Oleh : Rosna Deli
Surat dari Anita aku terima menjelang pukul lima sore, ketika aku hendak pulang. Pak Supri—sekuriti kantor—menyetop mobilku lalu menyerahkannya.
Aku segera memarkirkan mobil di kiri jalan lalu membuka amplop. Tertulis di pojok kanan nama Anita beserta alamatnya, lalu di bagian bawah tertera namaku dengan sebutan sahabat terbaik.
Pikiranku menerawang, menerka-nerka isi surat ini lalu mengembuskan napas berat.
“Ah, Anita, kenapa kau tiba sesuka hatimu saja,” lirihku.
Saat aku mulai membaca, ponsel di saku berdering.
“Halo ini dengan Darma Wijaya,” sapa sebuah suara dari seberang telepon.
“Ya, saya sendiri, ini siapa?” tanyaku dingin, maklum belakangan ini terlalu banyak perempuan yang menelepon untuk berkenalan. Itu semua karena ulah Mama yang sibuk mencarikan jodoh untukku.
“Anita, masa kamu sudah lupa?” jawabnya dengan suara manja.
Aku menepuk dahi lalu mencoba menetralkan degup jantung yang tiba-tiba bergemuruh.
“Aku takut tadi salah nomor. Sudah lama, loh, aku cari-cari keberadaanmu, Dar.” Setiap kata yang keluar dari bibir perempuan di seberang telepon sana membuat dadaku dipenuhi kegembiraan.
“Untung aku punya banyak kenalan, sehingga nomormu yang baru ini bisa didapat.”
Aku masih terpaku, tak mampu menjawab apa pun.
“Hay, kok, diam saja, benarkan kamu Darma!”
Aku dapat membayangkan bibir Anita maju ke depan lalu dia meremas-remas ujung bajunya.
“Iya.” Hanya jawaban singkat itu yang dapat kuucapkan.
“Pasti kamu sudah menerima surat dariku, kan? Kamu mau, ya, bantu-bantu aku,” bujuk Anita yang tentu tak dapat kutolak.
“Oke, Darma Sayang, aku akan meneleponmu lagi nanti, ya!” ucapnya mengakhiri pembicaraan.
Ponsel masih menempel di telinga. Aku menunggu Anita benar-benar memutuskan sambungan. Masih kudengar nada gembira Anita saat mengetahui bahwa dia berhasil menemukanku.
Aku menghela napas seperti baru keluar dari ruangan yang pengap, lalu menyandarkan punggung ke kursi mobil yang empuk. Aku tak menyangka Anita masih mencariku setelah bertahun-tahun.
Sepanjang sisa perjalanan pulang yang kupikirkan adalah bagaimana perjumpaanku nanti dengannya. Apakah Anita masih semanja dulu? Apakah Anita masih sendiri seperti aku? Ah, berpuluh pertanyaan konyol yang hadir di benak membuat aku tersenyum sendiri.
**
“Bagaimana, Dar, perempuan yang tempo hari Mama kenalkan, cantik ‘kan?” tanya Mama tepat di saat aku masuk ke rumah.
Aku hanya tersenyum.
“Jadi kamu mau dengan dia?” cecar Mama melihat aku tak membantahnya.
Aku menggeleng, tetapi tetap dengan senyuman.
“Ih, bagaimana, sih? Itu anak kenalan mama, loh, orangtuanya baik, kaya, lulusan sarjana, apa kurangnya coba?” Mama terus saja mengekoriku sampai ke muka pintu kamar.
“Ya sudah, nanti Mama carikan yang lain, tapi janji, ya, kali ini kamu harus setuju,” ujar Mama sambil menatap mataku tajam.
“Enggak usah, Ma. Darma sudah besar, sudah tiga puluh tahun, sudah bisa milih calon sendiri,” jawabku pelan.
“Ah, kamu dari dulu, jawabannya itu melulu, tapi apa?”
Aku menowel pipi Mama lalu menutup pintu kamar. Pikiranku masih tertuju pada Anita. Apa sebaiknya aku yang meneleponnya terlebih dahulu? Bukankah tadi nomor ponselnya sudah ada?
Saat aku menggeser layar ponsel, sebuah nada dering kembali terdengar.
Ah, Anita. Pucuk dicinta ulam pun tiba.
**
Alasan kedatangan Anita ke kota ini untuk membuka cabang baru toko roti milik keluarganya. Dan, entah dari mana perempuan manis itu mengetahui keberadaanku di kota terpencil ini.
“Tidak terlalu sulit menemukanmu, Dar. Kau kan masih sering berhubungan dengan ikatan alumni sekolah kita,” jawabnya ketika kutanya dari mana dia tahu keberadaanku.
Anita tampil memesona siang ini, kala kami melakukan janji untuk bertemu. Bibir tipisnya yang berwarna merah, dengan ceruk dalam di pipi membuat debaran di dadaku tak terkendali.
Aku ingin menanyakan perihal masalah pribadinya, apakah dia telah berkeluarga atau memiliki pacar. Namun, aku tak berani, lebih tepatnya tak kuat jika mendengar jawaban pahit dari mulutnya. Biarlah kebersamaan singkat ini kunikmati terlebih dahulu.
Anita adalah seseorang yang tak bisa kuhilangkan dari ingatan. Kebersamaan semenjak masa sekolah sangat membekas di hati dan pikiranku. Dan, kupikir Anita juga merasakan hal yang sama. Walaupun rasa itu tak pernah ada yang berani mengutarakannya.
Aku sebenarnya menyesali kebodohanku, terlebih saat kami harus berpisah karena orang tua Anita harus pindah ke luar pulau. Begitu juga dengan keluargaku.
Kepergian Papa yang tiba-tiba, memaksa kami sekeluarga pindah ke kampung halaman nenek.
“Jadi aku butuh kamu untuk persiapan pembukaan toko roti yang baru. Bisa, ya, bantu-bantu aku,” ucap Anita dengan senyum yang tak mungkin aku lupa.
“Tentu. Apa, sih, yang enggak untuk kamu, Nita,” jawabku, yang dihadiahinya sebuah cubitan mesra.
**
Hari-hari terasa berlalu dengan cepat. Tak terasa dua bulan sudah aku dan Anita kerap berjumpa untuk mengurusi urusan pembukaan toko rotinya. Mulai dari pencarian toko yang bisa disewa, pemasangan iklan di mana-mana serta mencari karyawan.
Ternyata berdua saja dengannya menambah rasa percaya diri dan semangat dalam menjalani hari. Aku seolah telah menemukan separuh jiwaku yang hilang.
Grand opening toko roti Anita akan dilaksanakan esok hari. Hari ini Anita sudah sibuk dengan segala pernak-pernik pembukaan.
Aku tidak bisa menemaninya karena ada urusan kantor yang harus diselesaikan.
“Ya, enggak apa-apa, Dar. Kamu sudah banyak bantu aku, yang penting besok kamu harus hadir, ya,” ucapnya setengah berbisik di telingaku.
Rasanya pipiku basah oleh sentuhan bibirnya. Segera kuembuskan napas kuat-kuat agar rasa ini tak melebar. Anita tersenyum, menyadari kegelisahanku lalu saat aku menoleh ke arah berlawanan, bibirnya benar-benar mengecup pipiku.
Aku terperangah lalu mengejar Anita yang pura-pura berlari.
“Kenapa? Mau lagi,” seru Anita saat aku menangkapnya dari belakang.
Aku bergeming, tak berani meminta lebih.
“Terima kasih, Dar, untuk semua bantuanmu,” ujarnya lembut.
**
Sejak pagi suasana toko roti Anita sudah ramai. Spanduk yang terpasang serta banner yang sengaja dipajang di depan toko menambah daya tarik. Para pembeli juga begitu antusias. Maklum di hari pertama pembukaan, toko ini memberi diskon besar-besaran.
Sengaja aku tak memberitahukan kedatanganku kepada Anita. Selain karena ingin memberi kejutan aku juga sudah bertekad akan menyatakan perasaanku padanya.
Bagaimanapun benar apa yang dikatakan Mama, aku tak mungkin melajang selamanya.
Sebuah buket bunga telah aku beli untuk kupersembahkan kepada Anita. Bayangan akan senyum penerimaannya membuat dadaku bergemuruh. Aku menghela napas panjang, berusaha meyakinkan diri.
Tepat saat aku turun dari mobil dan hampir sampai di muka toko roti, aku melihat Anita tengah digandeng mesra oleh seorang lelaki. Senyum perempuan itu tetap memesona. Aku bagai membeku, tak mampu untuk bergerak sedikit pun.
Siapakah lelaki yang berada di samping Anita?
Pikiranku kacau, menyalahkan kebodohan kenapa tak pernah bertanya perihal ini.
Aku tertegun terlebih saat mendengar sebuah obrolan dari dua orang perempuan ketika usai berbelanja di toko roti tersebut.
“Beruntung sekali Ibu itu, ada usaha, suaminya ganteng pula.”
Tanpa sadar buket bunga yang telah kusiapkan terjatuh lalu aku kembali ke mobil. Bagiku tak ada lagi yang harus diperjuangkan. Aku bagi Anita tetap seperti dulu hanya sahabat terbaiknya.
***
Dumai, 15 Desember 2021
Rosna Deli, seorang ibu yang menyenangi dunia aksara
Editor : Rinanda Tesniana
Gambar : https://pin.it/7hwyq7h
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/menjadi penulis tetap di Loker Kata