Anggara Kasih
Oleh: Reza Agustin
Anggara Kasih. Nama yang terdengar tak cukup maskulin untuk ukuran pria sepertinya. Pria yang sering kali mampir di kafe tempatku kerja paruh waktu itu bisa dibilang menyimpan banyak teka-teki. Biasanya ia akan datang sehabis pulang kerja dari kantornya yang terletak berseberangan dengan kafe. Ia selalu datang di hari kerja sebelum azan Magrib berkumandang. Ada satu hal yang membuat rasa penasaranku timbul padanya. Selain karena parasnya yang rupawan dan tubuh bagusnya, ia agak unik. Dia akan terburu-buru memesan seporsi americano tanpa gula, dia akan memburu orang yang mengerjakan pesanannya.
“Tolong sebelum azan Magrib sudah siap, ya.”
Namun, jika azan Magrib telah berkumandang saat pesanannya belum siap, maka ia akan meninggalkan uang dan pergi dengan tergesa-gesa. Terkadang, aku hanya bisa menatap punggung lebarnya yang hilang dari kejauhan tanpa sempat untuk bertanya. Aku memang belum pernah membuatkan pesanan untuknya. Namun, harapan untuk membuatkan secangkir americano untuknya tak pernah surut. Aku masih berharap akan datangnya hari itu. Mungkin dengan begitu, aku bisa melihat sisi lain dari dirinya yang misterius, terkubur bersama tatapan yang selalu tampak sayu dan senyum lebarnya.
Sampai akhirnya, aku tahu. Bahwa namanya memiliki arti yang dalam. Anggara Kasih. Anggara untuk Selasa. Dan Kasih untuk Kliwon. Dia adalah seorang pria yang terlahir di malam Selasa Kliwon. Dia adalah pria yang disukai oleh para lelembut. Pria yang bagian tubuhnya dicari-cari untuk syarat pesugihan dan ilmu hitam. Sebuah nama yang keramat untuk pria dengan wajah yang polos. Dan masa itu akhirnya datang, saat aku bisa membuatkan secangkir americano untuknya.
“Americano enggak pakai gula, mau ditulis nama, Kak?” ujarku mengulangi pesanannya.
“Iya, boleh. Tulis aja Anggara Kasih, tapi tolong cepat, ya?” Ia tersenyum lebar padaku. Menggetarkan hati tanpa ia tahu.
“Tenang aja, Kak. Masih ada sepuluh menit lagi sebelum magrib, kok. Jadi Kakak masih bisa duduk sebentar, santai sedikit aja,” ujarku santai.
Air mukanya berubah, antara kaget dan mungkin takut. Namun, dia dengan segera menutupinya dengan senyuman. “Seberapa banyak kamu tahu soal diriku?”
Wajahku merah, memanas. Pertanyaannya seolah-olah menuduh diriku seorang penguntit. “Ya, cuma tahu nama sama kebiasaan itu, kok. Sama tempat kerja Kakak di kantor di depan itu.”
Ia terkekeh kecil. “Oke, aku bakalan agak santai sedikit. Tapi, tolong jangan lama-lama, ya?”
“Siap!” Aku bergegas membuatkan pesanannya. Sementara dia menikmati beberapa menit yang berlalu dengan mengamati ponselnya. Menggerak-gerakkan ibu jarinya pada layar sentuh benda persegi tersebut. Tak ada yang berubah dari ekspresi wajahnya. Sesekali ia akan mengusap peluh yang meluncur menuruni dahi dengan punggung tangan. Hei, dia kelihatan sangat seksi ketika melakukan itu. Ditambah lagi dengan diterpa cahaya jingga yang menerobos melalui kaca jendela. Sial, aku benar-benar menyerupai seorang penguntit sekarang.
“Pesanannya, Kak,” panggilku dengan suara agak bergetar. Aku gugup sekali. Namanya telah kutulis dengan rapi dan kuberi gambar emoji senyum. Ia mengulas senyum lebar saat melihat gambar tersebut.
“Makasih, ya.”
Hanya itu. Dia tak berkata apa-apa lagi. Ketika punggungnya telah menjauh, barulah aku merutuki diri sendiri. Kenapa tadi aku tidak sempat bertanya apakah dia sudah pacar atau tidak? Besok akhir pekan, aku ada sif pagi dan ada kuliah sore. Harapan untuk bertemu dengannya besok telah sirna.
“Pesan caramel macchiato dua.” Dia datang pada keesokan paginya. Tidak memakai setelan kemeja dan celana kerja seperti hari-hari biasa, hanya kaus berlengan panjang yang dipadukan dengan celana jeans. Pun sepatu pantofel yang biasa membungkus kakinya digantikan dengan sneakers santai.
“Dua caramel macchiato, ditulis nama juga, Kak?” tanyaku sambil mengulum senyum. Sebenarnya aku merasa agak enggan. Memesan dua caramel macchiato? Rasanya seperti sedang kencan dengan seseorang. Ah, seharusnya aku tahu kalau pria tampan seperti dia sudah punya pacar. Aku mana ada tempat untuk berharap?
“Oke, yang satu pakai namaku, yang satunya nama kamu, ya,” sahutnya lantas mengulas senyum. Dia tak sadar telah membuat jantungku berhenti berdetak untuk beberapa milidetik. Lantas, ketika dia mengajakku jalan-jalan sehabis sif pagi, aku tak dapat menolaknya.
***
Selain namanya, satu hal lagi yang membuatnya sangat unik dan menarik. Ia ternyata menyukai gending-gending Jawa. Unik sekali jika di usianya yang muda dan tumbuh di era modern seperti ini lebih menggemari lagu-lagu tradisional. Sembari menikmati semangkuk soto dan teh manis hangat di salah satu sudut warung, ia menggumamkan lagu-lagu tersebut.
“Soalnya kakekku dulu suka gending-gending Jawa, dia juga seniman tari. Sejak kecil udah diputerin gending-gending Jawa gitu, jadinya kebiasaan, deh.” Itu jawabannya mengapa ia sangat menggemari lagu-lagu tersebut.
“Lalu sekarang kakek kamu di mana?” tanyaku balik.
Wajahnya berubah sendu. “Dia sudah meninggal, ya, kira-kira tiga tahun yang lalu. Peringatan seribu harinya bulan depan.”
“Maaf, aku enggak maksud,” ujarku simpati.
“Enggak masalah, kok. Toh, aku masih merasa Kakek ada di sini, melalui gending-gending Jawa ini.” Ia memejamkan mata, membiarkan rambutnya dimainkan angin. Walau untuk kali ini, aku merasakan embusan lain yang menyentuh kulit leher. Dingin dan menusuk. Toh, aku masih merasa Kakek ada di sini. Kata-kata itu membuat bulu kudukku meremang.
“Kamu ada kuliah jam berapa, biar aku anter,” tawarnya padaku.
“Ya, masih ada setengah jam lagi,” sahutku sambil melirik arloji.
“Oke, aku anterin, ya.”
Maka kencan mendadak hari itu diakhiri di depan gedung kampusku. Ia melambai lantas meninggalkan area kampus menggunakan motor matic-nya. Belum memasuki gedung kampus, satpam penjaga menghadang langkahku.
“Itu tadi siapa, Mbak?” tanya satpam tersebut dengan alis yang bertaut.
“Oh, cuma kenalan, Pak. Emangnya ada apa, Pak?” tanyaku balik. Satpam kampusku ini memang terkenal memiliki penglihatan sensitif akan hal-hal gaib. Rasa khawatir tentang Anggara tiba-tiba saja muncul.
“Mbak harus hati-hati. Dia anggara kasih, selain jadi incaran buat pemburu pesugihan, dia juga diikuti banyak setan. Tapi ada satu yang paling kuat, Mbak. Dari tadi enggak mau lepas dari dia,” terang satpam tersebut lantas menatapku khawatir.
Ah, satpam ini bisa saja benar. Tetapi, mana mungkin makhluk tak kasat mata seperti mereka akan melukaiku? “Iya, Pak. Dia bener Anggara Kasih, nama di KTP-nya begitu.” Aku berlalu meninggalkan satpam tersebut. Ia sebenarnya menggeleng-geleng tak percaya dengan tingkah menyebalkan diriku tadi. Seakan aku tak mendengarkan nasihatnya. Hanya saja, aku percaya bahwa tak akan terjadi hal buruk padaku sekalipun dia dibuntuti lelembut.
***
Aku dan Anggara bisa dibilang jadi lebih dekat beberapa minggu terakhir. Kami saling bertukar pesan singkat via aplikasi. Dia juga lebih sering datang ke kafe tempatku bekerja paruh waktu. Sesekali mengajak kawan-kawannya. Mengenalkanku pada mereka. Tak ada hal buruk yang terjadi selama beberapa minggu ini. Pun dengan satpam kampus yang tak menyinggung apa pun mengenai Anggara. Tak ada hal buruk yang terjadi. Aku yakin sekali.
Sehabis azan Magrib, pemilik kafe memulangkan karyawan lebih cepat. Alasannya mudah, sekali-kali pulang cepat. Siapa yang tak senang mendapat bos seperti itu, sudah beberapa kali kami dipulangkan lebih awal karena alasan tersebut.
“Hari ini Mas Anggara agak aneh, deh. Tadi datangnya cepat-cepat gitu, eh, pas mau balik kayak sempoyongan. Tadi dia mau nitip ini ke kamu, makanya tadi ketahan di sana sampe magrib,” ujar salah seorang rekan kerjaku, tangannya mengulurkan sebuah kotak. Sementara kami berjalan bersama menuju halte
“Lha, dia paling keburu-buru kayak biasa. Dia emang enggak bisa lewat magrib, kan orang zaman dulu bilang jangan keluar pas magrib. Nanti banyak setan,” balasku tak ambil pusing sambil membuka kotak tersebut, mendapati sebuah kalung berbandul hati di dalamnya.
“Ih, bagus banget. Dia sweet banget sih ke kamu, padahal belum pacaran,” goda rekan kerjaku. Sedangkan aku menahan diri untuk tidak memekik senang. Rasanya senang sekali jika mendapati seseorang yang kamu sukai memberikan perhatian khusus padamu.
“Awas orang kesurupan!”
“Eh, panggil orang pinter atau dokter ke sini. Udah dari tadi orangnya kayak gitu!”
“Itu masnya mbok dipegangin biar enggak nari-nari. Lagunya itu, lho. Matikan juga.”
“Kalo dimatikan, nanti ngamuk, lho.”
Keramaian di salah satu warung makan yang memutar gending-gending Jawa mendadak membuatku merasa tak nyaman. Rekan kerjaku menyikut bahuku pelan, sementara telunjuknya mengarah pada seorang pria yang tampak menari-nari selayaknya penari Jawa yang andal. Saat itulah mataku melebar, kalung yang berada di tangan meluncur menabrak tanah.
“Enek opo, Nduk? Cah Ayu?*) Begini kalau cucuku kalau malam sudah tiba, kamu masih mau sama dia?”
Pria itu, bertanya padaku. Wajah itu memang miliknya, tetapi suara dan tatapannya milik orang lain. Dia bukan Anggara Kasih.
*) Jawa: Ada apa, Nak? Anak Cantik?
Reza Agustin lahir dan besar di Wonogiri sejak 20 Agustus 1997. Penggemar Webtoon dan Hallyu yang juga pecinta kucing. Kunjungi Facebook dengan nama yang sama, Instagram di @Reza_minnie, dan Wattpad di @reza_summ08.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata