Anggap Saja Aku Boneka

Anggap Saja Aku Boneka

Anggap Saja Aku Boneka
Oleh: Rachmawati

Aroma bacin keringat para penumpang bus Surabaya-Bali menusuk-nusuk hidung siapa pun yang ada di dalamnya. Aku duduk menyandarkan kepala ke kaca jendela, kepalaku enggan tegak, entah sudah berapa jam aku melamun di dalam bus jelek ini. Aku harus pergi, aku harus menghirup udara segar penuh kedamaian.

Semua penumpang bus diminta untuk turun dan berpindah ke dek di atas kapal penyeberangan. aku berjalan mengikuti penumpang lain yang tentu saja memiliki tempat tujuan yang sama denganku. Pulau Bali sudah terlihat meskipun kapal baru lepas selama 15 menit dari dermaga Ketapang. Kepalaku pusing, perutku mual. Aku merasa berada di atas ruangan yang bergoyang-goyang, seperti gempa bumi yang kurasakan beberapa kali di desaku.

Mataku menangkap pulau yang indah, hijau seperti hutan yang terlihat dari kejauhan. Beberapa pura menyambut mataku yang bulat bersinar. Aku tersenyum, tiba-tiba semangat kegirangan muncul dalam hatiku. “Aku harus dapat melalui petualangan ini dengan kemenangan, aku harus menolong adik-adikku di desa, mereka harus tetap sekolah tanpa memikirkan beban kemiskinan orangtuanya.” Aku bergumam sendiri tanpa siapa pun mendengarnya.

Hari pertama kakiku menginjak di bumi pulau para dewa, aku mulai mencari alamat rumah pamanku, seperti yang diberikan oleh nenekku sebelum meninggal dunia beberapa hari lalu. Setelah pencarian dengan menggunakan ojek online, aku gagal. Ternyata rumah yang kucari sudah lama ditinggalkan pemiliknya. Aku bertanya pada beberapa tetangga di sana, namun tidak ada yang memberikanku jawaban memuaskan. Terpaksa aku mencari penginapan di pinggir terminal, sesuai masukan dari tukang ojek bahwa penginapan di sana lebih murah dan bisa dihitung harian.

Nekat, memang itulah bekal yang kubawa saat aku pergi meninggalkan rumah dan kedua adik laki-lakiku di kampung. Hari kedua aku tidak berdiam diri, aku berusaha mencari pekerjaan di terminal. Aku tahu aku hanya lulusan kelas 2 SMA dan tanpa ijazah, aku menawarkan diri ke rumah makan nasi goreng di sana. Wanita cantik pemilik rumah makan itu terlihat baik hati, meskipun cara menggunakan makeup tebal dan tubuhnya gemuk montok. Setelah beberapa menit percakapan aku diterimanya bekerja sebagai pembantu di sana.

***

Aku memang mujur, kepergianku tidak sia-sia, aku dapat pekerjaan sekaligus tempat menginap sederhana dari majikanku. Tetapi sayang, sudah tiga bulan aku bekerja aku belum dapat mengirim uang untuk kedua adikku di kampung. Aku mulai memutar otak, setiap malam aku tidak bisa tidur karena memikirkannya. Aku memutuskan diri untuk mencari ketenangan di luar, berjalan-jalan di pantai yang tidak jauh dari tempat penginapanku. Beberapa wanita kulihat sedang duduk di pinggir pantai. Mereka terlihat sekali bukan penduduk asli. “Pendatang sama seperti aku atau rombongan yang sedang wisata?” Aku bergumam sambil tersenyum karena menemukan teman baru.

Baru saja aku akan menyapa mereka, sebuah mobil mewah berhenti tepat di depanku. Beberapa wanita yang duduk bangkit menuju ke arahku. Mereka tersenyum dan mempersilakanku masuk ke mobil. Aku bingung dengan apa yang mereka lakukan, aku tidak bisa menolak ajakan mereka. Setelah di dalam mobil mereka mengajakku berkenalan. Dapat kuketahui bahwa mereka berasal dari daerah yang berbeda-beda dan baru datang ke pulau ini beberapa hari.

Mobil yang membawaku berhenti di sebuah hotel berkelas. Di lobi sudah kulihat beberapa pria berjas hitam dan berpakain rapi menghampiri mobil. Membuka pintu dan membawa kami satu per satu ke sebuah ruangan. Aku hanya diam, merasa menjadi gadis desa yang tersesat di daerah orang tak kukenal. Dalam hati aku senang tersesat di tempat yang mewah dan megah. Seumur hidup aku belum pernah menginjakkan kakiku ke tempat sebagus ini.

***

Di kamar nomor 102 seorang pria yang menuntunku dalam perjalanan melepasku ke kamar. Seorang pria tinggi besar dan tampan telah duduk di sebuah kursi. Tangannya memegang gelas yang sangat bagus menurutku. Tubuhnya sedikit berbalik saat mengetahui kedatanganku. Pria ini tampan, tubuhnya tinggi dan rambutnya pirang. Dari warna bola matanya yang biru dapat kupastikan dia bukan orang lokal, dia adalah turis yang sedang berwisata kemari.

Turis ini mengambil tubuhku, menidurkan di atas kasur empuk yang mungkin harganya sama dengan motorku di desa. Aku masih diam, meskipun aku berusaha sedikit berontak. Aku tidak tahu dengan bahasa apa aku harus berbicara dengannya. Sedangkan aku hanya tahu “Yes” dan “No”, aku belum sempat belajar bahasa Inggris selama di pulau Bali.
Pria tampan ini melakukan apa pun yang dia suka. Membuka seluruh pakaianku, menelanjangiku dan melakukan lebih dari itu. Aku hanya diam, ini terjadi lagi. Aku meneteskan air mata di atas kasur yang indah. Tanganku meremas seprai dengan keras. Aku ingin berteriak. Aku muak dengan semua yang terjadi. Aku pergi jauh dari desaku untuk mencari kebebasan. Kebebasan dari kuasa bapak tiriku yang selama ini memaksaku tidur dengannya. Entah sudah berapa malam aku melayaninya seperti seorang pelacur murahan. Pernah sekali dua kali aku berontak dan memaksa diri terlepas darinya, namun akibatnya adalah aku lumpuh selama satu minggu. Seluruh wajah dan tubuhku babak belur.

Turis tampan melepaskan tubuhku, membelai wajahku dengan bergairah. Aku diberi kesempatan berpakaian lagi. Tanpa suara, tanpa kata apa pun, aku ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Aku ingin mati, aku ingin mengakhiri kebodohanku. Turis itu menyodorkan sebuah amplop putih kepadaku, sambil tersenyum dia berkata, “Kubayar sebesar ini saja untuk malam ini, besok akan kutambahkan jika kamu tidak diam saja dan tidak menangis.”

Aku terkejut, mataku terbelalak mendengar kalimatnya. Bukan hanya karena dia membayarku sebagai pelacur, namun juga karena dia bisa berbicara bahasa Indonesia. Kenapa tidak dari tadi dia berbicara? Setidaknya aku bisa mengatakan kalau aku tersesat di tempat ini. Harusnya dia menanyakan apa pekerjaanku, bukan dengan seenaknya memperlakukanku seperti boneka.

Aku memang boneka, setiap pria yang mendekatiku selalu mencoba merenggut keindahan tubuhku yang semampai. Parasku yang lumayan menjadi daya tarik tersendiri dan juga petaka untukku. Dadaku yang besar dan montok adalah satu-satunya kelebihanku. Aku bukan anak orang kaya dan aku bukan gadis desa yang cerdas. Ya, dadaku yang selalu menjadi pusat perhatian setiap pria yang memandangku.  Bapak tiriku sendiri tidak bisa menahan hasratnya saat melihatku sedang duduk menonton TV atau sedang mencuci di sumur. Apalagi saat Ibu bekerja di sawah dan kedua adik laki-lakiku sedang belajar di sekolah. Aku hanya sebuah boneka yang harus diam membungkam mulutku. Aku harus rela menjadi boneka yang selalu melayani nafsu bejat bapak tiriku. Hingga akhirnya aku tidak tahan dengan keadaanku, melarikan diri dari rumah sampai ke pulau ini.

***

Sebuah mobil sedan berhenti di depan penginapanku. Seorang pria yang menuntunku ke kamar hotel turun dan menyuruhku berganti baju. Aku mengernyit, dari mana dia tahu tempat tinggalku dan apa maksudnya memintaku ikut bersamanya. Pria itu tersenyum dan menjelaskan bahwa Erick, turis yang beberapa hari lalu tidur denganku memintaku datang ke hotel. Aku berpikir agak lama, lalu aku teringat wajah pria itu. Dia tampan, tidak kasar dan juga baik. Uang pemberiannya malam itu sudah kukirim semua untuk kedua adikku di desa.

Selama ini aku telah kotor, tidak diperlakukan lembut dan layak. Kenapa aku tidak mengikuti undangan Erick? Siapa tahu dia bisa menjadi temanku, toh, Erick bisa berbicara bahasa Indonesia. Pria ini juga tampan dan tidak menjijikkan.

***

Aku tidak munafik, aku yang telah kotor ini sangat membutuhkan uang. Aku harus membiayai sekolah kedua adikku setidaknya hingga lulus SMA. Supaya mereka dapat memiliki ijazah dan mencari pekerjaan yang layak.
Malam ini aku menemani Erick minum dan tidur di kamarnya. Erick memang tidak banyak bicara, sikapnya lembut dan tidak kasar. Sebelum sopirnya mengantarku pulang, dia memberiku uang sesuai keinginanku. Tetapi Erick memintaku berjanji akan datang lagi jika dia menginginkanku. Aku menyetujuinya dengan senang hati.

***

Erick telah menungguku di lobi hotel. Dia mengajakku berganti mobil dan membawaku berjalan-jalan mengelilingi kota. Diam-diam aku merasa senang. Aku mendapatkan kebebasan untuk menikmati udara segar di luar. Malam ini Erick tidak memintaku tidur dengannya, dia hanya mengajakku berbincang hingga pagi menjelang. Matanya yang biru menatapku dalam, membuatku berdebar-debar. Erick mengatakan bahwa baru kali ini dia menemukan gadis seperti aku, entah apa maksudnya aku tidak paham betul. Apalagi bahasa Indonesianya patah-patah.

Aku menceritakan semua kesedihanku pada Erick, dengan saksama dia menyimak seluruh ceritaku. Aku merasa menjadi gadis dengan kehidupan yang baru. Aku telah menceritakan kebodohanku selama ini kepada teman baruku, ya, Erick kuanggap teman baruku sekarang. Ya, setidaknya itu menurutku sendiri, entah apa yang ada dalam pikiran pria tampan di sampingku ini.

***

Hampir empat tahun aku menjadi teman Erick, pria ini tidak kembali lagi ke negaranya di Eropa. Dia memutuskan tinggal di Bali. Erick menyewa sebuah apartemen dan membawaku tinggal bersamanya. Kedua adik telah menyelesaikan kuliah S1 jurusan Teknik Sipil. Aku tidak menikah dengan Erick meskipun aku selalu tidur dengannya. Aku tidak berharap banyak darinya, dia berbuat lembut dan baik saja itu sudah cukup untukku. Aku wanita kotor, harus sadar diri bahwa aku tidak pantas dipersunting oleh pria yang baik. Jika suatu saat Erick membuangku, aku juga siap dan tidak akan menyesal.

***

Aku melahirkan seorang anak laki-laki. Rambut, mata dan bibirnya persis menuruni ayahnya. Dua hari setelah aku melahirkan, Erick menikahiku. Erick memintaku tidak membuka lagi cerita lamaku. Aku harus menjadi ibu yang baik untuk putranya. Aku hidup bahagia berkecukupan, meskipun terkadang aku rindu ingin pulang menemui Ibu dan kedua adikku di desa. Aku tidak menyesal dengan semua yang telah terjadi. Aku melalui jalan hidupku tanpa merugikan orang lain, aku memang berdosa tetapi tidak melibatkan siapa pun. Aku tidak menyesal.

 

Rachmawati Ash. Hobi travelling, membaca dan menulis.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply