagai sample. Serangkaian tes Anugrah jalani hingga hasil yang tertuang pada selembar kertas memutarbalikkan hati kedua orangtuanya.
‘Distrofi otot tipe Duchenne atau Duchenne Muscular Dystrophy (DMD) + positive.’ [1]
Melihat hasil yang tertera pada selembar kertas diagnosa, membuat Antika menjerit dan menangis pilu. Bagaimana tidak? Buah hati yang digadang-gadang akan membawa kebahagiaan justru merasakan perih yang berkepanjangan. Namun, itu tak kunjung lama. Berkat serangkaian proses pengobatan, setidaknya semua itu bisa ‘sedikit’ teratasi. Keberuntungan masih berada di pihak keluarganya. Anugrah hanya mengalami distrofi otot kaki sehingga masih bisa ia menggerakkan tangan pun setengah badannya. Anugrah hanya tak akan mampu berjalan normal layaknya manusia pada umumnya.
Antika dan Amar selalu setia mendampingi sang buah hati secara bergantian. Memberikan motivasi yang benar, menguatkan bahwa Anugrah adalah anak yang dipilih oleh Allah untuk menerima ujian. Hingga saat ini, usia Anugrah sudah mendekati 15 tahun.
Anugrah tak punya rasa minder, dia tumbuh sebagai seorang lelaki tampan yang berpikiran positif walaupun harus duduk di kursi roda. Rasa keingintahuannya cukup tinggi , mempunyai otak pintar dan tangan yang terampil. Hingga pada suatu hari, kala sedang duduk bertiga di teras rumah, dia menatap jauh ke depan. Melihat anak-anak remaja yang sedang berlari, berkerjaran dengan mata berkaca-kaca. Antika pun Amar juga tahu rasanya. Buah hatinya ingin sekali bisa berjalan dan bermain dengan teman sebayanya.
“Ayah, Nunug ingin belajar robotika. Apakah Ayah dan Ibu mengijinkan?” pinta Nunug–nama panggilan Anugrah–saat itu, dengan tatap penuh harap.
“Kak Nunug yakin? Tidak malu kalau bertemu teman-teman lainnya?” Amar bertanya untuk melihat kemantapan hati putranya. Bukan ia tak mengijinkan, hanya saja Amar membutuhkan kepastian Anugrah.
“Nunug yakin, Ayah. Nunug akan giat belajar. Tolong ijinkan Nunug.”
“Baiklah, Ayah dan Ibu mengijinkan.”
Akhirnya, dengan berbagai macam pertimbangan dan observasi tempat pembelajaran. Antika dan Amar memilih Robotics Education Center. Tempat Anugrah belajar untuk membuat robot serta melakukan eksperimen tentang beraneka ragam mekanisme dan aturan-aturan tentang robotika.
Dua tahun berlalu, hari itu Anugrah pulang sambil tersenyum seperti biasa. Ayahnya tidak bisa menjemput sehingga hanya sopir pribadilah yang menjemputnya. Antika sedang memasak makanan kesukaan Anugrah. Sayur kangkung, sambal beberuk, dan tahu bacem menjadi favorit Anugrah.
“Ibu, Nunug pulang ….”
Antika menoleh, seketika matanya berkaca-kaca setelah sekian lama Anugrah hanya mampu duduk di atas kursi roda. Kini ia bisa melihat Anugrah sedikit bahagia dengan hasil sebuah robot kaki di tangan kanannya.
“Kak Nunug, ka–“ Belum sempat selesai mengucap tanya. Anugerah sudah menjelaskan semuanya.
“Ini hasil dua tahun Nunug belajar, Ibu. Nunug pengen bisa berdiri seperti teman-teman. Akhirnya cita-cita Nunug bisa terwujud. Selama di REC Nunug hanya fokus di satu bidang. Mewujudkan cita-cita Nunug untuk bisa berdiri dan berjalan. Walaupun masih jauh dari kata berlari. Sekarang ini hasilnya, Nunug berhasil membuat robot kaki. Ya, walau pada akhirnya tidak bisa Nunug pakai.” Anugrah menjelaskan semuanya. Sambil natanya sedikit berkaca-kaca, ada pendar rasa kecewa.
“Tidak apa-apa, Kak Nunug bisa bantu orang lain yang membutuhkan. Contohnya korban kecelakaan yang kakinya diamputasi. Kerja keras Kakak akan tetap berguna bagi masyarakat luas. Ibu bangga sama Kakak.” Antika memberikan pelukan menenangkan.
“Ini semua, Nunug persembahkan untuk Ayah dan Ibu. Selama ini menyayangi Nunug dengan sepenuh hati walau Nunug terlahir tidak sempurna.”
Kata-kata Anugrah membuat Antika menangis. Air mata haru. Setelah perjuangan selama tujuh belas tahun, akhirnya Anugrah mampu membuat sesuatu yang bisa bermanfaat bagi orang lain. Membantu orang lain berdiri dengan robot kaki hasil belajarnya dua tahun. Ibu mana yang tak bahagia? Ibu mana yang tak merasa bangga?(*)
Surabaya, 25 April 2020 (hasil revisi)
[1] Distrofi otot Duchenne (bahasa Inggris: duchenne muscular dystrophy, disingkat DMD) adalah distrofi otot yang menjangkiti satu dari 3.600 anak laki-laki dan dapat menyebabkan degenerasi otot dan kematian.
Tentang Penulis:
RHS. Cecan dari Surabaya. Sering tersesat hingga tak tahu arah jalan pulang. Menulis baginya hanya sekadar untuk menjaga kewarasan, dari ganasnya aksara buta yang nantinya membentuk sebuah cerita. Tentang kita yang masih terbilang rahasia. Iya, rahasia sesuai singkatan dari namanya. Apakah kamu percaya? Sok pantengin aja wall FB-nya dijamin akan terpesona dari seribu arah mata angin. Hingga akhirnya tergila-gila.
Editor: Respati
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.