Anjing Betina Itu Merlin
Oleh: Niluh
Sudah seminggu ini aku mengamati seorang perempuan yang menurutku aneh. Setiap hari, dari pagi hingga senja, dia akan duduk di atas sebuah batu yang letaknya tepat di tengah sungai.
Rambutnya yang sepinggang itu dibiarkan tergerai panjang hingga menutupi separuh wajah. Rambut yang sungguh indah menurutku. Namun sayang, si pemilik tidak merawatnya dengan baik. Rambutnya terlihat kusam dan berantakan. Tidak hanya itu saja, dia selalu berkebaya hitam dan memakai jarik.
Ada dua benda yang selalu ada di sampingnya, yaitu cangkul dan celurit. Entah apa guna kedua benda itu baginya.
Dia tidak pernah terlihat berbicara atau pun menyapa orang-orang yang ada di sungai itu, begitu pun sebaliknya–para penduduk desa pun demikian. Seolah menganggap dia tidak ada. Tidak ada orang yang berbicara tentang perempuan itu. Dia juga tidak pernah terlihat pergi ke warung atau berkumpul dengan warga.
Apa dia gila? pikirku. Karena tidak ada yang dia lakukan kecuali duduk sambil menunduk, sesekali memainkan air sungai dengan kakinya.
Sungai di desa ini memang terkenal sangat jernih. Ketika tahun lalu saat musim kemarau panjang melanda, hingga beberapa daerah mengalami kesusahan air, sungai ini justru tidak berhenti mengeluarkan air. Tak salah jika penduduk desa menggantungkan seluruh aktivitas rumah tangga seperti mencuci, memasak, dan mengairi sawah mereka, beberapa bahkan mencuci kendaraan bermotor mereka di sana. Penduduk desa ini secara swasembada membuat pipa-pipa dari bambu besar yang membawa air sungai ke rumah-rumah mereka.
Hal itulah yang membawa aku ke desa ini. Tujuanku untuk mengadakan penelitian dari sebuah perusahaan swasta tempat aku bekerja.
Air sungai ini tidak deras. Tidak terlalu dalam, kira-kira satu meter dan di sepanjang tepiannya, tumbuh pohon-pohon besar dan ada batu-batu yang digunakan anak-anak untuk lompat ke sungai. Setiap sore, sungai ini memang penuh dengan anak-anak yang bermain dan melepas bosan mereka.
Namun pagi ini, suasana sungai begitu sepi. Tidak ada penduduk kampung yang melakukan kegiatan mereka, hanya ada aku dan perempuan itu.
Timbul rasa penasaran dalam pikiranku, untuk melihat wajah di balik rambut panjang itu.
Aku pun mulai menyusun sebuah ide gila. Aku pura-pura menjatuhkan diri ke air.
“Aduh!” pekikku keras dan berhasil.
Perempuan itu memalingkan wajahnya ke arahku. Namun, bukan tatapan kasihan atau simpati yang aku dapatkan. Melainkan tatapan menyeramkan–bola mata yang hitam pekat dengan sorot tajam seperti ujung belati, membuat napas di tenggorokanku seketika berhenti.
Tatapan mengancam yang sanggup membawa mata, mulut dan tanganku mengigil. Seketika aku merasa dia melemparkan ancaman mematikan kepadaku–ingin rasanya aku mendatangi dia. Sepasang mata yang melempar teror dengan cara asing dan semena-mena.
Perempuan itu mengambil celurit yang ada di sampingnya. Kemudian menggenggam erat gagangnya sambil menatapku lekat. Kini, sorot matanya berubah seperti elang yang siap menerkam mangsa.
Aku tidak mau ambil risiko berhadapan dengan perempuan gila, segera aku ambil cucian dan memasukkannya ke ember kemudian pergi meninggalkan sungai itu. Meskipun aku seorang laki-laki yang tenaganya lebih kuat dari perempuan, tapi melihat dia membawa senjata tajam, aku lebih memilih mengalah.
Setelah melihat tatapan itu, tidurku gelisah. Dia selalu datang sebagai sebuah mimpi yang menakutkan dan membuat keringat mengalir di sekujur tubuhku. Semenjak mengalami kejadian di sungai itu, aku hanya bisa tidur ketika sudah ada sinar matahari.
Sebenarnya tak ada yang aku takutkan kecuali cacing dan ular, tapi entah mengapa aku justru takut pada sepasang mata yang selalu menerorku di malam hari.
Selain itu, ada hal yang membuatku makin gila. Lolongan anjing di malam hari. Perempuan itu memiliki anjing penjaga. Warna bulunya hitam bercahaya, tingginya kurang lebih satu meter, berbadan besar. Sialnya, anjing itu memiliki mata hitam dan penuh kebencian–sama dengan perempuan itu. Di mana perempuan itu tinggal di sanalah anjing itu berada.
Sebulan sudah aku tinggal di desa itu, penelitian yang harus selesai dalam tiga minggu, kini nyaris aku tidak melakukan apa pun kecuali memperhatikan dan mengawasi perempuan dan anjingnya itu. Itu makin membuat aku frustrasi. Kantor sudah beberapa kali menanyakan perihal perkembangan penelitian dan aku terpaksa memberikan laporan palsu.
Sore itu, menjelang magrib. Setelah kopi yang aku pesan habis aku teguk, aku memutuskan untuk pulang ke kontrakan. Jalanan tampak sepi, tidak seperti biasanya. Mungkin orang-orang sedang berada di mesjid untuk menunaikan ibadah mereka atau diam di rumah masing-masing mengingat udara begitu kencang dan dingin.
Aku merapatkan jaket, dinginnya mulai menusuk tulang. Saat itulah aku merasa ada seseorang yang mengikutiku dari belakang. Akan tetapi saat aku menoleh, kosong.
Aku mempercepat langkahku, namun perasaan sedang diawasi dan diikuti makin kuat. Aku ingat di saku jaket ada alat pemotong kuku yang bisa aku gunakan jika keadaan terdesak. Awalnya aku berjalan cepat, kini jadi berlari kecil. Namun ternyata, pilihan untuk berlari kecil malah menjadi petaka.
Aku merasa ada yang menyergap dan menghantam tubuhku hingga terjatuh. Lalu seperti ada yang mengoyak pakaianku dengan giginya yang tajam.
“Merlin!” teriak seseorang dan itu membuatnya berhenti melakukan aksinya.
Cukup lama aku duduk di tanah dan mengumpulkan kesadaran atas apa yang baru saja terjadi.
Sebuah tangan terulur untuk membantu. Aku menyambutnya.
“Terima kasih,” kataku.
“Sama-sama.”
“Kau orang baru, ya?” tanyanya padaku.
“Iya,” jawabku sambil berusaha melihat wajahnya. Namun, karena cuaca yang remang-remang ditambah lampu-lampu jalan yang tidak terlalu terang, membuatku tidak jelas melihat pemilik suara merdu itu.
“Apa kau sedang melakukan penelitian tentang sumber daya air yang ada di desa ini?”
Mendengar pertanyaannya, membuatku sedikit terkejut. Dari mana dia tahu tentang tujuanku ke desa ini?
“Aku rasa kamu bukan orang pertama yang datang dan melalukan penelitian di tempat ini. Setelah mereka selesai melakukan penelitian, beberapa minggu kemudian beberapa utusan perusahaan akan datang membawa iming-iming untuk mengelolanya. Aku rasa itu hanya bualan mereka saja. Karena setelah mereka kelola, kami akan membayar air yang berasal dari desa kami. Kami tidak berhak lagi menikmati sepuasnya.”
Aku makin penasaran siapa perempuan ini. Meskipun dia perempuan desa, tapi pengetahuannya luar biasa.
“Kenapa kau berpikir begitu?” tanyaku
“Iya, karena hal itu pula yang dialami warga desa sebelah. Setelah air, kemudian hutan mereka mulai ditebang dan dialihfungsikan. Pertama sebagai lahan pertanian, kemudian hunian dan bangunan-bangunan lainnya,” jelasnya dengan tangan mengelus-elus Merlin–nama anjing itu.
“Aku yakin kau bagian dari mereka juga.”
Kali ini dia menatap mataku dengan dua bola matanya yang tajam. Seketika tubuhku bergetar. Perempuan ini yang selalu menerorku dengan tatapan matanya.
“Aku selalu berada di sungai setiap hari karena ingin menjaga air sungai itu jernih. Tidak ada tangan-tangan jahil yang membuang sampah di sana. Jika ada, maka aku membersihkannya. Sesekali aku menebang kayu-kayu yang mungkin bisa membahayakan anak-anak yang bermain di sana. Air ini adalah sumber kehidupan kami. Alam telah memberikannya untuk kami nikmati. Maka sudah sepatutnya aku menjaganya dari orang-orang yang ingin mengambil dan merusaknya. Meski ada beberapa warga yang mulai terpengaruh dengan pikiran-pikiran orang kota karena tergiur uang yang mereka janjikan. Tapi aku akan menjaganya sampai kapan pun!”
“Ketika kami tidak bisa membayar tagihan-tagihan itu, orang-orang pemilik perusahaan tidak akan mau mengerti dan kami tetap harus membayar. Meski harus berhutang,” lanjutnya.
Aku terperanjat mendengar penjelasannya yang begitu panjang. Aku teringat pada mendiang Ibu yang harus berhutang karena belum membayar tunggakan air dan listrik selama tiga bulan. Bahkan saluran air terpaksa diputus sampai kami membayarnya. Padahal saat itu panen kami gagal karena hama wereng. Uang telah habis untuk membayar pupuk yang dihutang di koperasi dan bersamaan dengan itu, Bapak masuk rumah sakit karena sakit lever. Keadaan kami sangat kacau saat itu. Makin menyakitkan ketika aliran listrik dan air diputus.
Kata-kata perempuan itu sungguh menyadarkan aku yang awalnya ingin memperoleh keuntungan besar dari proyek ini. Namun, melupakan sisi kemanusiaan yang ada.
“Maaf, bolehkan aku tahu namamu?”
“Merlin,” katanya dengan tangan mengusap anjing hitam yang setia di sampingnya.
2020
Niluh, perempuan dari Bali yang suka kopi dan anak-anak.
Editor: Imas Hanifah N