Anggap Saja Ramadan Terakhir
Oleh: Lily Rosella
“Sekali-kali belikan sesuatu buat Emak Jenab, jangan cuma tahu merepotkan saja. Kasih Emak Jenab itu jagain kamu udah dari ibu-bapakmu meninggal lima tahun lalu, Pri.”
Aku menatap pohon rambutan yang rindang sambil merebahkan diri di bale-bale. Ucapan Bi Heni masih saja mengiang di telingaku. Katanya anggap saja ini Ramadan terakhirku, sehingga dengan begitu aku bisa berbuat sesuatu yang baik untuk Emak Jenab.
Ah, aneh-aneh saja Bi Heni itu. Mana bisa dia menyuruhku menganggap ini Ramadan terakhirku, sedangkan aku tentu sangat jauh lebih muda darinya.
“Ya sudah, kalau begitu anggap saja ini Ramadan terakhir Emak Jenab,” tawarnya.
Aku menelan ludah, beristigfar cepat-cepat. “Bibi doakan emakku supaya cepat mati?”
“Eh, Apa-apaan kamu, Pri?!”
“Lah, tadi itu Bi Heni bilang, anggaplah Ramadan terakhir Emak Jenab. Apalagi maksudnya kalau bukan Bibi doakan emakku supaya cepat mati?”
Bi Heni sepertinya sedang pening. Dia menepuk jidatnya sendiri, lantas tak lama malah berganti menepuk jidatku.
“Kenapa kau tidak pintar-pintar seperti Makmur atau Soleh? Susah sekali bicara sama kamu, Pri.”
Ya … pokoknya seperti itulah kejadian pagi tadi. Bi Heni yang air mukanya terasa kecut seperti buah mangga Mak Siti yang berhasil dicolong Joni, akhirnya pergi juga sambil nenteng mukena. Biasalah, emak-emak habis salat duha di masjid pasti selalu nenteng mukena kalau sepagi itu.
“Mau makan apa, Pri, buat buka nanti?” tanya Emak Jenab yang sudah berdiri tak jauh dariku.
Aku langsung bangkit. Menatap Emak Jenab dari ujung kepala hingga ujung kaki, kemudian mengangguk pelan.
“Ada apa?”
“Emak sehat, ‘kan?”
Wajah Emak Jenab berubah bingung. Dia mengangguk dan mengatakan kalau dia sehat. Membuatku mengepal tangan kanan dan mengentakkannya ke telapak tangan kiriku.
“Berarti benar apa Jupri pikirkan. Bi Heni pasti bohong,” keluhku.
“Bohong kenapa?”
“Masa dia bilang kalau ini Ramadan terakhir Emak. Seperti tahun depan Emak sudah waktunya mati saja. Memang siapa dia sampai-sampai tahu kapan waktunya Emak mati?!” sahutku kesal.
Tidak! Aku tidak kesal dengan Emak Jenab, melainkan Bi Heni. Berani sekali emak-emak yang rambutnya sering dikonde itu mencoba untuk mengelabuiku. Dia pikir aku terlalu bodoh hingga percaya begitu saja ucapannya. Haha … aku tak sebodoh Makmur dan Soleh yang sempat batal puasa karena terlalu mudah ditipu oleh Joni. Aku cukup cerdas untuk tahu apa Emak Jenab sakit atau tidak.
Hanya melihat sekilas saja aku sudah tahu kalau Emak Jenab sehat walafiat, tubuhnya yang agak bungkuk juga masih tetap kuat berjalan ke kebun dan sawah. Terlebih ada aku di sini, yang setiap hari rajin membantunya mencari kayu bakar, mencabut rumput-rumput liar di sawah, dan kadang memetik buah dan sayur-sayuran di kebun. Sudah cukup beruntunglah Emak Jenab memiliki cucu sepertiku.
***
Aku mau belikan Emak Jenab mukena baru. Hanya celengan ayamku yang baru kupecahkan dua jam lalu ternyata masih kurang lima puluh ribu. Aduh … entah dari mana dapat duit lima puluh ribu itu. Bekerja? siapa juga yang mau mempekerjakanku yang badannya kurus kering begini, baru tengok saja orang sudah takut.
Bukan takut kenapa, mereka bilang nanti kalau bawa yang berat-berat bisa patah tulangku. Atau kalau ada angin bisa terbang tubuhku yang mirip tripleks ini. Begitulah yang sering dibercandakan orang-orang padaku. Padahal untuk mengumpulkan uang lima puluh ribu sampai lebaran pun jika ada pekerjaan, aku tentu bisa-bisa saja. Itu perkara mudah!
“Kurang berapa duit, Pri?” tanya Soleh sambil melirik uang di tanganku.
Ah, mau tahu saja itu anak. Tapi jika aku beritahu mungkin dia akan membantuku untuk menambahkan uang untuk beli mukena.
“Kurang lima puluh ribu, Leh.”
Bukannya membantu, Soleh malah geleng-geleng kepala sambil melipat kedua tangannya di dada. Lagaknya sudah seperti Joni saja.
Awalnya aku memang tak berniat membelikan Emak Jenab mukena, ini juga bukan soal perkataan Bi Heni yang menyuruhku menggangap kalau ini Ramadan terakhir Emak, tapi saat berpamitan ketika hendak berangkat tarawih bareng Joni, Soleh, Makmur, juga Somad, aku tak sengaja melihat begian belakang mukena Emak yang sudah berlubang bawahnya. Saat kutanya, katanya tertancap paku yang ada di pagar bambu Pak Sobar, yang dekat pohon jambu itu.
“Kau ada duit lima puluh ribu, Leh?” celetukku yang kesal karena Soleh tak juga berinisiatif untuk menanyaiku bantuan, barangkali pinjaman.
Soleh bangkit dan berkecak pinggang, mengangkat dagunya. Benar-benar itu anak, lagaknya sudah hampir serupa dengan orang gedongan yang kadang mampir bersama bapaknya Joni saja. Mereka yang pakai jas juga kacamata hitam, tamu-tamu dari kota yang entah bekerja apa. Kata Joni, sih, mereka semua, termasuk bapaknya, adalah agen mata-mata. Ah, tak percayalah aku, banyak bualnya itu anak.
“Ada tidak, Leh?”
“Jangankan lima puluh ribu, Pri,” sahutnya dengan suara lantang. Tak lama dia duduk, wajahnya mendekati telingaku. “seribu saja aku tidak ada.”
“Dasar, kurang asem kau, Leh,” seruku sambil memukul punggung Soleh dengan kopiah.
Soleh hanya tertawa saja. Jangankan membantu memberi uang, membantu memberi saran saja tidak. Hingga akhirnya Joni datang, bertanya ini-itu padaku, mendengarkan keluhanku juga. Entah kesambet apa di jalan tadi, mungkin kepalanya terbentur tanah gara-gara terpeleset saat ketahuan emaknya kalau dia nangkring di pohon jambu Pak Sobar lagi.
“Aku ada ide, Pri,” serunya dengan wajah semringah.
Aku dan Soleh langsung menantapnya dengan sangat antusias. Menunggu sebuah ide brilian keluar dari otaknya yang rada tidak beres itu.
“Kita jualan saja.”
Glek!
Aku menggeleng. Jualan apa juga kami ini. Dia pikir untuk berjualan tidak perlu pakai uang. Jangan-jangan itu hanya akal-akalan dia saja agar memakai uang celenganku ini untuk beli sesuatu yang tidak-tidak. Paling dia mau beli petasan di warung Mang Usup dan menggunakannya untuk tempur nanti malam.
“Tidak perlu pakai uang, Pri,” sahutnya.
“Terus pakai apa, Jon?”
Joni mengangguk sembari tersenyum miring, tangannya dilipat di dada seperti yang sudah dilakukan Soleh tadi. Rasa-rasanya ada yang tidak beres hanya dengan melihat ekspresi Joni itu.
“Kita jualan buah.”
“Buah? Buah apa? Di kampung kita ini banyak buah, siapa juga yang mau beli?”
“Jangan di sini, Pri. Kita jualan di pasar yang dekat jalan besar itu. kata bapakku di sana banyak yang jualan buah.”
Aku memukul kepala Joni. Bodoh sekali itu anak. Sudah tahu di sana banyak yang jualan buah, buat apa juga kita ikut jualan, buang-buang tenaga saja.
“Ah … kenapa kau pukul kepalaku? Sebentar lagi mau difitrahkan ini,” keluh Joni.
“Alah, gayamu pakai difitrahkan segala. Puasa saja tidak,” sahutku yang tidak kalah kencang. Joni mengepal tangannya, berlagak hendak meninjuku.
“Coba saja dulu, katanya kau mau beli mukena untuk Emak Jenab.”
Aku mengangguk. Benar juga apa yang dikatakan Joni. Tidak ada salahnya mencoba, lagi pula siapa tahu saja ada yang beli dan bisa terkumpul ini uang untuk beli mukena.
“Jualan buah apa, Jon?” tanya Soleh tiba-tiba.
Joni berpikir sejenak. Tangannya yang dilipat ke dada kini terangkat satu sambil jari telunjuknya dijentik-jentikan ke jidat. Tak lama kemudian dia menatapku dan Soleh.
“Kita bisa jualan buah rambutan, mangga, juga apel,” serunya.
Aku tersenyum. Soal rambutan tentu di belakang rumahku ada, manis-manis pula. Dan untuk apel, ah, tinggal minta saja sama bapaknya Makmur, nanti juga dibagi. Dan mangga, di kebunnya Soleh tentu buah itu sangat banyak, hanya saja rasanya asam. Itu mangga paling enak kalau dipakai buat ngerujak. Joni? Ah, mana ada kebun dia. Dia pendatang di sini, rumahnya pun juga cuma rumah besar yang di teras ada pohon bonsai juga bunga-bunga, tidak ada buahnya.
“Ah, urusan gampang itu,” sahut Joni.
Aku dan Soleh saling bersitatap. Cepat sekali otak Joni ini mencari ide.
“Kau tahu, ‘kan? Di kampung ini tentu Mak Siti-lah yang punya buah mangga paling enak. Aku saja sampai ketagihan makan buah mangganya.”
“Kau yakin, Jon?” tanya Soleh dengan mulut yang dimonyongkan.
“Kau tenang saja, buah mangga Mak Siti baru panen kemarin. Kita bisa petik yang banyak nanti.”
Aku dan Soleh mengangguk, setuju dengan saran Joni. Tak apalah, yang penting ada uang buat belikan Emak mukena baru. Kasihan Emak pakai mukena bolong begitu. Lagi pula urusan nyolong buah mangga Mak Siti tentu Joni-lah ahlinya.(*)
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita