Antara Aku dan Ayah
Oleh : Ning Kurniati
Hari ini, pagi-pagi sekaliMaryam menghubungiku. Ia mengabarkan Ayah sedang sakit, kemudian memintaku untuk pulang, secepat mungkin dan aku hanya bisa menghela napas ketika mendengarnya. Sebuah hal yang rasanya tidak akan penah dan ingin kulakukan. Namun permintaan adikku itu, dari ucapannya, seperti sesuatu yang harus kupenuhi. Ia meminta dengan sepenuh hati, seolah bila aku tidak datang maka tidak ada lagi kesempatan selanjutnya.
Sudah lama hubungan kami—aku dan Ayah—tidak baik. Kami sama-sama salah dengan posisi masing-masing. Aku tahu,biar bagaimanapun Ayah tetaplah ayahku. Meski seluruh air lautan dipakai untuk mencuci, tidak akan mungkin mengubah kentalnya darah antara ayah dan anak.
Sebelumnya aku adalah anak yang begitu dekat dengan Ayah ketimbang Ibu. Ke mana ia pergi rasanya tak nyaman bila aku tidak mengikut dan bergelendot di gendongannya. Kepulangan Ayah selalu kutunggu-tunggu. Senyumannya kunanti-nanti. Pelukan hangatnya kurindukan, meski ia bau keringat.
Ibu kadang-kadang cemburu dengan kedekatan kami. Pasalnya jarang sekali aku protes bila ia yang bepergian. Kata orang-orang, aku selalu terlihat biasa-biasa saja bila itu berkaitan dengan Ibu, sedangkan antara aku dan Ayah seolah ada lem perekat yang merekatkan kami. Namun lem itu sudah mencair dan sirna tak berbekas. Sisi lekat itu sudah hancur bertahun-tahun lalu. Saat kesalahan tak bisa lagi disebut kesalahan. Ia adalah kutukan yang siapa pun tak ingin pernah mengalaminya.
Ibu meninggal tepat di hari kelulusanku ketika bersekolah di SMA. Berbeda dengan teman-teman yang lain, aku pulang dengan mendapati malapetaka di rumah. Semuanya tiba-tiba menjadi hitam beraura kematian. Semua mata yang memandang ingin kututup dari bingkai kerangkanya. Aku ingin mereka tak melihat sedikit pun. Beban itu memalukan. Amat memalukan dan menyesakkan sehingga rasanya aku ingin ikut Ibu.
Aku tak pernah lagi ingin melihat muka Ayah setelahnya. Rasa sayang yang kumiliki menguap begitu saja. Tak berbekas. Pernah ada, namun sirna.
Kadang di sela khayalanku, kudatangi Ayah dan hubungan kami bisa kembali membaik layaknya orangtua dan anak. Namun sebentar kemudian, saat bayangan Ibu datang, rasa sesak itu kembali memenuhi paru-paruku seolah oksigen tak bersisa lagi di dunia. Ia ikut tiada bersama Ibu.
Ayah menikah lagi. Biar saja aku tidak peduli. Tanteku—saudari Ayah—ketika itu menghubungi, seminggu sebelum perayaan itu akan dilaksanakan. Aku tahu ia sedikit berharap keponakannya ini akan datang. Dan ia juga pasti tahu adalah sebuah keajaiban bila aku datang dan menyaksikan itu semua. Saat seperti itulah bukannya aku mampu meredam emosi, malah emosi itu semakin bertambah dan bertambah lagi bila bayangan Ayah muncul di benakku. Senyumnya, pelukannya, cara memanjakanku. Aku tidak bisa terima. Aku menangis meraung-raung, berharap semuanya hanyalah mimpi dan keesokan harinya kami seperti dulu lagi.
Tapi itu tidak pernah terjadi. Esok harinya, seharusnya di mana aku mengingat Allah terlebih dahulu, aku malah mengingat malapetaka itu. Kekelaman keluarga kami. Temanku mengatakan, Allah selalu memberikan yang terbaik untuk hamba-Nya. Jadi aku berpikir, apa kekelaman itu yang terbaik? Apa kemungkinan ada kekelaman yang lebih gila ketimbang hari itu? Seandainya bila ada faktor kejadian yang berubah—aku menyebutnya faktor apa yang menjadi sebab dari akibat—apa bisa keluarga kami seperti keluarga yang normal?
***
“Kau tidak berperasaan?”
“Kalau aku tidak berperasaan, mana mungkin aku hidup.”
“Sudahlah, Kak. Seharusnya kau coba memahami dan menerima. Kau bersikap seperti ini, apa bedanya kau dan Ayah?”
Pertanyaan yang ganjil sekali di telingaku. “Apa bedanya aku dan Ayah? Jelas sangat berbeda. Ayah mem—”
“Seharusnya kau coba me—”
“Mana mungkin aku bisa melupakan. Kau yang tidak paham dalam hal ini. Kalau kau paham, kau tidak akan mengata-ngataiku.”
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam.”
Setiap manusia memiliki dosa. Siapa yang tidak tahu? Tapi yang dilakukan Ayah adalah sesuatu yang tidak bisa kupahami apalagi kuterima. Percit darah di tubuhnya, raut wajah Ibu, mana mungkin aku bisa memahami apalagi melupakan. Sedikit pun aku tidak bisa. Bahkan tahun yang berlalu tak mampu mengubah gambaran itu di kepalaku. Gambaran itu sejelas seolah peristiwa itu baru terjadi kemarin sore. Memang Maryam tidak akan memahami kondisi ini karena ia masih dalam gendongan ketika peristiwa itu terjadi. Tapi, apa Ayah benar-benar melakukannya? (*)
29 November 2019
Ning Kurniati, perempuan dengan mimpi yang terus bertambah-tambah. Dapat disapa melalui link bit.ly/AkunNing
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata