Angin Rindu

Angin Rindu

Angin Rindu
Oleh: Sukra AW

Bulan ini adalah Agustus yang kesekian kali setelah kepergian sosok yang paling didamba. Janji yang terucap di sudut taman kota itu juga masih terngiang begitu jelas. Anie hanya menggumam perlahan di sela debaran jantung yang berpacu dengan begitu cepat. Duduk di bangku taman berusaha menanti sang pujaan untuk menunaikan janji yang terikrar. Sudah tiga jam lamanya dia hanya duduk di sana ditemani rasa gelisah yang merasuk kalbu. Tidak menghiraukan pekerjaan-pekerjaan yang selalu setia menanti untuk segera dikerjakan.

“Agustus ketiga. Aku harap kamu tidak melupakan janjimu itu, Reyn,” dia menggumam, lantas pergi menyusuri trotoar dan kembali menyusun piramida rindunya.

Bayangan Reyn masih saja menemani Anie sampai sekarang. Terasa sulit untuk menghalaunya pergi dari benak Anie, apalagi karena Anie sudah terikat dengan janji tiga tahun silam. Laki-laki itu, Reyn. Laki-laki yang dengan mudahnya memberikan rasa juga janji manisnya pada Anie. Tanpa sadar dia juga telah memberikan luka yang amat dalam untuk Anie.

***

Tiga tahun silam.

“An, ke taman kota, yuk!” Reyn tiba-tiba mengajak Anie pergi. Masih duduk di atas motor matik-nya.

“Ke taman kota? Ngapain?”

“Udahlah, entar juga tau. Yuk, naik!” Anie memenuhi keinginan Reyn hari itu, meski banyak pekerjaannya yang terbengkelai.

Udara siang itu cukup membakar paru-paru. Dengan cepat Anie menutupi hidungnya dengan helai jilbabnya yang sedikit menjuntai, berusaha mengurangi hawa panas yang mencoba masuk paru-parunya.

Setelah sampai di sana, Reyn duduk di salah satu bangku di sudut taman. Mencoba mencari tempat yang nyaman untuk saling berbincang. Anie tidak menyadari sama sekali betapa gugupnya Reyn waktu itu. Anie juga tidak menyadari ada sesuatu yang disembunyikan oleh Reyn darinya. Sesuatu yang menjadi alasan kenapa Anie harus menunggu Reyn begitu lamanya.

“An, kayaknya kita harus pisah dulu,” ucap Reyn setelah perbincangan ringan dirasa cukup.

“Apa?” Hati Anie serasa hancur seketika saat mendengar ucapan Reyn.

“Kita sekarang pisah dulu, ya? Aku mau merantau ke negeri orang. Aku mau mengadu nasib di sana. Di sini semuanya udah gak bisa lagi diharapkan. Pendapatanku gak sebanding dengan kebutuhan hidup aku, An. Tapi kamu gak usah khawatir, kita gak putusin hubungan ini, kita LDR-an. Dan aku janji, setiap bulan Agustus, aku bakal pulang nemuin kamu. Kita bakal duduk di sini lagi, ngobrol segala sesuatunya, oke? Dan aku janji, Agustus ketiga, aku bakal halalin kamu, An. Aku janji,” Reyn mencoba meyakinkan Anie. “Dan kalau kamu kangen aku, bisikkan aja ke Bumi. Pasti langit bakal dengar dan angin bakal nyampein itu ke aku. Cepat atau lambat,” lanjutnya.

Anie hanya diam, mencoba mengerti segala keadaan yang ada pada diri Reyn. Tapi sayang, Reyn tidak pernah sanggup mengerti keadaan juga perasaan Anie sesungguhnya dikarenakan keadaan memaksa Reyn untuk begitu.

***

Setelah sampai di rumah, Ani langsung menuju kamar mandi. Berwudu, lantas masuk ke kamarnya. Dia melakukan salat sunah dua rakaat dan setelah selesai, dia mengambil sikap bersujud lalu dia ungkap segala kerinduannya terhadap Reyn kepada sang Pemilik Hati. Dia menangis di hadapan Pencipta Alam. Dia tergugu di sana. Ya Allah, aku benar-benar merindukan dia, gumamnya lirih.

Dan di sudut kota lain.

“Selamat, ya. Semoga Tuhan memberkati kalian berdua,” ucap salah seorang wanita dengan penuh suka cita.

Kedua mempelai terlihat amat bahagia di sana. Duduk di atas pelaminan yang cantik nan indah dengan gaun juga jas yang amat menawan. Di sanalah Reyn berada, di atas pelaminan itu.

Tepat pada Agustus ketiga, Reyn benar-benar menikahi seorang gadis. Namun bukan Anie orangnya, melainkan gadis pilihan orangtuanya. (*)

 

Sukra Ageng Winasih. Lahir di kota Dawet Ayu, Banjarnegara. Sekarang sedang menajalani fase paling akhir dari sebuah Sekolah Menengah Kejuruan. Dan semoga ini menjadi fase terindah dari seluruh siklus kehidupan pelajar.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata