Announcer
Oleh: Evamuzy
“Minum dulu.” Pria dengan kemeja kotak-kotak biru muda dan celana bahan warna hitam menghampiriku yang duduk termenung di sofa lembut warna cokelat muda ruang tamu studio Elshinta FM. Mengulurkan sebotol minuman ringan rasa orange. “Dari luar kota, yah?” tanyanya kepadaku yang saat itu terlihat mulai bosan. Itulah pertemuan pertama kita.
Joe Safir, nama siar seorang pria yang sekitar setengah tahun ini dekat denganku. Tapi tunggu! Jangan pernah berpikir bahwa hubungan dekat kami layaknya sepasang kekasih. Hubungan ini tak lebih seperti seorang kakak kepada adik. Dia menyayangi dan melindungiku layaknya seorang kakak laki-laki kepada adik perempuannya.
Meskipun saat pertemuan pertama itu tujuan awalku bukanlah bertemu dengan dia. Melainkan dengan seseorang yang saat itu sedang sibuk melayani para penggemar. Penggemar yang lebih banyak dari kalangan kaum hawa. Dasar! Cowok flamboyan. Sebaik apa pun, pasti tetap menikmati kesempatan. Bagai gula-gula yang dikerubuti semut hitam. Menyebalkan! Membuat mood-ku turun, ingin segera pulang kalau saja tak bertemu dengan pria baik yang kini menemani hari-hariku. Tempat bercerita, meminta saran atau berbagi cita dan harapan.
Kakak. Benar aku telah mengganggapnya demikian. Sebab kebetulan di rumah, aku hanya dua bersaudara dengan kakak perempuan. Dia juga sudah dekat dengan bunda dan kakak perempuanku. Bagi mereka, kak Joe adalah sosok yang baik dan sopan. Dan kabar baiknya adalah dia akan menikah minggu depan. Aku hanya merasa takut kehilangan sosok kakak dan teman, tak lebih dari itu.
“Kakak mewajibkanmu datang, Dek. Harus!” Pesan ancaman atas dasar kasih sayang itu diberikannya saat mengantarkan undangan pernikahan di ruang tamu rumahku. “Kalau bisa, Kak Andin dan Bunda ikut serta datang ke pernikahan Kakak,” lanjutnya.
“Aku nggak yakin, Kak. Kakak kan tau aku nggak bisa nyetir motor. Aku tanyakan Bunda dan kak Andin dulu, ya.”
“Kalau untukmu saja, kakak yang akan usahakan. Insyaallah, kamu bisa datang.”
“Dengan apa? Pakai bus? Syabil takut sendirian. Jauh sekali pula.”
“Seseorang akan membantumu.”
“Siapa?”
“Kau akan tahu nanti.”
***
Jam kuliah selesai. Aku dan mahasiswa lainnya berhambur keluar ruangan bersama berderingnya telepon pintar dalam saku gamis. Sebuah panggilan dari nomor yang tak dikenal. Siapa, sih?
“Halo … Assalamualaikum.”
“Hai, Nona! Sedang di mana?” Suara seorang pria di ujung sambungan telepon. Familiar, seperti suara yang tak asing di telinga. Sering dengar tapi siapa?
“Ini siapa?” tanyaku dengan nada suara sengaja ditinggikan. Main panggil-panggil Nona. Kurang sopan!
“Aku Pat, Syabila. Galak amat.”
“Kak Pat? Oalah, maaf Kak. Habis nggak sebutin nama dulu.”
“Hehe. Iya maaf. Eh, iya, lagi di mana? Masih di kampus?”
“Masih. Ini lagi siap-siap pulang. Kok tumben. Ada perlu apa?”
“Hmm, gini. Joe minta tolong aku jemput kamu buat ke nikahannya nanti.”
“Benarkah?”
“Iya. Kamu keberatan?”
“Bukan gitu. Tapi aku pikir-pikir dulu ya, Kak. Nanti aku kabari lagi.”
“Ok. Aku tunggu.”
Patrick Ruby. Nama seorang penyiar radio kesayangan. Seseorang yang menjadi tujuan pertamaku mengikuti acara meet and great radio yang terletak satu jam dari kotaku. Keinginan bertemu dengannya setelah hampir setahun menjadi fans dan pendengaran setia suara ramah itu. Meski kenyataannya sedikit mengecewakan. Tak sedikit pun dia menoleh kepadaku saat itu dan akhirnya aku dipertemukan dengan Kak Joe. Saat itulah perlahan aku mulai melupakan rasa kagum kepada sosok idaman banyak gadis itu.
***
“Aku pergi dulu ya, Bunda.” Kucium punggung tangan Bunda sebelum pergi melakukan perjalanan selama lebih kurang dua jam menuju tempat resepsi pernikahan Kak Joe.
“Iya, sayang. Hati-hati, ya. Titip Syabil ya, Nak Patrick.” Bunda menatap kami bergantian.
“Iya, Tante. Saya akan menjaga Syabil dengan baik.”
“Terima kasih. Nanti sekalian sampaikan kepada Joe, maaf Tante sedang kurang sehat jadi tidak bisa hadir. Tapi doa yang terbaik selalu untuknya. Berikan juga bingkisan yang sudah Bunda titipkan untuknya ya, Bil.”
“Insyaallah, Bunda. Nanti Syabil sampaikan ke Kak Joe. Kami pamit dulu, Bunda. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
“Kau serius, Bil? Mau ke nikahan bawa ransel gitu?” Pria berkulit bersih itu menatapku heran saat sebuah ransel warna ungu muda benar-benar menempel di punggung. Padahal aku sudah cantik dengan gamis dan kerudung terbaik yang kupunya.
“Hehe, iya. Aku butuh beberapa buku untuk kuliah. Pulangnya bisa mampir ke toko buku, nggak?”
“Ok.” Masih dengan tatapan tak percaya.
Kita melaju di jalanan kota. Ransel yang sedari tadi kugendong, aku ganti letaknya di tengah, menjadi batas dudukku dan Kak Pat di atas motornya.
“Bunda ngizinin kamu pergi denganku, Bil? Kok bisa?” Nada suaranya sengaja ditinggikan. Takut tertelan oleh deru mesin kendaraan-kendaraan besar yang ikut melintas di jalanan aspal.
“Bagi bunda, teman Kak Joe Insyaallah baik dan dapat dipercaya.”
“Jadi ini karena Joe?”
Aku tak enak hati menjawabnya.
***
“Pulang, yuk. Jangan lama-lama di sini. Nanti ada yang patahnya makin parah.”
“Siapa?”
“Ya, kamu. Siapa lagi.”
“Enak aja. Ayok, pulang.”
Kami berpamitan dengan kedua mempelai. Sang mempelai pria tak pernah berubah sikap, meski telah ada seorang wanita cantik nan anggun di sampingnya.
“Titip Syabil ya, Pat. Berangkat pulang harus utuh.”
“Siap laksanakan, Komandan!”
Tas ransel kembali kusandarkan pada punggung bidang pria di depanku.
“Kita jadi ke toko buku, Bil?”
“Nggak jadi, Kak. Barusan Bunda chat, kita disuruh pulang cepet. Sudah sore.”
“Ok.”
“Ke toko buku cuma alasanku agar tak malu bawa ransel ini, Kak,” batinku.
***
Pukul sepuluh malam. Tumpukan buku bacaan, lembaran tugas kuliah dan lagu-lagu yang diputar dari frekuensi favorit menemani lepas malamku. Dipandu oleh suara seorang yang semakin hari semakin familiar di sambungan telepon atau pesan singkat. Sekadar menanyakan keadaan, keberadaan atau sudah makan atau belum. Meski dia menjaga dengan tak pernah datang dan duduk di ruang tamu.
Denting tanda pesan masuk di aplikasi WhatsApp meminta jemari untuk menggapai gawai.
Mau dengarkan lagu apa?
Emang aku lagi dengerin? Tau dari mana?
Iya, radarku menemukannya.
Oh, ya?
Jadi? Mau diputarkan lagi apa?
Film favorit, Sheila on seven.
Ok. Aku jadikan closing song. Semoga kau menyukainya.
Mereka bilang cobalah kau sadari
Misteri ini harusnya disudahi
Aku mencoba sederhanakan ini
Agar semua orang memahami
Sama seperti di film favoritmu
Semua cara akan kucoba
Walau peran yang aku mainkan
Bukan pemeran utamanya
*
Melodi-melodi dari ruang siarnya kembali menemani rutinitasku.
Mau putarkan lagi apa malam ini? pertanyaannya hampir di setiap malam.
Aku ikut saja. Semua enak-enak didengar.
Ok. Lagu terakhir yang kuputar, spesial untukmu.
Kenapa mesti lagu terakhir? tanyaku.
Biar kau menunggunya. Jadi serasa siaran ditemani orang spesial.
Rasa yang terpendam lama membuat sebaris kata itu tak perlu punya jawaban.
“Stay tune with me, Patrick Ruby. Setelah ini kita akan puterin lagu terakhir sebelum saya pamitan, Paramitra. So, Don’t go anywhere. Tetap di Elshinta FM, Sahabat di hati.”
Dan … closing song.
Could this be that real love live been missing
Before I’ve met you
You are out of this world
My kind of girl
You knock me out
Knock me out, Afgan
*
Malam ini.
Seperti biasa, lagu terakhir untukmu.
Tak ada niatan untuk membalas pesannya. Kutunggu saja apa melodinya kali ini.
“Ok. Lagu terakhir, saya persembahkan ini untuk orang yang istimewa dan berbeda. Karena itu, dia harus selalu terjaga. Enjoy this song ….”
Benteng begitu tinggi, sulit untuk kugapai
Aku untuk kamu, kamu untuk aku
Namun semua apa mungkin, iman kita yang berbeda
Tuhan memang satu, kita yang tak sama
Haruskah aku lantas pergi, meski cinta takkan bisa pergi ….
Peri cintaku, Marcell(*)
Evamuzy, gadis yang suka ninggalin sandal basah di mana-mana buat ganti yang kering.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata