Prang!
Tak lama setelah mendengar sebuah benda terjatuh, aku bergegas keluar kamar. Meninggalkan tugas yang masih menumpuk di atas meja belajar, lalu pergi menuju dapur di mana suara mengejutkan itu berasal.
“Ya Allah, Bapak!” pekikku ketika mendapati Bapak sudah tergeletak di atas lantai dengan tubuh yang terkulai lemas. Di samping kiri tangannya terdapat pecahan piring yang berserakan. Sedangkan tak jauh dari tempatku berdiri, ada cairan bening yang menggenang.
“Kenapa bisa jatuh begini, Pak?” ucapku setengah gugup.
“Ndak sengaja terpeleset tadi.”
Aku menghela napas, lantas membantu Bapak berdiri dengan baju yang sudah basah. Tak ingin hal yang lebih buruk terjadi, aku membopongnya menuju ruang makan. Menyuruhnya duduk di kursi lalu menyodorkan segelas air putih pada beliau.
Sementara Bapak menghabiskan minumannya, aku segera membersihkan pecahan piring yang berserakan di lantai. Setelah itu mengepelnya hingga kering.
“Maafkan Bapak ya, Nduk. Kamu sudah sibuk tapi masih harus mengepel lagi,” ucap Bapak dengan suara parau, menahan isak tangis.
“Ndak masalah sama sekali, yang penting Bapak baik-baik saja.” Aku menghampiri lelaki berusia lima puluh tahunan itu. Duduk di sebelahnya sambil menatap wajah yang kini tampak muram.
Meskipun Bapak tidak pernah mengeluh, aku yakin ada sesuatu yang mengganggu pikirannya selama ini. Aku bisa merasakannya dari sikap yang beliau tunjukkan, lebih tepatnya saat aku mulai duduk di bangku SMA. Kegiatan di sekolah yang cukup padat membuatku harus meluangkan waktu lebih banyak. Akibatnya kebersamaan di antara kami menjadi berkurang.
Semenjak itu pula Bapak menjadi pribadi yang pendiam. Kami jarang berbincang di ruang tamu seperti saat aku kecil dulu. Bercanda dan saling melepas tawa sambil menonton televisi dengan layar yang sudah kusam.
Aku memang terlahir dari keluarga yang sederhana. Rumah yang kami tinggali pun berukuran kecil dengan perabot seadanya. Satu-satunya barang mewah yang kami miliki hanyalah televisi itu. Namun demikian, aku tetap bersyukur dengan keadaan yang kami jalani. Karena aku percaya kebahagiaan bukan hanya untuk mereka yang bergelimang harta, setidaknya aku masih memiki Bapak yang menyayangiku dengan tulus.
Semua perhatian dan kasih sayang yang Bapak berikan adalah hal yang paling kubutuhkan ketika Ibu tak lagi berada di tengah-tengah kami. Sebuah kenyataan yang begitu menyakitkan hingga sulit bagi kami untuk memahaminya.
Dulu, Bapak dan Ibu adalah dua insan yang saling mencintai. Mereka memutuskan untuk menikah meski tanpa restu dari orang tua Bapak. Hal itulah yang kemudian menyulut kemarahan Kakek hingga muncul masalah besar.
Bapak diusir dari rumah mewahnya dan menjalani biduk rumah tangga bersama Ibu dengan tekad yang mereka punya. Awalnya semua berjalan normal. Tapi setelah beberapa bulan usia pernikahan, Ibu mulai menunjukkan sikap yang berbeda. Tak pernah lagi memperhatikan Bapak apalagi menunjukkan kasih sayangnya. Bahkan menuntut Bapak untuk memenuhi semua keinginannya, seperti membeli perabotan yang mahal, meminta uang belanja lebih, dan hal lain yang sulit untuk diwujudkan.
Kamu tahu sendiri kan, bagaimana keadaan kita sekarang?
Setiap kali mereka terlibat pertengkaran, hanya kalimat tersebut yang mampu Bapak ucapkan. Saat itu mereka memang hidup dalam kesederhanaan setelah Kakek mengambil alih semua fasilitas mewah yang ia berikan.
Bermodalkan ketulusan cinta, Bapak sampai rela bekerja keras setiap hari demi memenuhi tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga. Menyewa sebuah rumah yang tak begitu besar untuk mereka tinggali.
“Bersabarlah. Aku pasti akan bekerja keras demi kebahagiaan kita berdua,” janji Bapak di awal pernikahan. Sebuah alasan yang membuat Bapak begitu bersemangat untuk membahagiakan Ibu. Melewati hari-hari dengan rasa cinta di hati, hingga tak menyadari satu hal: Ibu tidak benar-benar mencintai Bapak.
Sebagai seorang istri, Ibu tak lagi menghargai suaminya. Suka berbicara kasar dan enggan menyelesaikan pekerjaan rumah yang kian hari kian menumpuk hingga memaksa Bapak untuk turun tangan. Puncaknya, Ibu mengutarakan keinginan yang sangat mengejutkan.
“Apa?” ucap Bapak seolah tak percaya dengan apa yang ia dengar. Ibu meminta cerai tanpa alasan yang jelas.
“Aku sudah mengatakannya tadi.”
“Lalu bagaimana dengan—”
“Kamu tidak perlu khawatir, aku akan merawat anak ini dengan baik.”
Bapak terhenyak. Tak habis pikir dengan apa yang Ibu ucapkan, mengingat usia pernikahan mereka yang masih seumur jagung. Perlahan, jarak di antara mereka semakin melebar. Ibu jarang pulang dan lebih memilih tinggal bersama orang tuanya. Tak lama setelah itu, pertengkaran yang lebih hebat terjadi. Ibu terus mendesak sampai akhirnya mereka resmi berpisah.
Meskipun kejadian itu sudah lama berlalu, tapi aku tak bisa memungkiri bahwa kesedihan yang kami rasakan sulit untuk dilupakan. Apalagi jika membayangkan kehidupan Ibu yang sekarang. Mungkin Ibu sudah menikah lagi dan hidup bahagia dengan lelaki yang kaya raya. Sepertinya Bapak juga berpikir demikian, sampai sering terlihat murung dan berdiam diri di kamar saat berada di rumah. Dan aku semakin mengerti mengapa Bapak selalu giat bekerja sekalipun dalam keadaan yang kurang sehat. Setidaknya beliau bisa menghilangkan sejenak luka hatinya, tidak seperti apa yang kulihat saat ini.
Lelaki berkulit sawo matang itu tampak gelisah. Terlebih saat aku menatapnya lekat-lekat dan melontarkan sebuah pertanyaan tentang kenangan pahit yang ia ceritakan barusan. Sebenarnya aku sudah mengetahui alasan kenapa mereka berpisah, tapi tidak dengan hal yang Ibu ucapkan di akhir pertengkaran mereka.
“A—apa ada hal yang Bapak sembunyikan?” ucapku dengan jantung yang berdegup kencang. Mendadak hatiku gelisah dan entah mengapa aku mulai merasa takut.
“Tidak ada apa-apa, jadi lebih baik….”
“Kalau begitu kenapa Bapak menangis?”
Bapak terdiam. Meneguk lagi air putih di dalam gelas dengan tangan yang gemetaran. Sesekali masih kudengar ia merintih kesakitan. Sementara itu aku terus mendesaknya agar berkata jujur padaku—perihal sesuatu yang ia pikirkan hingga membuatnya jatuh sakit dan memutuskan untuk libur bekerja.
Sudah sebulan belakangan ini kondisi kesehatan Bapak menurun. Tubuhnya semakin terlihat kurus setelah berulang kali jatuh sakit. Walaupun aku sudah membawanya ke Puskesmas dan membelikannya obat, tapi tetap saja ia tak kunjung sembuh.
“Pak?” tanyaku sekali lagi sambil mengelus punggungnya.
“Ma—maafkan Bapak.” Aku menggeleng pelan dengan mata berkaca-kaca. “Seharusnya kamu mengetahui hal ini sejak dulu.”
Deg!
Aku terpatung, menatap wajah Bapak sambil meneteskan air mata. Di saat yang sama, jantung semakin berdegup tak karuan. Dada pun terasa sesak hingga sulit bagiku untuk berucap. Bapak baru saja mengatakan bahwa Ibu pergi dari rumah dalam keadaan hamil, seorang bayi laki-laki yang mungkin sudah besar sekarang.
Semenjak mendengar kelahiran sang buah hati, Bapak berusaha mencari informasi mengenai kehidupan Ibu saat ini. Di mana ia tinggal, dan bagaimana kondisi putra mereka. Tapi sia-sia, karena Ibu menghilang tanpa jejak. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan hanyalah memendam kerinduan terhadap anak semata wayangnya itu. Seseorang yang tak pernah sekali pun ia temui.
“Lalu aku…,” gumamku dalam hati. “Aku ini siapa?”
***
Seminggu setelah kejadian itu, suasana di rumah kembali tenang. Kami masih beraktivitas seperti biasanya. Bapak bekerja dengan penuh semangat agar aku tak putus sekolah, sedangkan aku sibuk menuntut ilmu demi meraih cita-cita. Aku ingin memiliki masa depan yang cerah. Membuat Bapak bangga dan melihatnya bahagia.
Aku memang bukan darah dagingnya, tapi kasih sayangku terhadapnya melebihi kasih sayangku terhadap diriku sendiri, karena Bapak adalah orang yang paling berharga dalam hidupku.
“Jangan cemas, Pak. Bagaimanapun caranya, tidak akan Nuning biarkan Bapak menangis lagi,” bisikku tanpa suara. Aku sudah bertekad untuk mempertemukan Bapak dengan putranya. Setelah itu barulah mencari tahu siapa orang tua kandungku sebenarnya. Menyadari bahwa mewujudkan keinginan tersebut bukanlah hal yang mudah, aku meminta bantuan kepada Bude—kakak pertama Bapak yang diam-diam sering mengunjungi kami di rumah bersama suaminya.
Perempuan berlesung pipit itu sama baiknya dengan Bapak. Aku bahkan merasa jika ia juga tulus menyayangiku. Bukan karena ia sering memberiku hadiah, melainkan saat berada di dekatnya, aku merasa nyaman. Bude pula yang selama ini mengajariku banyak hal yang tak bisa kudapatkan dari Bapak. Jadi tak heran jika kami begitu akrab layaknya sepasang Ibu dan anak.
“Terima kasih, Bude.”
“Sama-sama, Sayang. Tapi … apa kamu yakin dengan semua ini?” Aku mengangguk, lalu mengajak Bude pergi—menjauh dari halaman sekolah yang mulai terlihat sepi. Sejurus kemudian, kami sudah berada di dalam mobil yang melaju kencang.
Setelah menempuh dua jam perjalanan akhirnya kami tiba di sebuah perkampungan. Tak ingin membuang waktu, kami pun bergegas mencari alamat dari selembar kertas yang kubawa. Sebuah informasi yang kudapatkan dari Bude, dua hari yang lalu. Sebenarnya aku sedikit terkejut karena Bude bisa mendapatkannya dalam waktu singkat, tapi aku tak ambil pusing. Lagipula memang itu yang aku harapkan.
“Apa benar ini alamatnya?” ujarku sambil mengitarkan pandangan. Berdiri di depan rumah dengan kondisi yang memprihatinkan. Temboknya lumutan dan retak di beberapa bagian, atap luar berlubang, dan lantai berupa ubin yang berdebu tebal. Bahkan rerumputan yang tumbuh di halaman sudah menjalar tinggi. Selain terlihat sepi, rumah itu pun seolah tak berpenghuni.
“Sepertinya begitu,” jawab Bude sedikit ragu. “Ayo, kita coba dulu.”
Kami berjalan memasuki halaman, lalu bergegas mengetuk pintu setelah berada di teras rumah. Aku juga berulang kali mengucapkan salam sambil mengintip dari jendela, tapi tidak ada seorang pun yang keluar.
Tak ingin menyerah, kami bermaksud pergi—menanyakan sang pemilik rumah pada tetangga sekitar. Namun baru saja melangkahkan kaki, terdengar seseorang menjawab salam. Membuka pintu sambil menyunggingkan senyum.
“Han.”
“Mbakyu?” ucapnya dengan raut muka menegang. “Bagaimana bisa….”
Ia semakin terkejut saat menyadari keberadaanku. Menatapnya lekat-lekat dengan mulut yang tertutup rapat. Di saat kami bertiga masih saling terdiam, tiba-tiba muncul seorang lelaki berwajah tampan mirip Bapak.
“Siapa, Bu?” Perempuan bernama Hana itu menoleh. “Kenapa tidak disuruh masuk?”
Bude mendekat, lalu menjongkokkan badan di depan keponakannya. Sedangkan aku hanya berdiri sambil menitikkan air mata. Mengucapkan syukur dalam hati karena telah berhasil menemukan orang yang aku cari. Putra Bapak satu-satunya yang kini terduduk lemah di kursi roda. Memandang kakak angkatnya dengan senyuman manis di wajah. (*)
Triandira, penyuka fiksi yang belum bisa move on dari mi ayam dan durian. Jika ingin menghubunginya bisa melalui akun FB dengan nama Triandira Email: triwahyuu01@gmail.com
Cerpen ini terpilih sebagai nominator pada KCLK (Kompetisi Cerpen Loker Kita) untuk minggu pertama Februari.
Selebihnya tentang KCLK, mari bergabung ke grup kami:
Grup FB KCLK (semua info penting ada di sini)
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan