Antah Berantah
Oleh: Uzwah Anna
Pena bergerak dengan sendirinya. Menari-nari di atas kertas putih. Menggoreskan berbaris-baris kalimat. Satu halaman, dua halaman hingga tujuh halaman. Dia berhenti dan langsung merebahkan dirinya kembali di atas meja, tepat di samping kertas yang baru saja menampung bercak tintanya.
Aku mendekat. Melihat dan entah mengapa, sepertinya tanganku bergerak dengan sendirinya, tanpa kendaliku. Bibir pun begitu, berkomat-kamit dengan sendirinya. Membaca setiap deret huruf dari lembar pertama hingga terakhir. Lantas kabut tiba-tiba mengepul. Putih memenuhi ruangan. Tubuh semacam tersedot. Berputar-putar. Dan tak tahu bagaimana, tiba-tiba aku terlempar di dunia antah-berantah. Sebuah dunia yang tak pernah kupahami, bahkan bermimpi pun tidak.
Beberapa ekor kambing sedang melihat aneh ke arahku. Mereka berbincang menggunakan bahasaku, bahasa manusia.
“Lihat, lagi-lagi manusia datang ke tempat kita,” ucap salah satu kambing tersebut pada kawan-kawannya.
“Ah, aku malas sekali dengan manusia. Bisa tidak, sih, mereka lenyap saja dari muka bumi ini. Huh, menyebalkan!” timpal kambing lainnya.
“Mereka menganggap dirinya sebagai pemimpin di dunia. Tapi, pada kenyataanya justru menjadi PERUSAK! Lihat, berapa banyak kerugian di dunia akibat ulah mereka. Dasar BODOH!”
Aku segera mengalihkan pandang. Melewati segerombolan kambing tersebut seraya menutup kedua telinga. Sebagai manusia yang biasa mengkritik, aku tak siap dikritik secara blak-blakan. Apalagi oleh binatang-binatang seperti mereka.
Cih, menjijkkkan!
Tak jauh dari tempatku berpijak, di depan ada sebuah bangku panjang berwarna cokelat. Kebetulan, lututku terasa hampir patah. Aku akan ke sana sekedar duduk barang sejenak. Kuarahkan langkah pada satu-satunya bangku kayu yang berada di bawah pohon besar meranggas tersebut. Sepertinya pohon gundul ini sudah lama mati.
Aku terkejut ketika sebuah suara tiba-tiba muncul di sekitarku. “Jangan tempelkan pantatmu pada tubuhku, Keparat,” bentak Bangku tersebut.
Aku terlonjak, kaget.
“Seenaknya saja ingin mendudukiku.”
Kagetku semakin menjadi-jadi tatkala melihat lampu taman menggeliat. “Hei, Bangku, bisakah kau pelankan suaramu? Aku baru saja terpejam. Kau tahu sendiri, bahwa setiap malam aku mesti begadang untuk menerangi jalanan ini. Jadi, mumpung siang biarkan aku tidur,” gerutu lampu taman. Dia sedikit kesal karena tidurnya terganggu oleh suara cempreng si Bangku: mirip wanita tua mengomel.
Tubuhku terjengkang saking kagetnya. Bagaimana bisa benda-benda—yang dianggap mati di duniaku—di sini bisa berbicara layaknya manusia. Mereka hidup!
“Dasar, Lampu Taman bodoh! Di dunia kita, mana ada siang malam. Setiap detik, setiap waktu suasananya tetap semacam ini. Tidak terang, tidak juga gelap. Remang-remang.”
Beres mengatakan “bodoh” pada Lampu Taman, kini si Bangku Cokelat itu kembali menatapku. “Menjauh dariku, Keparat! Aku tak sudi kau menyentuhkan tangan kotormu itu pada tubuhku.”
“Ke—kenapa?” Meski tergagap, aku berusaha bertanya. Aku tak paham kenapa bangku di depanku ini sepertinya sangat membenciku. “A—apa salahku?”
Bangku tersebut mendengkus, memalingkan pandangannya. Tak ingin menjawab.
“Karena kaummu telah banyak berbuat kerusakan di dunia,” ucap si Lampu Taman, menggantikan posisi temannya, Bangku Cokelat, untuk menjawab pertanyaanku.
“Iya, kaummu, Manusia!” bentak Bangku. “Gara-gara kalian, aku mesti terus-terusan terpapar di sini.”
“Bagaimana bisa?”
Lantas dengan dengkus kesal, Bangku Cokelat menjelaskan bahwa dulu dia beserta beberapa penghuni di dunia antah-berantah ini hidup damai di sebuah hutan yang asri. Setiap hari bisa bercengkerama dengan burung-burung kecil dan berbagai hewan. Tiada waktu yang terlewat begitu saja tanpa kidung dari penduduk hutan. Udara segar. Dersik angin membuai rindang dedaunan yang memberi keteduhan pada segala makhluk hidup.
Namun, semua mulai berubah sejak manusia mengenal teknologi modern. Mereka mengeruk keuntungan hingga ke dalam ceruk bumi. Dunia dieksploitasi habis-habisan. Pohon-pohon dicabut hingga ke akar-akarnya, lantas digantikan dengan pasak-pasak besi, beton dan gedung-gedung pencakar langit.
Hutan berubah menjadi perkotaan yang bising dan melahirkan mafia dalam berbagai rupa. Kebenaran terkikis, yang kecil tertindih, sementara yang besar semakin menginjak, berkali-kali. Hilang hati nurani. Bentrok di mana-mana. Rudal diluncurkan. Peluru dilesatkan. Bom berjatuhan. Bumi berguncang-guncang.
“Langit yang cerah, berubah kelabu sebab asap-asap dari berbagai kegiatan manusia: pabrik, knalpot, pembakaran hutan dan lain sebagainya. Hujan tak lagi menyisakan pelangi, melainkan bencana banjir dan longsor. Sumber-sumber mata air asat. Hamparan es meleleh akibat pemanasan global. Pulau-pulau kecil tenggelam. Ladang-ladang pertanian berubah menjadi kubangan-kubangan sisa penambangan. Wajah bumi coreng-moreng,” ujar Bangku mengebu-gebu.
Sementara aku hanya terdiam. Miris mendengar segala penjelasan yang sudah dilakukan oleh kaumku, kaum yang telah diutus Tuhan menjadi pemimpin ternyata justru membuat kerusakan.
“Sudahlah, Bangku. Jangan kau luapkan semua emosimu padanya,” cela Lampu Taman seraya melirikku.
Tak terima, Bangku menumpahkan murka pada kawannya itu. “Apa? Kau mau membela keturunan perusak semacam dia, huh? Masih kurang penderitaanmu akibat tangan-tangan mereka? Bagaimana … uhuk! uhuk! uhuk …!” Bangku Cokelat berhenti mencecar tatkala batuknya semakin bengek.
“Apa kubilang … benda-benda tua semacam kita mesti bisa menjaga emosi. Marah-marah hanya akan membuat umur kita semakin menipis,” ujar Lampu Taman, miris.
Lantas si benda dengan cahaya remang-remang tersebut menoleh padaku. “Segeralah pergi, Nona. Terlalu lama melihatmu hanya akan membuat kematian semakin cepat mendatangi kami.”
Aku menuruti saran Lampu Taman. Menunduk, lantas aku berpamit, “Maafkan kesalahan kaumku. Semoga hidup kalian bahagia,” ucapku tulus.
“Huh, sekali bangsat tetap bangsat! Kau mesti sadar, bahwa di dalam dirimu telah tersimpan gen-gen perusak seperti pendahulumu!” murka Bangku Cokelat.
“Bangku, sudahlah, pikirkan kesehatanmu,” sergah Lampu Taman.
Aku beranjak meninggalkan mereka dengan perasaan tak keruan. Tak terbayang seberapa banyak pendahuluku yang telah berbuat keonaran hingga menimbulkan derita berkepanjangan.
“Hai, Nona …,” sapa sebuah cermin besar yang entah dari mana, tiba-tiba sudah berada di hadapanku.
Tentu saja aku terkejut bukan main. Jantungku hampir copot.
Ukuran cermin itu tak jauh lebih lebar dan lebih tinggi daripada ukuran tubuhku. Lantas dari permukaan cermin muncul seorang gadis nan cantik jelita. Dia mengenakan kebaya dengan rambut hitam tergerai sebahu. Senyumnya manis sekali dan sangat anggun.
“Apa yang sedang membebani pikiranmu? Kenapa jalanmu menunduk?” tanya seorang gadis dalam cermin tersebut.
Aku celingak-celinguk. Takut salah paham: bahwa sebenarnya dia tidak sedang berbicara denganku.
Paham dengan gerak-gerikku, perempuan berkulit sawo matang itu berkata, “Tak ada orang lain selain kau di sini. Jadi, aku memang sedang berbicara denganmu.”
Aku tak mengatakan apa pun. Hanya memaksakan senyum sebagai jawaban dari ucapan si Gadis Cermin.
“Apa kau baru saja bertemu dengan segerombolan kambing, Bangku dan Lampu taman?”
Aku mengangguk.
“Pasti mereka telah memaki-makimu, bukan?”
Aku kembali mengangguk.
“Sudahlah … tak perlu kau pikirkan perkataan mereka. Anggap saja angin lalu,” pintanya seraya mengibaskan tangan di depan wajah. Senyum kembali mengembang. Menambah madu di paras ayunya.
“Tapi … bukankah semua yang dikatakan mereka merupakan kebenaran? Pendahuluku atau mungkin kelak aku juga akan menjadi kaum perusak. Kami menebarkan kekejaman di muka bumi.”
“Benar. Pendahulumu memang telah banyak melakukan kerusakan. Mereka serakah bukan main.”
Aku terdiam. Semakin nyeri saja hatiku tatkala si Gadis Cermin mengucapkan hal tersebut. “Apa kau juga akan membenciku?”
Dia menggeleng. “Tidak.”
“Kenapa? Bukankah aku telah menuruni gen-gen perusak seperti mereka?”
“Benar. Kau memang menuruni sifat mereka. Tapi kau belum melakukan kerusakan apa pun di dunia ini. Dan ke depannya semoga hal itu tak terjadi.”
Aku terdiam. Membiarkan dia menjelaskan maksud dari kata-katanya.
“Peluangmu menjadi perusak memang besar. Namun, peluang untuk memperbaiki bumi ini jauh lebih besar.”
Perempuan cantik di dalam cermin itu menyeret kursi—yang juga di dalam cermin—lantas duduk dengan anggun, bak gusti ayu (putri mahkota) sedang memberikan wejangan pada beberapa abdinya.
“Pohon, sungai, gunung dan seluruh isi dunia ini diciptakan Tuhan hanya untuk tunduk pada-Nya. Semantara kaummu, manusia, sengaja dicipta untuk menjadi pemimpin di muka bumi. Aku yakin kesadaranmu sebagai manusia sejati akan memberikan banyak kontribusi pada alam raya ini.”
“Kontribusi?” selaku. Aku masih tak paham dengan maksudnya.
“Iya, kontribusi. Tekan gen-gen perusak yang kau warisi dari pendahulumu. Sudah saatnya kau dan kaummu mengubah ketidakberimbangan di muka bumi ini. Peluangmu memperbaiki lingkungan bumi jauh lebih besar.”
Lantas perempuan di dalam cermin itu berdiri. Dia menyingkir, entah ke mana. Permukaan cermin yang datar itu berubah serupa layar televisi. Menampilkan keindahan semesta: biru langit dan laut; Gunung hijau menjulang, puncak-puncak bersalju, hutan lebat, air terjun, pelangi, mamalia manggut-manggut memamah rumput, segerombolan kambing yang pertama kutemui tadi, Lampu Taman dan Bangku.
“Mereka … bukankah mereka ….”
“Iya, mereka adalah Lampu Taman dan Bangku yang telah kau temui tadi. Ini adalah gambaran masa depan.”
“Bagaimana bisa mereka tersenyum bahagia begitu? Bukankah mereka membenciku?”
“Kau adalah manusia yang diciptakan Tuhan untuk memimpin bumi.” Dia kembali menekankan tentang tujuan utama penciptaan manusia di bumi.
Lalu, gambar-gambar dalam cermin tersebut menghilang dan kembali menampilkan seraut gadis cantik. Gadis itu mengulurkan tangannya padaku, hingga keluar dari permukaan cermin.
“Jika kau dan kaummu tak mau mengubah pola pikir kalian, maka ramalan ini tak ada artinya. Kalian, kami, dan seluruh isi bumi akan rusak. Kita semua akan musnah.”
Perempuan tersebut menarikku masuk ke dalam cermin.
Kabut tiba-tiba membubul. Tubuhku melayang-layang melewati sebuah lorong, entah lorong apa.
Aku tersentak, kaget!
Mata membelalak diikuti tubuh yang langsung terduduk. Pena dan kertas ada di genggamanku. Aku melihat sekeliling. Mencari petunjuk. Apakah masih di dunia antah-berantah atau sudah kembali ke duniaku?
Segerombolan kambing mengembik. Mengunyah rumput-rumput di sekitarnya. Aku menoleh ke sebelah kanan, terdapat lampu taman yang berdiri kokoh. Seketika aku berdiri. Bangku yang baru saja kududuki, adalah bangku yang tadi mengomeliku—di dunia antah-berantah. Juga, pohon itu … adalah pohon yang tadi terlihat merenggas, tapi kini dia rimbun, kokoh dan memiliki banyak cabang.
Aku mengusap wajah berkali-kali. Masih bingung dengan situasi yang tiba-tiba berubah. Ada apa denganku? Apakah semua itu hanya mimpi?
Seorang gadis muda, manis, anggun, dan tinggi semampai lewat di hadapanku. Dia berjalan dengan membawa cermin seukuran badannya.
Tunggu?
Bukankah gadis itu merupakan orang yang telah menarikku hingga aku kembali ke sini? Siapakah sebenarnya dia?
Kaki tetap berdiri di tempat, tapi kepalaku menoleh mengikuti langkahnya. Bengong. Otakku belum bisa mencerna apa yang baru saja terjadi.
Setelah agak jauh, gadis berparas ayu itu menoleh padaku. Dia tersenyum. Bibirnya berkomat-kamit, mengucapkan kalimat, “Tolong jaga dunia ini.”
Uzwah Anna. Lahir di sebuah desa di pelosok kota Malang. Pecinta bakso dan soto. Karena lahir, tumbuh dan, besar di kampung, maka sudah sangat akrab dengan bertani. Selain hobby corat-coret juga gemar berkebun. Tanaman yang paling disukai adalah buah dan bunga. Apalagi bunga mawar merah, beuh … cinta beud.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata